Pesona Masa Lampau di Ayutthaya
A
A
A
PELUIT panjang menjadi penanda bahwa kereta api siap meninggalkan Bangkok menuju Ayutthaya, kota yang dulunya sebuah kerajaan, sebelum dibumihanguskan oleh Burma (Myanmar) pada 1767.
Sisa-sisa kehancuran kota ini terlihat jelas lewat reruntuhan kuil dan pagodanya. Namun, kelestariannya tetap terjaga dan dilindungi. Ini pulalah yang menjadi daya tarik bagi para wisatawan pencinta sejarah dan fotografi.
Akses termudah untuk menuju kota ini adalah dengan kereta api dengan jarak tempuh selama dua jam serta tersedia jadwal keberangkatan hampir setiap jam. Semula, saya hendak menggunakan jasa kereta api sebelum jam 08.30 agar bisa mengeksplor seluruh kota. Namun jadwal terlewat dan saya membeli tiket keberangkatan berikutnya, yakni pukul 09.25. Harga tiketnya hanya 15 bath dan merupakan jenis kereta ekonomi dan free seating .
Seru sih, karena bisa menikmati perjalanan bersama dengan penduduk lokal. Di atas kereta ini banyak juga penjaja makanan, mulai dari buah, minuman, hingga makanan kecil. Karena berwajah Asia, seorang ibu yang duduk di depan saya mengajak bicara dan saya hanya bisa tersenyum dan bilang bukan warga lokal. Walaupun kereta ekonomi, kedatangannya sesuai jadwal. Tanpa ragu, saya langsung menyambangi kantor informasi untuk mendapatkan peta.
Dari hasil browsing pula, setidaknya saya tahu bahwa di seberang stasiun ada tempat penyewaan sepeda dan sepeda motor. Memang, dari awal saya sudah berencana untuk mengayuh sepeda untuk menikmati kota ini. Namun, Anda pun bisa menikmati kota dengan menyewa jasa tuk-tuk. Pemilik rental sepeda juga memberikan peta, soal beberapa situs yang menjadi favorit dan wajib kunjung.
Di kota ini banyak wat atau candi yang gratisan ataupun berbayar. Salah satu yang berbayar adalah Wat Mahathat, sebagai pemberhentian pertama saya. Membayar tiket masuk sebesar 50 bath, di sinilah letak kepala Buddha terlilit akar pohon. Satu hal yang pasti, ada sebuah peringatan “Pay Respect”, yaitu semua yang ingin berfoto, hendaknya tidak lebih tinggi dari kepala Buddha tersebut.
Padahal, kepala itu hanya sekitar setengah meter dari tanah. Namun, hal itu tidak membuat para turis berkecil hati, mereka turut berjongkok agar bisa berfoto dengan kepala Buddha. Tempat yang wajib kunjung lainnya, yaitu Phra Mongkhon Bophit, tempat patung perunggu terbesar di Thailand. Lebar patung ini 9,55 meter, dengan tinggi 12,45 meter. Lain lagi di Wat Lokayasutha, tempat keberadaan Buddha berbaring yang superbesar.
Di sini pula, penduduk lokal menawarkan bunga-bunga sebagai salah satu upaya “Pay Respect” bagi para turis yang datang. Rasanya tak mungkin saya menyebutkan satu per satu lokasi candi atau pagodapagoda yang begitu cantik karena semuanya menarik untuk dilihat. Bila Anda lelah di tengah jalan, tersedia jasa gajah yang siap membawa berkeliling candi.
Panas yang terik tidak menyurutkan niat saya untuk terus menggowes karena tersedianya rute khusus untuk sepeda sehingga tetap aman dan nyaman, ditemani angin semilir yang menerpa. Namun, waktu jualah yang harus mengakhiri eksplorasi saya di kota ini.
PENULIS :
EVA Traveler
Sisa-sisa kehancuran kota ini terlihat jelas lewat reruntuhan kuil dan pagodanya. Namun, kelestariannya tetap terjaga dan dilindungi. Ini pulalah yang menjadi daya tarik bagi para wisatawan pencinta sejarah dan fotografi.
Akses termudah untuk menuju kota ini adalah dengan kereta api dengan jarak tempuh selama dua jam serta tersedia jadwal keberangkatan hampir setiap jam. Semula, saya hendak menggunakan jasa kereta api sebelum jam 08.30 agar bisa mengeksplor seluruh kota. Namun jadwal terlewat dan saya membeli tiket keberangkatan berikutnya, yakni pukul 09.25. Harga tiketnya hanya 15 bath dan merupakan jenis kereta ekonomi dan free seating .
Seru sih, karena bisa menikmati perjalanan bersama dengan penduduk lokal. Di atas kereta ini banyak juga penjaja makanan, mulai dari buah, minuman, hingga makanan kecil. Karena berwajah Asia, seorang ibu yang duduk di depan saya mengajak bicara dan saya hanya bisa tersenyum dan bilang bukan warga lokal. Walaupun kereta ekonomi, kedatangannya sesuai jadwal. Tanpa ragu, saya langsung menyambangi kantor informasi untuk mendapatkan peta.
Dari hasil browsing pula, setidaknya saya tahu bahwa di seberang stasiun ada tempat penyewaan sepeda dan sepeda motor. Memang, dari awal saya sudah berencana untuk mengayuh sepeda untuk menikmati kota ini. Namun, Anda pun bisa menikmati kota dengan menyewa jasa tuk-tuk. Pemilik rental sepeda juga memberikan peta, soal beberapa situs yang menjadi favorit dan wajib kunjung.
Di kota ini banyak wat atau candi yang gratisan ataupun berbayar. Salah satu yang berbayar adalah Wat Mahathat, sebagai pemberhentian pertama saya. Membayar tiket masuk sebesar 50 bath, di sinilah letak kepala Buddha terlilit akar pohon. Satu hal yang pasti, ada sebuah peringatan “Pay Respect”, yaitu semua yang ingin berfoto, hendaknya tidak lebih tinggi dari kepala Buddha tersebut.
Padahal, kepala itu hanya sekitar setengah meter dari tanah. Namun, hal itu tidak membuat para turis berkecil hati, mereka turut berjongkok agar bisa berfoto dengan kepala Buddha. Tempat yang wajib kunjung lainnya, yaitu Phra Mongkhon Bophit, tempat patung perunggu terbesar di Thailand. Lebar patung ini 9,55 meter, dengan tinggi 12,45 meter. Lain lagi di Wat Lokayasutha, tempat keberadaan Buddha berbaring yang superbesar.
Di sini pula, penduduk lokal menawarkan bunga-bunga sebagai salah satu upaya “Pay Respect” bagi para turis yang datang. Rasanya tak mungkin saya menyebutkan satu per satu lokasi candi atau pagodapagoda yang begitu cantik karena semuanya menarik untuk dilihat. Bila Anda lelah di tengah jalan, tersedia jasa gajah yang siap membawa berkeliling candi.
Panas yang terik tidak menyurutkan niat saya untuk terus menggowes karena tersedianya rute khusus untuk sepeda sehingga tetap aman dan nyaman, ditemani angin semilir yang menerpa. Namun, waktu jualah yang harus mengakhiri eksplorasi saya di kota ini.
PENULIS :
EVA Traveler
(ars)