Pentingnya Deteksi Dini Hipertensi
A
A
A
SEBAGAI satu faktor risiko yang menjadi penyebab gangguan otak, jantung, dan ginjal, hipertensi harus diwaspadai. Selain pola hidup yang sehat, memonitor tekanan darah merupakan cara efektif untuk mengelola hipertensi sedini mungkin.
Hipertensi dikenal sebagai silent killer, penyakit yang menyebabkan kematian, tapi hampir tidak menunjukkan gejala apa pun. Sebuah fakta menarik diungkapkan oleh Riset Kesehatan Dasar Indonesia (Riskesdas), yang menunjukkan penurunan prevalensi hipertensi dari 31,7% pada 2007 menjadi 25,8% pada 2013. Ini menunjukkan bahwa banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengelola hipertensi.
Dr Siska S Danny SpJP dari Pusat Jantung Nasional Harapan Kita mengklasifikasikan kebutuhan dan seberapa sering seseorang sebaiknya memeriksa tekanan darah mereka, dan apakah itu cukup untuk mengelola hipertensi dalam beberapa kategori.
“Seperti yang sudah diketahui sebelumnya, hipertensi dapat muncul tanpa gejala sama sekali. Bahkan, hanya sedikit dari penderita hipertensi berat yang mengalami gejala seperti sakit kepala yang parah, kelelahan terusmenerus, masalah penglihatan, kesulitan bernapas, dan nyeri dada,” katanya saat menghadiri acara media briefingOMRON Healthcare mengenai Pengelolaan dan Deteksi Dini Hipertensi di Le Meridien Hotel, Jakarta, Selasa (31/3).
Kebutuhan pemeriksaan tekanan darah tidak sama, bergantung kebutuhan dan usia. Pemantauan tekanan darah harus dilakukan setiap dua tahun untuk orang-orang berusia di bawah 20 tahun yang tidak menunjukkan gejala-gejala di atas.
Sementara kategori orang-orang di atas usia 40 tahun, teridentifikasi memiliki tekanan darah normal-tinggi (130–139/80–89mmHg) dan memiliki faktor-faktor risiko kardiovaskular lain, misalnya diabetes, obesitas, kolesterol tinggi, dan faktor keturunan sebaiknya memeriksakan tekanan darah setahun sekali.
“Pemantauan tekanan darah secara mandiri merupakan salah satu cara yang tepat dalam mengelola hipertensi. Ini membantu pasien dan dokter menjadi mitra yang baik dalam merencanakan pengelolaan hipertensi yang baik,” kata dr Siska.
Mengenai pengukuran tekanan darah mandiri, Siska menjelaskan bahwa tujuan pengukuran tekanan darah mandiri tersebut dilakukan untuk mengonfirmasi diagnosis, monitor terapi, dan memperbaiki complianceatau ketaatan akan minum obat dan terapi.
“Untuk konfirmasi diagnosis tidak boleh sembarangan, ukur tekanan darah setiap hari selama 3–4 hari, idealnya 7 hari. Lakukan setiap pagi dan malam hari, ambil 2–3 pengukuran setiap harinya dan catat rata-rata, lalu lakukan di ruang yang tenang dan dalam posisi duduk yang baik,” ujarnya.
Yang harus melakukan pengukuran tekanan darah mandiri adalah pasien yang baru memulai terapi, pasien dengan tekanan darah yang tinggi, wanita hamil, kecurigaan adanya hipertensi terselubung, dan pasien berisiko tinggi dan membutuhkan monitoringtekanan darah lebih ketat, misalnya pasien yang memiliki penyakit jantung koroner.
Namun dr Siska mengatakan, pengukuran tekanan darah mandiri ini bukan sebagai substitusi pengobatan hipertensi. Penanganan hipertensi baiknya dilakukan dengan cara, seperti memodifikasi gaya hidup menjadi lebih sehat, terapi obat, dan compliance (ketaatan pasien).
Karena hipertensi lebih disebabkan pada gaya hidup dan kecenderungan genetis keluarga bahwa yang menderita hipertensi dalam keluarga jumlahnya lebih banyak. Tapi jika kedua orang tua terkena hipertensi, si anak belum tentu terkena hipertensi juga.
“Tidak ada cara bisa memprediksi secara tepat mengenai hipertensi. Makin lama dan makin tinggi tekanan darahnya, makin tinggi juga risiko dan terkena hipertensi. Untuk pasien punya penyakit kardiovaskular itu multifaktorial atau ada faktor lain yang bisa menyebabkan hipertensi, misalkan bagaimana diabetesnya,” lanjut dr Siska.
Siska juga menambahkan, ibu hamil wajib memeriksa tekanan darahnya secara rutin. Jika seorang ibu hamil punya tekanan darah yang tinggi, bidan wajib membawanya ke dokter spesialis kandungan karena tekanan darah yang tinggi memengaruhi proses persalinan dan bayi.
“Risiko pada ibu hamil yang memiliki hipertensi jauh lebih tinggi, obat hipertensi bagi ibu hamil berbeda. Selama ini kita mengenal obat Captopril yang sering digunakan masyarakat umum, itu tidak bisa diberikan kepada ibu hamil karena mengganggu janin. Kalau tekanan darah bisa dikontrol dengan obatobatan yang tepat bagi ibu hamil, dia masih bisa menjalani proses persalinan yang normal,” ujarnya.
Iman firmansyah
Hipertensi dikenal sebagai silent killer, penyakit yang menyebabkan kematian, tapi hampir tidak menunjukkan gejala apa pun. Sebuah fakta menarik diungkapkan oleh Riset Kesehatan Dasar Indonesia (Riskesdas), yang menunjukkan penurunan prevalensi hipertensi dari 31,7% pada 2007 menjadi 25,8% pada 2013. Ini menunjukkan bahwa banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengelola hipertensi.
Dr Siska S Danny SpJP dari Pusat Jantung Nasional Harapan Kita mengklasifikasikan kebutuhan dan seberapa sering seseorang sebaiknya memeriksa tekanan darah mereka, dan apakah itu cukup untuk mengelola hipertensi dalam beberapa kategori.
“Seperti yang sudah diketahui sebelumnya, hipertensi dapat muncul tanpa gejala sama sekali. Bahkan, hanya sedikit dari penderita hipertensi berat yang mengalami gejala seperti sakit kepala yang parah, kelelahan terusmenerus, masalah penglihatan, kesulitan bernapas, dan nyeri dada,” katanya saat menghadiri acara media briefingOMRON Healthcare mengenai Pengelolaan dan Deteksi Dini Hipertensi di Le Meridien Hotel, Jakarta, Selasa (31/3).
Kebutuhan pemeriksaan tekanan darah tidak sama, bergantung kebutuhan dan usia. Pemantauan tekanan darah harus dilakukan setiap dua tahun untuk orang-orang berusia di bawah 20 tahun yang tidak menunjukkan gejala-gejala di atas.
Sementara kategori orang-orang di atas usia 40 tahun, teridentifikasi memiliki tekanan darah normal-tinggi (130–139/80–89mmHg) dan memiliki faktor-faktor risiko kardiovaskular lain, misalnya diabetes, obesitas, kolesterol tinggi, dan faktor keturunan sebaiknya memeriksakan tekanan darah setahun sekali.
“Pemantauan tekanan darah secara mandiri merupakan salah satu cara yang tepat dalam mengelola hipertensi. Ini membantu pasien dan dokter menjadi mitra yang baik dalam merencanakan pengelolaan hipertensi yang baik,” kata dr Siska.
Mengenai pengukuran tekanan darah mandiri, Siska menjelaskan bahwa tujuan pengukuran tekanan darah mandiri tersebut dilakukan untuk mengonfirmasi diagnosis, monitor terapi, dan memperbaiki complianceatau ketaatan akan minum obat dan terapi.
“Untuk konfirmasi diagnosis tidak boleh sembarangan, ukur tekanan darah setiap hari selama 3–4 hari, idealnya 7 hari. Lakukan setiap pagi dan malam hari, ambil 2–3 pengukuran setiap harinya dan catat rata-rata, lalu lakukan di ruang yang tenang dan dalam posisi duduk yang baik,” ujarnya.
Yang harus melakukan pengukuran tekanan darah mandiri adalah pasien yang baru memulai terapi, pasien dengan tekanan darah yang tinggi, wanita hamil, kecurigaan adanya hipertensi terselubung, dan pasien berisiko tinggi dan membutuhkan monitoringtekanan darah lebih ketat, misalnya pasien yang memiliki penyakit jantung koroner.
Namun dr Siska mengatakan, pengukuran tekanan darah mandiri ini bukan sebagai substitusi pengobatan hipertensi. Penanganan hipertensi baiknya dilakukan dengan cara, seperti memodifikasi gaya hidup menjadi lebih sehat, terapi obat, dan compliance (ketaatan pasien).
Karena hipertensi lebih disebabkan pada gaya hidup dan kecenderungan genetis keluarga bahwa yang menderita hipertensi dalam keluarga jumlahnya lebih banyak. Tapi jika kedua orang tua terkena hipertensi, si anak belum tentu terkena hipertensi juga.
“Tidak ada cara bisa memprediksi secara tepat mengenai hipertensi. Makin lama dan makin tinggi tekanan darahnya, makin tinggi juga risiko dan terkena hipertensi. Untuk pasien punya penyakit kardiovaskular itu multifaktorial atau ada faktor lain yang bisa menyebabkan hipertensi, misalkan bagaimana diabetesnya,” lanjut dr Siska.
Siska juga menambahkan, ibu hamil wajib memeriksa tekanan darahnya secara rutin. Jika seorang ibu hamil punya tekanan darah yang tinggi, bidan wajib membawanya ke dokter spesialis kandungan karena tekanan darah yang tinggi memengaruhi proses persalinan dan bayi.
“Risiko pada ibu hamil yang memiliki hipertensi jauh lebih tinggi, obat hipertensi bagi ibu hamil berbeda. Selama ini kita mengenal obat Captopril yang sering digunakan masyarakat umum, itu tidak bisa diberikan kepada ibu hamil karena mengganggu janin. Kalau tekanan darah bisa dikontrol dengan obatobatan yang tepat bagi ibu hamil, dia masih bisa menjalani proses persalinan yang normal,” ujarnya.
Iman firmansyah
(ftr)