Dua Pasang Hati
A
A
A
“Kalo belajarnya, sekitar delapan tahunan. 4 tahun kuliah dokter, 2 tahun jadi dokter umum, 2 tahun ambil dokter spesialis,” jawab Keenan sambil mengetuk-ngetukkan sepatunya, bosan.
Buset, Lara mendengus dalam hati. Gaya bicaranya aja udah mirip sama guru biologi gue di sekolah, Bu Mitha. Yang berulang kali menegaskan prinsip yang sama: pelajaran itu yang penting dimengerti, bukan dihafal. Janganjangan doi ini anaknya bu Mitha lagi? “Oh, hahaha.
Gitu ya? Terusterus, susah banget dong? Lo nggak bosen apa, ketemunya rumus mulu, angka mulu, bahasa latin mulu? Nggak keriting tuh otak?” Lara lagilagi menunjukkan usahanya agar cowok ini–at least, tersenyum lebar. “Biasa aja sih, gue kan sekarang udah semester tiga. Udah tahan banting sama rumus dan angka.”
Dia menghela napas, “Lo nanti mau ambil jurusan apa kuliahnya?” “Interior design, hehehe. Gue suka gambar-gambar soalnya.” Apalagi gambar muka kamu di hati aku, tambah Lara dalam hati. “Wow, oke… good luck then,” ujarnya kemudian. Buset, then what? Then… Then they stopped the conversation at that moment. Ini cowok, gimana ya? Kayaknya dia bosen deh ngobrol sama gue, batin Lara mulai berpikir.
Gimana ya supaya dia lebih bersemangat ngomong sama gue? “Nan, gue boleh nanya sesuatu nggak?” “Apa?” “Alasan lo pengen jadi dokter kandungan tuh apa sih?” Alis cowok itu mengernyit. Dia tersenyum akhirnya. Wajahnya terlihat menawan begitu senyum tulus itu tersungging di bibirnya. “Gue cuma kagum aja sama perjuangan seorang ibu, yang mau ngorbanin hidupnya buat lahirin kita.”
Baru dengar alasan kayak gitu saja, Lara tambah jatuh cinta dengan cowok itu. Dia emang bukan cowok sembarangan, mukanya doang yang serius, tapi hatinya luar biasa baik. Nggak salah dong, kalo Lara jatuh cinta dengan cowok kayak dia? Selanjutnya mulut cowok itu berkata, “Kenapa? Lo kira karena gue mau ngeliat kelamin perempuan?”
Wajah Lara mendadak merah, terkejut mendengar ucapannya barusan, yailah baru juga ketawa-tawa dikit, dia udah curigaan lagi. “Ng.. anu, bukan gitu, Nan. Bukan, sumpah.” Eh, udah Lara panik setengah mati, cowok itu malah tersenyum lebar, “Lucu banget muka lo pas panik gitu.” Lara mendelik sebal pada cowok itu, orang lagi kebakaran jenggot takut dia marahmarah, eh malah dibercandain.
Kayak gitu tuh dibilang lucu? Buset, gimana sih cara becandain cowok ini? Masa Lara harus becanda pake istilah kedokteran? Yang ada kepala Lara botak duluan kalo gitu. “Lagian muka lo seakan-akan bilang kalo gue itu pervert. I’m not that kind of man.” Duileeeeh, accent Inggrisnya bagus banget, ala-ala Britishgitu.
Mampus nih, kalo dia lanjutin bahasa Inggris lagi, bisa-bisa besok Lara nelen kamus satu biji supaya langsung lancar ngomongnya. “Ya enggak. Biasanya kan, kalo cowok itu kepengennya jadi dokter anak, dokter bedah, spesialis penyakit dalam, atau apapun itu deh.” “Nggak semuanya kayak gitu.”
“Oh, gitu toh. Nan, boleh nggak… kalo gue… ng…” “Apa?” “Minta nomer lo.” Tampang Keenan berubah sedikit kaget, “Buat apaan?” “Biar kalo pelajaran biologi, lo ajarin gue.” Sepik-sepik doang nih, alesan biar dia nggak curiga. “Oh. 0878564xxx.” Lara tersenyum senang malam itu, modusnya meminta nomer handphone Keenan sudah selesai. Kapan-kapan, kalo ada kesusahan Lara bisa minta bantuannya, sekaligus ‘gencatan senjata’. (bersambung)
OLEH: VANIA M. BERNADETTE
Buset, Lara mendengus dalam hati. Gaya bicaranya aja udah mirip sama guru biologi gue di sekolah, Bu Mitha. Yang berulang kali menegaskan prinsip yang sama: pelajaran itu yang penting dimengerti, bukan dihafal. Janganjangan doi ini anaknya bu Mitha lagi? “Oh, hahaha.
Gitu ya? Terusterus, susah banget dong? Lo nggak bosen apa, ketemunya rumus mulu, angka mulu, bahasa latin mulu? Nggak keriting tuh otak?” Lara lagilagi menunjukkan usahanya agar cowok ini–at least, tersenyum lebar. “Biasa aja sih, gue kan sekarang udah semester tiga. Udah tahan banting sama rumus dan angka.”
Dia menghela napas, “Lo nanti mau ambil jurusan apa kuliahnya?” “Interior design, hehehe. Gue suka gambar-gambar soalnya.” Apalagi gambar muka kamu di hati aku, tambah Lara dalam hati. “Wow, oke… good luck then,” ujarnya kemudian. Buset, then what? Then… Then they stopped the conversation at that moment. Ini cowok, gimana ya? Kayaknya dia bosen deh ngobrol sama gue, batin Lara mulai berpikir.
Gimana ya supaya dia lebih bersemangat ngomong sama gue? “Nan, gue boleh nanya sesuatu nggak?” “Apa?” “Alasan lo pengen jadi dokter kandungan tuh apa sih?” Alis cowok itu mengernyit. Dia tersenyum akhirnya. Wajahnya terlihat menawan begitu senyum tulus itu tersungging di bibirnya. “Gue cuma kagum aja sama perjuangan seorang ibu, yang mau ngorbanin hidupnya buat lahirin kita.”
Baru dengar alasan kayak gitu saja, Lara tambah jatuh cinta dengan cowok itu. Dia emang bukan cowok sembarangan, mukanya doang yang serius, tapi hatinya luar biasa baik. Nggak salah dong, kalo Lara jatuh cinta dengan cowok kayak dia? Selanjutnya mulut cowok itu berkata, “Kenapa? Lo kira karena gue mau ngeliat kelamin perempuan?”
Wajah Lara mendadak merah, terkejut mendengar ucapannya barusan, yailah baru juga ketawa-tawa dikit, dia udah curigaan lagi. “Ng.. anu, bukan gitu, Nan. Bukan, sumpah.” Eh, udah Lara panik setengah mati, cowok itu malah tersenyum lebar, “Lucu banget muka lo pas panik gitu.” Lara mendelik sebal pada cowok itu, orang lagi kebakaran jenggot takut dia marahmarah, eh malah dibercandain.
Kayak gitu tuh dibilang lucu? Buset, gimana sih cara becandain cowok ini? Masa Lara harus becanda pake istilah kedokteran? Yang ada kepala Lara botak duluan kalo gitu. “Lagian muka lo seakan-akan bilang kalo gue itu pervert. I’m not that kind of man.” Duileeeeh, accent Inggrisnya bagus banget, ala-ala Britishgitu.
Mampus nih, kalo dia lanjutin bahasa Inggris lagi, bisa-bisa besok Lara nelen kamus satu biji supaya langsung lancar ngomongnya. “Ya enggak. Biasanya kan, kalo cowok itu kepengennya jadi dokter anak, dokter bedah, spesialis penyakit dalam, atau apapun itu deh.” “Nggak semuanya kayak gitu.”
“Oh, gitu toh. Nan, boleh nggak… kalo gue… ng…” “Apa?” “Minta nomer lo.” Tampang Keenan berubah sedikit kaget, “Buat apaan?” “Biar kalo pelajaran biologi, lo ajarin gue.” Sepik-sepik doang nih, alesan biar dia nggak curiga. “Oh. 0878564xxx.” Lara tersenyum senang malam itu, modusnya meminta nomer handphone Keenan sudah selesai. Kapan-kapan, kalo ada kesusahan Lara bisa minta bantuannya, sekaligus ‘gencatan senjata’. (bersambung)
OLEH: VANIA M. BERNADETTE
(bbg)