Dua Pasang Hati
A
A
A
Hmm, sebentar ya, Mbak. Saya harus intercall dulu dengan manager manajemen rumah sakit ini.” Suster Teressa segera mengangkat gagang telepon dan sibuk berbicara pada pihak rumah sakit.
Tak perlu menunggu beberapa lama, Lara sudah dipersilakan naik ke lantai 5, bertemu dengan manager manajemen rumah sakit itu sebelum bertemu dengan Pak Hasan. ”Haduh, Mbak Lara... kira-kira kita berhasil nggak ya dengan project kita yang baru ini? Soalnya katanya dokter-dokter di sini itu, riweuh semua. Maunya banyak pisan.
Menih takut pisan, kalo nggak berhasil, nih...” desah Silvia dengan logat Sundanya yang kental. Lara tersenyum yakin, ”Sil, kamu tenang aja. Kita pasti bisa, apapun tantangan dalam kerjaan kita, harus kita jalanin sebaik mungkin. Yang penting itu, sabar dan jangan cepat emosi kalo ngadepin klien yang seperti itu. Ngerti?” Silvia mengangguk.
Eh, si Dodo yang berdarah Jawa berkata dengan percaya dirinya, ”Wis ndak usah wedi kayak ngono toh , Mbak Silvia. Kan ada saya, Dodo. Pasti semua masalah bisa gampang terselesaikan.” Dengan medoknya. ”Ih, Kang Dodo mah. Waktu yang dulu, disuruh bikinnya apa... malah kerjain yang lain, dimarahin kan akhirnya sama Mbak Retno si nenek sihir.
Kumaha iyeu si Akang, teh?” singgung Silvia kesal, memang sih kadang Dodo suka tulalit dikit, harus pelan-pelan ngasih tahu dia sampai dia ngerti apa yang diminta oleh kliennya. ”Hei, sudah-sudah. Nggak usah ribut gitu, Do, Sil. Yang penting lakukannya dengan hati yang tulus. Inget, jangan banyak...” belum sempat Lara melanjutkan kalimatnya.
Ia dikejutkan dengan kehadiran Ardio, tunangan sahabatnya yang rupanya bekerja di rumah sakit Harapan Bangsa. ”Eh, Lara. Ngapain lo di sini?” tanya cowok itu ramah. ”Udah nggak apa-apa lo sekarang?” Lara memberi isyarat pada Ardio untuk tidak membahas tentang peristiwa mabuknya dia saat clubbing empat hari yang lalu. Ada anak buahnya begini... ”Ng.. ini Di, gue bakal desain ruang praktik para dokter di sini.
Katanya, abis direnovasi kan?” Mata Ardio terkesiap heran. ”Oh.. iya...” Entah bagaimana, Lara sedikit curiga dengan mimik muka Ardio yang tibatiba saja berubah nggak enak. ”Kenapa emangnya, Di?” Ardio menjawab ragu, ”Ng.. Nggak, Ra. Nggak apa-apa, silakan deh kalo gitu. Happy working with us , ya. Jangan lupa, ruangan gue didesain penuh dengan foto gue sama Echa, hehehe.”
Dia nyengir lebar. ”Dih, dasar norak lo, Di. Hahaha, ya udah gue jalan dulu ya, ke lantai 5. Bye, Bro !” Cowok itu melambaikan tangan pada Lara yang beranjak menjauh darinya. Sebuah perasaan getir menohok benaknya ketika ia tahu Lara sedang berada di sini. Apa ya yang kira-kira membuatnya seperti itu? Pintu bernuansa putih itu, diketuk-ketuk oleh seorang gadis berusia belia, begitu namanya, Jovani dipanggil.
Saat ia berada di dalam, gadis berparas ayu, dengan bentuk matanya yang bundar dan tulang pipinya yang tegas itu berjalan ragu ke arah bangku dokter spesialis kandungan yang ternama itu. ”Jovani Ajeng Maharatih. Betul itu nama kamu?” Suara berat yang maskulin dari sosok dokter tampan itu menggetarkan hati Jovani. ”I-iya.. Dok. Itu nama saya,” jawab Jovani sedikit ketir.
Mata Jovani menyapu pada badge nama dokter kandungan berkumis tipis nan tampan itu, dr Keenan S Bagaskara SpOG. Dia tertunduk malu begitu Dokter Keenan membalas tatapan sendunya. ”Sudah telat lima hari, mual-mual baru dirasakan tadi pagi?” tanya Dokter itu lagi, sambil terus membaca gejala-gejala yang dicatat oleh perawat di rumah sakit itu.
Lagi, tanpa banyak bicara ia mengangguk malu-malu ”Usia kamu baru 16 tahun. Ke mana ayahnya?” tanya Dokter Keenan tanpa basa-basi. Gadis itu hampir tidak bisa berkutik, ia merasa seperti diinterogasi oleh agen FBI ketimbang seorang dokter. Dokter Keenan menggelengkan kepalanya heran, ”Kamu tahu, banyak orang di luar sana yang menginginkan kehadiran seorang bayi dalam hidup mereka.” Jantung Jovani berdegup lebih kencang, sepertinya sebentar lagi tangisnya akan pecah. (bersambung)
OLEH: VANIA M. BERNADETTE
Tak perlu menunggu beberapa lama, Lara sudah dipersilakan naik ke lantai 5, bertemu dengan manager manajemen rumah sakit itu sebelum bertemu dengan Pak Hasan. ”Haduh, Mbak Lara... kira-kira kita berhasil nggak ya dengan project kita yang baru ini? Soalnya katanya dokter-dokter di sini itu, riweuh semua. Maunya banyak pisan.
Menih takut pisan, kalo nggak berhasil, nih...” desah Silvia dengan logat Sundanya yang kental. Lara tersenyum yakin, ”Sil, kamu tenang aja. Kita pasti bisa, apapun tantangan dalam kerjaan kita, harus kita jalanin sebaik mungkin. Yang penting itu, sabar dan jangan cepat emosi kalo ngadepin klien yang seperti itu. Ngerti?” Silvia mengangguk.
Eh, si Dodo yang berdarah Jawa berkata dengan percaya dirinya, ”Wis ndak usah wedi kayak ngono toh , Mbak Silvia. Kan ada saya, Dodo. Pasti semua masalah bisa gampang terselesaikan.” Dengan medoknya. ”Ih, Kang Dodo mah. Waktu yang dulu, disuruh bikinnya apa... malah kerjain yang lain, dimarahin kan akhirnya sama Mbak Retno si nenek sihir.
Kumaha iyeu si Akang, teh?” singgung Silvia kesal, memang sih kadang Dodo suka tulalit dikit, harus pelan-pelan ngasih tahu dia sampai dia ngerti apa yang diminta oleh kliennya. ”Hei, sudah-sudah. Nggak usah ribut gitu, Do, Sil. Yang penting lakukannya dengan hati yang tulus. Inget, jangan banyak...” belum sempat Lara melanjutkan kalimatnya.
Ia dikejutkan dengan kehadiran Ardio, tunangan sahabatnya yang rupanya bekerja di rumah sakit Harapan Bangsa. ”Eh, Lara. Ngapain lo di sini?” tanya cowok itu ramah. ”Udah nggak apa-apa lo sekarang?” Lara memberi isyarat pada Ardio untuk tidak membahas tentang peristiwa mabuknya dia saat clubbing empat hari yang lalu. Ada anak buahnya begini... ”Ng.. ini Di, gue bakal desain ruang praktik para dokter di sini.
Katanya, abis direnovasi kan?” Mata Ardio terkesiap heran. ”Oh.. iya...” Entah bagaimana, Lara sedikit curiga dengan mimik muka Ardio yang tibatiba saja berubah nggak enak. ”Kenapa emangnya, Di?” Ardio menjawab ragu, ”Ng.. Nggak, Ra. Nggak apa-apa, silakan deh kalo gitu. Happy working with us , ya. Jangan lupa, ruangan gue didesain penuh dengan foto gue sama Echa, hehehe.”
Dia nyengir lebar. ”Dih, dasar norak lo, Di. Hahaha, ya udah gue jalan dulu ya, ke lantai 5. Bye, Bro !” Cowok itu melambaikan tangan pada Lara yang beranjak menjauh darinya. Sebuah perasaan getir menohok benaknya ketika ia tahu Lara sedang berada di sini. Apa ya yang kira-kira membuatnya seperti itu? Pintu bernuansa putih itu, diketuk-ketuk oleh seorang gadis berusia belia, begitu namanya, Jovani dipanggil.
Saat ia berada di dalam, gadis berparas ayu, dengan bentuk matanya yang bundar dan tulang pipinya yang tegas itu berjalan ragu ke arah bangku dokter spesialis kandungan yang ternama itu. ”Jovani Ajeng Maharatih. Betul itu nama kamu?” Suara berat yang maskulin dari sosok dokter tampan itu menggetarkan hati Jovani. ”I-iya.. Dok. Itu nama saya,” jawab Jovani sedikit ketir.
Mata Jovani menyapu pada badge nama dokter kandungan berkumis tipis nan tampan itu, dr Keenan S Bagaskara SpOG. Dia tertunduk malu begitu Dokter Keenan membalas tatapan sendunya. ”Sudah telat lima hari, mual-mual baru dirasakan tadi pagi?” tanya Dokter itu lagi, sambil terus membaca gejala-gejala yang dicatat oleh perawat di rumah sakit itu.
Lagi, tanpa banyak bicara ia mengangguk malu-malu ”Usia kamu baru 16 tahun. Ke mana ayahnya?” tanya Dokter Keenan tanpa basa-basi. Gadis itu hampir tidak bisa berkutik, ia merasa seperti diinterogasi oleh agen FBI ketimbang seorang dokter. Dokter Keenan menggelengkan kepalanya heran, ”Kamu tahu, banyak orang di luar sana yang menginginkan kehadiran seorang bayi dalam hidup mereka.” Jantung Jovani berdegup lebih kencang, sepertinya sebentar lagi tangisnya akan pecah. (bersambung)
OLEH: VANIA M. BERNADETTE
(bbg)