Dua Pasang Hati
A
A
A
”Mbak lagi hamil juga?” tanyanya lagi. Kerongkongan Lara langsung gatal begitu anak lugu itu bertanya padanya. Kedengarannya, dia mengerti apa maksud tatapan Lara padanya. Lara menggeleng, tidak enak hati.
”Ng.. nggak, saya cuma desainer interior di sini. Lagi ninjau lokasi ruang dokter yang baru,” jawab Lara jujur. Gadis berparas ayu dan bernama Jovani itu mengangguk paham. Ia mengenali nama gadis itu dari badge seragamnya yang bertuliskan Jovani A. Maharatih Namanya keren banget ya, kayak dewi-dewi khas Jawa Tengah. ”Mbak, pernah nggak sih ngalamin yang namanya love at the first sight ?” tanyanya tiba-tiba, oh sorandom banget sih nih anak.
Lara berpikir sebentar, love at the first sight -nya Lara kan... ”Nggak pernah,” Lara memilih bohong. Gadis itu tersenyum manis padanya, lalu mengelus perutnya, ”Ini pertama kalinya saya ngalamin yang seperti itu, Mbak. Sama yang di dalam sini.” Lara bergeming, kehilangan komentar. Otaknya seperti buntu menjawab pernyataan gadis belia itu. Dia benar-benar sosok yang mengagumkan di mata Lara, begitu keibuan dan berani ambil risiko.
”Oh, gitu ya? Semoga kamu dan kandungan kamu sehat terus ya. Dedek bayinya biar lancar lahirannya.” Lara ikut tersenyum melihatnya. ”Amin, Mbak.. makasih. Semoga aja, anak saya ini.. laki-laki. Supaya dia sehebat dokter yang tadi meriksa saya.” Lara terperanjat, widih ... jadi ikutan penasaran seperti apa rupa dokter yang memeriksa gadis cantik ini. Kalo udah agak tua, pasti surga dunia banget nih, meriksa gadis cantik seger begini. ”Emang kenapa sama dokternya kamu?” Batin Lara seperti mengusiknya untuk tahu lebih lanjut soal si dokter hebat itu.
Gadis itu mendengarkan dengan saksama. ”Dia buat saya, bukan hanya seperti dokter kandungan biasa. Tapi lebih kedengeran seperti Godfather buat anak saya. Saya kagum sama dokter tadi. Tahu nggak Mbak, tadi saya hampir saja...” Gadis itu menceritakan apa saja yang diperbincangkannya dengan the Godfather of her baby tersebut. Seusai mendengar cerita Jovani tentang sosok si dokter kandungan itu, membuat Lara bungkam seribu bahasa. Tubuhnya seakan terpaku di bangku ini, untuk terus mengulik kisah si dokter yang mengagumkan tersebut.
Jovani mengaku dia belum pernah bertemu dokter yang sangat memotivasinya menjadi lebih baik seperti dokter itu. Lara seakan merasakan ada aura kehangatan yang terpancar dari dokter kandungan tersebut. Bulu kuduk Lara sampaisampai berdiri tegak, saat mendengar cerita Jovani saat dokter itu berhasil mengubah pola pikirnya. Lara juga jadi ikutan kagum dengan dokter tersebut. Ah, nanti kalau gue lagi hamil, boleh deh ke dokter itu! Pikir Lara saat itu.
Kan seru, katanya sang dokter itu begitu ramah dan baik pada Jovani, meskipun di awal-awal dia terdengar seperti polantas di jalan raya, yang terus menginterogasi pasiennya. Pikiran Lara terus membayangkan seperti apa fisik sang dokter itu, sampai-sampai ia nggak sadar waktu. Ia seharusnya sudah meninjau lokasinya tersebut dari tadi, udah gitu, dua anak ini malah nggak sama sekali ngasih tahu di mana mereka sekarang. Ditungguin di toilet, dia nggak nongol-nongol.
”Hmm, Jovani. Sori ya, aku harus pergi dulu. Ditungguin sama anak buahku,” pamit Lara begitu Jovani juga sudah selesai menebus resep. Mereka sama-sama bangkit berdiri, ”Jangan lupa lho, Mbak. Kalo nanti hamil, pakenya dokter itu aja. Ramah, baik dan pinter banget lagi.” Begitu katanya, sebelum Lara benar-benar pergi. Lara akhirnya menemukan Dodo dan Silvia yang sedang berdiri di depan sebuah lift.
Mereka berdua tampaknya kebingungan mencari keberadaan Lara. Ia segera menyambangi dua anak buahnya itu yang sedang sibuk menghubungi nomornya. ”Mbak Lara? Astagfirullah Gusti, saya dari tadi cariin si Mbak, lho. Kok yo baru sekarang munculnya?” ”Iya, Mbak. Betul itu si Kribo. Saya kira Mbak pulang duluan,” Silvia menambahkan.
”Nggak mungkin lah saya pulang. Justru tadi, saya nunggu kalian berdua, nggak keluar-keluar dari toilet,” tukas Lara. Dodo menggaruk kepalanya, ”Aduh, kulo nuwun kalau gitu, Mbak. (bersambung)
OLEH:
Vania M. Bernadette
”Ng.. nggak, saya cuma desainer interior di sini. Lagi ninjau lokasi ruang dokter yang baru,” jawab Lara jujur. Gadis berparas ayu dan bernama Jovani itu mengangguk paham. Ia mengenali nama gadis itu dari badge seragamnya yang bertuliskan Jovani A. Maharatih Namanya keren banget ya, kayak dewi-dewi khas Jawa Tengah. ”Mbak, pernah nggak sih ngalamin yang namanya love at the first sight ?” tanyanya tiba-tiba, oh sorandom banget sih nih anak.
Lara berpikir sebentar, love at the first sight -nya Lara kan... ”Nggak pernah,” Lara memilih bohong. Gadis itu tersenyum manis padanya, lalu mengelus perutnya, ”Ini pertama kalinya saya ngalamin yang seperti itu, Mbak. Sama yang di dalam sini.” Lara bergeming, kehilangan komentar. Otaknya seperti buntu menjawab pernyataan gadis belia itu. Dia benar-benar sosok yang mengagumkan di mata Lara, begitu keibuan dan berani ambil risiko.
”Oh, gitu ya? Semoga kamu dan kandungan kamu sehat terus ya. Dedek bayinya biar lancar lahirannya.” Lara ikut tersenyum melihatnya. ”Amin, Mbak.. makasih. Semoga aja, anak saya ini.. laki-laki. Supaya dia sehebat dokter yang tadi meriksa saya.” Lara terperanjat, widih ... jadi ikutan penasaran seperti apa rupa dokter yang memeriksa gadis cantik ini. Kalo udah agak tua, pasti surga dunia banget nih, meriksa gadis cantik seger begini. ”Emang kenapa sama dokternya kamu?” Batin Lara seperti mengusiknya untuk tahu lebih lanjut soal si dokter hebat itu.
Gadis itu mendengarkan dengan saksama. ”Dia buat saya, bukan hanya seperti dokter kandungan biasa. Tapi lebih kedengeran seperti Godfather buat anak saya. Saya kagum sama dokter tadi. Tahu nggak Mbak, tadi saya hampir saja...” Gadis itu menceritakan apa saja yang diperbincangkannya dengan the Godfather of her baby tersebut. Seusai mendengar cerita Jovani tentang sosok si dokter kandungan itu, membuat Lara bungkam seribu bahasa. Tubuhnya seakan terpaku di bangku ini, untuk terus mengulik kisah si dokter yang mengagumkan tersebut.
Jovani mengaku dia belum pernah bertemu dokter yang sangat memotivasinya menjadi lebih baik seperti dokter itu. Lara seakan merasakan ada aura kehangatan yang terpancar dari dokter kandungan tersebut. Bulu kuduk Lara sampaisampai berdiri tegak, saat mendengar cerita Jovani saat dokter itu berhasil mengubah pola pikirnya. Lara juga jadi ikutan kagum dengan dokter tersebut. Ah, nanti kalau gue lagi hamil, boleh deh ke dokter itu! Pikir Lara saat itu.
Kan seru, katanya sang dokter itu begitu ramah dan baik pada Jovani, meskipun di awal-awal dia terdengar seperti polantas di jalan raya, yang terus menginterogasi pasiennya. Pikiran Lara terus membayangkan seperti apa fisik sang dokter itu, sampai-sampai ia nggak sadar waktu. Ia seharusnya sudah meninjau lokasinya tersebut dari tadi, udah gitu, dua anak ini malah nggak sama sekali ngasih tahu di mana mereka sekarang. Ditungguin di toilet, dia nggak nongol-nongol.
”Hmm, Jovani. Sori ya, aku harus pergi dulu. Ditungguin sama anak buahku,” pamit Lara begitu Jovani juga sudah selesai menebus resep. Mereka sama-sama bangkit berdiri, ”Jangan lupa lho, Mbak. Kalo nanti hamil, pakenya dokter itu aja. Ramah, baik dan pinter banget lagi.” Begitu katanya, sebelum Lara benar-benar pergi. Lara akhirnya menemukan Dodo dan Silvia yang sedang berdiri di depan sebuah lift.
Mereka berdua tampaknya kebingungan mencari keberadaan Lara. Ia segera menyambangi dua anak buahnya itu yang sedang sibuk menghubungi nomornya. ”Mbak Lara? Astagfirullah Gusti, saya dari tadi cariin si Mbak, lho. Kok yo baru sekarang munculnya?” ”Iya, Mbak. Betul itu si Kribo. Saya kira Mbak pulang duluan,” Silvia menambahkan.
”Nggak mungkin lah saya pulang. Justru tadi, saya nunggu kalian berdua, nggak keluar-keluar dari toilet,” tukas Lara. Dodo menggaruk kepalanya, ”Aduh, kulo nuwun kalau gitu, Mbak. (bersambung)
OLEH:
Vania M. Bernadette
(ars)