Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jilid 12 Bagian 5
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu
"Heiii, jangan bertempur.., Sin Liong cepat menegur, akan tetapi sekali ini Soan Cu pura-pura tidak mendengarnya, apalagi kakek itu pun sudah marah dan sudah membalas serangannya dengan sepasang pedangnya.
Terjadi pertempuran hebat sekali antara gadis itu dan Tee-tok. Melihat gerakan sepasang pedang itu lihai bukan main dan ada menyambut hawa yang kuat dari lawannya, Soan Cu tidak berani memandang ringan dan tangan kanannya tudah mencabut nya. Pedang di tangan gadis ini pemberian kakeknya, ketua Pulau Neraka dan seperti juga cambuknya, pedang ini aneh dan ampuh sekali.
Bentuk pedang itu juga berduri seperti cambuknya dan pedang itu terbuat dari tulang ular dan namanya pun Coa-kut-kiam (Pedang Tulang Ular) terbuat dari pada tulang ular beracun yang telah dikeraskan dan diperkuat dalam rendaman tetumbuhan beracun sehingga keras seperti baja.
Sedangkan cambuknya itu pun bukan cambuk biasa karena cambuk itu terbuat dari ekor ikan hiu yang istimewa dan yang hanya terdapat di pantai Pulau Neraka. Seperti juga pedangnya, cambuknya itu pun mengandung bisa yang tidak dapat diobati, kecuali oleh dia sendri yang selalu membawa obat penolaknya! Sin Liong sudah mengenal kakek itu ketika muncul tadi, dan dia memang tadinya tidak mau memperlihatkati bahwa dia telah mengenalnya.
Tentu saja dia mengenal kakek ini yang dahulu pernah pula membujuknya untuk ikut dan menjadi muridnya, ketika para tokoh kang-ouw datang memperebutkan dia di lereng Pegunungan Jeng-hoa-san. Kini, melihat betapa Soan CU sudah bertanding mati-matian melawati kakek itu, dia menjadi khawatir sekali dan cepat dia berkata, "Locianpwe, seorang tokoh besar yang berjuluk Tee-tok dan disegani di seluruh dunia kang-ouw, benar-benar mengecewakan dan merendahkan nama besarnya kalau sekarang melayani bertanding melawan seorang dara remaja!" Mendengar ucapan itu, Tee-tok menjadi merah mukanya.
Dia menangkis pedang Soan Cu sekuat tenaga sampai pedang itu hampir terlepas dari tangan Soan Cu, melompat mundur dan menghadapi Sin Liong.
"Hemm, orang muda! Kau sudah mengenal aku, kalau begitu majulah kau menggantikan gadis itu!"
Sin Liong menjura. "Bukan maksudku dengan kata-kata itu menantangmu, Locianpwe. Saya hanya hendak mengatakan bahwa kami berdua sama sekali bukan datang untuk bertanding."
"Tapi kalian datang dan mengakibatkan harimau peliharaan kami mati. Kalau kalian tidak datang mengacau, mana bisa harimau kami mati?"
"Dia mampus karena kalah dalam pertandingan yang adil!" Soan Cu membentak, akan tetapi menjadi tenang kembali karena Sin Liong telah mendekatinya dan minta gadis itu menyimpan pedang dan cambuknya kembali.
"Siangkoan Locianpwe, memang kami akui bahwa harimau peliharaan Locianpwe mati karena biruang kami, akan tetapi Locianpwe telah membalas kematian itu dengan membunuh biruang kami. Bukankah itu sudah lunas artinya?"
"Tidak!" Tee-tok yang masih marah itu membentak. "Biarpun biruangnya sudah mati, akan tetapi pemiliknya belum dihukum!"
Soan Cu tak dapat lagi menahan kemarahannya. "Dihukum apa? Kau hendak membunuh kami?"
"Tak perlu dibunuh! Pelanggaran ke dalam daerah ini sudah merupakan kesalahan, dan matinya harimau tidak cukup ditebus dengan kematian biruang. Pemiliknya harus dihukum rangket seratus kali, baru adil!"
"Keparat!"
"Soan Cu!" Sin Liong berkata dan memegang lengan dara itu sehingga Soan Cu menelan kembali kata-katanya. "Soan Cu, aku minta kepadamu agar kau sekarang juga meninggalkan tempat iyu. Biarkan aku yang berurusan dengan Siangkoan Locianpwe. Kau turunlah dan kautunggu aku di dusun itu. Mengerti?"
Soan Cu mengerutkan alisnya dan matanya memandang ragu, akan tetapi melihat sinar mata Sin Liong yang tegas dan halus itu, dia tidak dapat menolak dan dia mengangguk.
"Berangkatlah, dan tunggu aku di sana." Sin Liong berkata lagi sambil tersenyum. Soan Cu membanting kakinya, lalu melotot ke arah Siangkoan Houw, kemudian meloncat pergi, meninggalkan isak tertahan. Semua orang memandang dengan kagum akan keberanian dara itu yang sekali meloncat lenyap dari situ, akan tetapi terutama sekali kagum kepada Sin Liong yang bersikap demikian tenang dan halus, namun yang memiliki wibawa demikian besarnya sehingga gadis liar seperti itu menjadi demikian jinak dan taat. (Bersambung)
"Heiii, jangan bertempur.., Sin Liong cepat menegur, akan tetapi sekali ini Soan Cu pura-pura tidak mendengarnya, apalagi kakek itu pun sudah marah dan sudah membalas serangannya dengan sepasang pedangnya.
Terjadi pertempuran hebat sekali antara gadis itu dan Tee-tok. Melihat gerakan sepasang pedang itu lihai bukan main dan ada menyambut hawa yang kuat dari lawannya, Soan Cu tidak berani memandang ringan dan tangan kanannya tudah mencabut nya. Pedang di tangan gadis ini pemberian kakeknya, ketua Pulau Neraka dan seperti juga cambuknya, pedang ini aneh dan ampuh sekali.
Bentuk pedang itu juga berduri seperti cambuknya dan pedang itu terbuat dari tulang ular dan namanya pun Coa-kut-kiam (Pedang Tulang Ular) terbuat dari pada tulang ular beracun yang telah dikeraskan dan diperkuat dalam rendaman tetumbuhan beracun sehingga keras seperti baja.
Sedangkan cambuknya itu pun bukan cambuk biasa karena cambuk itu terbuat dari ekor ikan hiu yang istimewa dan yang hanya terdapat di pantai Pulau Neraka. Seperti juga pedangnya, cambuknya itu pun mengandung bisa yang tidak dapat diobati, kecuali oleh dia sendri yang selalu membawa obat penolaknya! Sin Liong sudah mengenal kakek itu ketika muncul tadi, dan dia memang tadinya tidak mau memperlihatkati bahwa dia telah mengenalnya.
Tentu saja dia mengenal kakek ini yang dahulu pernah pula membujuknya untuk ikut dan menjadi muridnya, ketika para tokoh kang-ouw datang memperebutkan dia di lereng Pegunungan Jeng-hoa-san. Kini, melihat betapa Soan CU sudah bertanding mati-matian melawati kakek itu, dia menjadi khawatir sekali dan cepat dia berkata, "Locianpwe, seorang tokoh besar yang berjuluk Tee-tok dan disegani di seluruh dunia kang-ouw, benar-benar mengecewakan dan merendahkan nama besarnya kalau sekarang melayani bertanding melawan seorang dara remaja!" Mendengar ucapan itu, Tee-tok menjadi merah mukanya.
Dia menangkis pedang Soan Cu sekuat tenaga sampai pedang itu hampir terlepas dari tangan Soan Cu, melompat mundur dan menghadapi Sin Liong.
"Hemm, orang muda! Kau sudah mengenal aku, kalau begitu majulah kau menggantikan gadis itu!"
Sin Liong menjura. "Bukan maksudku dengan kata-kata itu menantangmu, Locianpwe. Saya hanya hendak mengatakan bahwa kami berdua sama sekali bukan datang untuk bertanding."
"Tapi kalian datang dan mengakibatkan harimau peliharaan kami mati. Kalau kalian tidak datang mengacau, mana bisa harimau kami mati?"
"Dia mampus karena kalah dalam pertandingan yang adil!" Soan Cu membentak, akan tetapi menjadi tenang kembali karena Sin Liong telah mendekatinya dan minta gadis itu menyimpan pedang dan cambuknya kembali.
"Siangkoan Locianpwe, memang kami akui bahwa harimau peliharaan Locianpwe mati karena biruang kami, akan tetapi Locianpwe telah membalas kematian itu dengan membunuh biruang kami. Bukankah itu sudah lunas artinya?"
"Tidak!" Tee-tok yang masih marah itu membentak. "Biarpun biruangnya sudah mati, akan tetapi pemiliknya belum dihukum!"
Soan Cu tak dapat lagi menahan kemarahannya. "Dihukum apa? Kau hendak membunuh kami?"
"Tak perlu dibunuh! Pelanggaran ke dalam daerah ini sudah merupakan kesalahan, dan matinya harimau tidak cukup ditebus dengan kematian biruang. Pemiliknya harus dihukum rangket seratus kali, baru adil!"
"Keparat!"
"Soan Cu!" Sin Liong berkata dan memegang lengan dara itu sehingga Soan Cu menelan kembali kata-katanya. "Soan Cu, aku minta kepadamu agar kau sekarang juga meninggalkan tempat iyu. Biarkan aku yang berurusan dengan Siangkoan Locianpwe. Kau turunlah dan kautunggu aku di dusun itu. Mengerti?"
Soan Cu mengerutkan alisnya dan matanya memandang ragu, akan tetapi melihat sinar mata Sin Liong yang tegas dan halus itu, dia tidak dapat menolak dan dia mengangguk.
"Berangkatlah, dan tunggu aku di sana." Sin Liong berkata lagi sambil tersenyum. Soan Cu membanting kakinya, lalu melotot ke arah Siangkoan Houw, kemudian meloncat pergi, meninggalkan isak tertahan. Semua orang memandang dengan kagum akan keberanian dara itu yang sekali meloncat lenyap dari situ, akan tetapi terutama sekali kagum kepada Sin Liong yang bersikap demikian tenang dan halus, namun yang memiliki wibawa demikian besarnya sehingga gadis liar seperti itu menjadi demikian jinak dan taat. (Bersambung)
(dwi)