Kho Ping Hoo, Bukek Siansu Jilid 24 Bagian 4

Selasa, 30 Mei 2017 - 18:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo, Bukek...
Bukek Siansu, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu

Tinggal diam saja di Hoa-san mereka merasa makin lama makin gelisah. Selama itu, tidak ada satu kali pun mereka berani memeriksa pusaka yang disimpan di tempat yang amat rapat di kamar pusaka oleh mendiang Kong Thian-cu. Akhirnya mereka terpaksa menahan diri, dan saling berjanji bahwa kalau setahun lagi pemilik pusaka yang sah tidak muncul, mereka akan menghadap Pek Sim Tojin, menceritakan dengan terus terang dan menyerahkan pusaka itu untuk dipelajari bersama sehingga dengan demikian pusaka itu ada manfaatnya demi kemajuan dan kebaikan Hoa-san-pai sendiri.

***

"Suheng, kita berhenti istirahat dulu di sini!" Swat Hong berkata.

Sin Liong menoleh kepada dara itu, tersenyum dan berkata, "Engkau lelah, Sumoi?"

Swat Hong mengangguk dan Sin Liong menghentikan langkahnya, lalu keduanya duduk di bawah sebatang pohon besar di lereng bukit itu. Tempat perhentian mereka itu di tepi jalan yang merupakan lorong setapak, di sebelah kiri terdapat dinding bukit, di sebelah kanan jurang yang amat curam.

Pemandangan di seberang jurang amatlah indahnya, tamasya alam yang tergelar di bawah kaki mereka, sehelai permadani hidup yang permai dengan segala macam warna berselang-seling, kelihatan kacau namun menyedapkan pandangan karena di dalam kekacauan itu terdapat keselarasan yang wajar. Sawah ladang bekas hasil tangan manusia berpetak-petak, digaris oleh sebatang sungai yang berbelok-belok, dengan rumpun di sana-sini diseling pohon-pohon besar yang masih bertahan di antara perobahan yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia.

Sebatang pohon yang daun-daunnya telah menguning dan banyak yang rontok, kelihatan menyendiri dan menonjol di antara segala tumbuh-tumbuhan menghijau, dan seolah-olah segala keindahan berpusat kepada pohon menguning hampir mati itu. Matahari yang berada di atas kepala tidak menimbulkan bayang-bayang sehingga hari nampak cerah sekali. Sinar matahari dengan langsung dan bebas menyinari bumi dan segala yang berada di atasnya, terang benderang tidak ada gangguan awan.

Di dalam keheningan itu, Swat Hong dapat melihat ini semua. Ketika tanpa di sengaja tangannya yang digerakkan untuk menyeka keringat bertemu dengan lengan Sin Liong, barulah dia sadar akan dirinya dan sekelilingnya. Dan dia terheran. Semenjak dia bertemu dengan suhengnya dan melakukan perjalanan ini, seringkali dia tenggelam ke dalam keindahan yang amat luar biasa, yang sukar dia ceritakan dengan kata-kata.

Dia merasa tenteram, tenang dan penuh damai sungguhpun suhengnya jarang mengeluarkan kata-kata. Dia seperti merasa betapa diri pribadi suhengnya bersinar cahaya yang hangat dan aneh, terasa ada getaran yang ajaib keluar dari pribadi suhengnya yang mempengaruhinya dan mendatangkan suatu perasaan yang mentakjubkan, yang mengusir segala kekesalan, segala kerisauan, dan segala kedukaan.

Sudah beberapa kali dia ingin mengutarakan ini kepada suhengnya, namun setiap kali dia hendak bicara, mulutnya seperti dibungkamnya sendiri oleh keseganan yang timbul dan perasaan halus dan lembut terhadap suhengnya itu, sesuatu yang belum pernah dirasakannya semula. Dia mencinta suhengnya, ini sudah jelas. Namun sekarang timbul perasaan lain yang lebih agung daripada sekedar cinta biasa, perasaan yang membuat dia penuh damai.

"Suheng...." Dia memberanikan hati nya berkata.

"Ya...?" Sin Liong mengangkat muka memandangnya sambil tersenyum. Senyumnya begitu lembut penuh kasih, pandang matanya begitu bersinar penuh pengertian sehingga Swat Hong merasa betapa seolah-olah sebelum dia bicara, suhengnya itu telah tahu apa yang terkandung di dalam hatinya! Inilah yang biasanya membuat dia membungkam dan tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Kini dia mengeraskan hati dan berkata dengan suara lirih,

"Suheng, kita akan ke manakah?"

"Ke Hoa-san, sudah kuberitahukan kepadamu," jawabnya sederhana.

"Bagaimana kau bisa tahu bahwa mereka berada di Hoa-san?"

Sin Liong tersenyum, senyum cerah, secerah sinar matahari di saat itu, senyum yang bebas dan wajar tidak menyembunyikan sesuatu, tidak membawa arti sesuatu. "Sumoi, pusaka itu kauberikan kepada Liem Toan Ki dan tunangannya, dan karena Liem Toan Ki adalah murid Hoa-san-pai, maka tentu saja mereka berada di Hoa-san." (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0410 seconds (0.1#10.140)