Kho Ping Hoo, Bukek Siansu Jilid 21 Bagian 2
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu
Dengan lesu dan penuh duka, rombongan Kaisar melanjutkan perjalanan mengungsi ke Secuan dan kematian selir tercinta itu melumpuhkan seluruh gairah hidup Kaisar yang sudah tua itu. Akan tetapi, di tengah perjalanan, kembali terjadi peristiwa hebat.
Ketika rombongan itu sedang beristirahat dan bermalam di sebuah dusun kecil di daerah yang sepi di perbatasan Secuan, malam itu tiba-tiba heboh karena terjadinya pembunuhan atas diri seorang di antara para pangeran yang ikut mengungsi.
Pangeran ini adalah adik pangeran mahkota. Di waktu malam yang amat sunyi itu, dua sosok bayangan berkelebat di atas genteng rumah-rumah yang dijadikan tempat mengaso rombongan Kaisar. Mereka ini bukan lain adalah Bu Swi Nio dan Liem loan Ki. Keduanya, sebagai mata-mata An Lu Shan, setelah berhasil menghasut anak buah pasukan pengawal sehingga terbunuhnya Yang Kui Hui dan kakaknya, diam-diam terus mengikuti dan membayangi rombongan itu, mencari kesempatan baik untuk membunuh Kaisar! Inilah tujuan mereka, karena matinya Kaisar akan merupakan kemenangan besar bagi An Lu Shan.
Akan tetapi, mereka berdua salah masuk! Mereka memasuki kamar pangeran muda yang berada di sebelah kamar Kaisar. Ketika dua batang pedang di tangan mereka bergerak tubuh di atas pembaringan, di dalam kelambu yang tertusuk pedang dan mengeluarkan pekik maut bukanlah tubuh Kaisar, melainkan tubuh pangeran itu! Barulah kedua orang ini tahu bahwa mereka telah keliru, dan cepat mereka meloncat dan keluar dari dalam kamar itu melalui jendela.
"Tangkap penjahat!"
"Tangkap pembunuh!!"
Dalam sekejap mata saja kedua orang mata-mata itu dikepung oleh belasan orang pengawal dan disergap. Tentu saja Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki membela diri dan membalas dengan serangan-serangan dahsyat. Terjadilah pertandingan keroyokan di ruangan yang cukup terang itu dan makin lama makin banyaklah pengawal yang datang mengeroyok. Menghadapi pengeroyokan banyak sekali pengawal yang berkepandaian tinggi, dua orang itu menjadi repot juga.
Dengan berdiri saling membelakangi, Swi Nio dan Toan Ki saling melindungi, pedang mereka bergerak cepat menyambar-nyambar ke depan, kanan dan kiri menangkis semua senjata yang datang bagaikan hujan ke arah mereka.
Suara beradunya senjata nyaring diselingi teriakan-teriakan para pengeroyok memecah kesunyian malam di dusun itu. Tidak kurang dari delapan orang pengeroyok roboh oleh pedang mereka dan kini para pengawal atas komando perwira atasan mereka mengurung dan mengatur barisan.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Bu Swi Nio untuk mengeser kakinya mundur sampai punggungnya beradu dengan punggung Liem Toan Ki. Kemudian dia berbisik, suaranya mengandung keharuan, "Maaf, Koko. Aku yang membujukmu ke sini sehingga kau juga menghadapi bahaya maut...."
"Hushhh..., mati atau hidup kita berdua, Moi-moi...."
"Aku tak takut mati, tapi... aku belum sempat membalas segala kebaikanmu, Koko...."
"Tidak ada kebaikan di antara kita. Kita saling mencinta, bukan? Mencinta sampai kita mati bersama!"
Ucapan Toan Ki ini membangkitkan semangat di dalam hati Swi Nio. Sambil memegang pedang erat-erat dan tangan kirinya dikepal, dia berkata. "Aku akan merasa bangga denganmu, Koko!"
Percakapan bisik-bisik itu dihentikan karena kini para pengeroyok yang tadi mengurung mereka telah mulai menyerang. Kini pengeroyokan mereka teratur, dan serangan datang bertubi-tubi, berantai karena mereka mengelilingi dua orang ini sampai tiga empat barisan.
Swi Nio dan Toan Ki kembali harus menggerakkan pedang masing-masing untuk menangkis dan melindungi tubuh mereka, namun karena datangnya serangan tidak seperti tadi, kadang-kadang bertubi-tubi dan susul menyusul, mereka berdua menjadi repot sekali dan tiba-tiba terdengar Swi Nio mengeluh perlahan ketika bahu kirinya terkena hantaman gagang tombak. (Bersambung)
Dengan lesu dan penuh duka, rombongan Kaisar melanjutkan perjalanan mengungsi ke Secuan dan kematian selir tercinta itu melumpuhkan seluruh gairah hidup Kaisar yang sudah tua itu. Akan tetapi, di tengah perjalanan, kembali terjadi peristiwa hebat.
Ketika rombongan itu sedang beristirahat dan bermalam di sebuah dusun kecil di daerah yang sepi di perbatasan Secuan, malam itu tiba-tiba heboh karena terjadinya pembunuhan atas diri seorang di antara para pangeran yang ikut mengungsi.
Pangeran ini adalah adik pangeran mahkota. Di waktu malam yang amat sunyi itu, dua sosok bayangan berkelebat di atas genteng rumah-rumah yang dijadikan tempat mengaso rombongan Kaisar. Mereka ini bukan lain adalah Bu Swi Nio dan Liem loan Ki. Keduanya, sebagai mata-mata An Lu Shan, setelah berhasil menghasut anak buah pasukan pengawal sehingga terbunuhnya Yang Kui Hui dan kakaknya, diam-diam terus mengikuti dan membayangi rombongan itu, mencari kesempatan baik untuk membunuh Kaisar! Inilah tujuan mereka, karena matinya Kaisar akan merupakan kemenangan besar bagi An Lu Shan.
Akan tetapi, mereka berdua salah masuk! Mereka memasuki kamar pangeran muda yang berada di sebelah kamar Kaisar. Ketika dua batang pedang di tangan mereka bergerak tubuh di atas pembaringan, di dalam kelambu yang tertusuk pedang dan mengeluarkan pekik maut bukanlah tubuh Kaisar, melainkan tubuh pangeran itu! Barulah kedua orang ini tahu bahwa mereka telah keliru, dan cepat mereka meloncat dan keluar dari dalam kamar itu melalui jendela.
"Tangkap penjahat!"
"Tangkap pembunuh!!"
Dalam sekejap mata saja kedua orang mata-mata itu dikepung oleh belasan orang pengawal dan disergap. Tentu saja Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki membela diri dan membalas dengan serangan-serangan dahsyat. Terjadilah pertandingan keroyokan di ruangan yang cukup terang itu dan makin lama makin banyaklah pengawal yang datang mengeroyok. Menghadapi pengeroyokan banyak sekali pengawal yang berkepandaian tinggi, dua orang itu menjadi repot juga.
Dengan berdiri saling membelakangi, Swi Nio dan Toan Ki saling melindungi, pedang mereka bergerak cepat menyambar-nyambar ke depan, kanan dan kiri menangkis semua senjata yang datang bagaikan hujan ke arah mereka.
Suara beradunya senjata nyaring diselingi teriakan-teriakan para pengeroyok memecah kesunyian malam di dusun itu. Tidak kurang dari delapan orang pengeroyok roboh oleh pedang mereka dan kini para pengawal atas komando perwira atasan mereka mengurung dan mengatur barisan.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Bu Swi Nio untuk mengeser kakinya mundur sampai punggungnya beradu dengan punggung Liem Toan Ki. Kemudian dia berbisik, suaranya mengandung keharuan, "Maaf, Koko. Aku yang membujukmu ke sini sehingga kau juga menghadapi bahaya maut...."
"Hushhh..., mati atau hidup kita berdua, Moi-moi...."
"Aku tak takut mati, tapi... aku belum sempat membalas segala kebaikanmu, Koko...."
"Tidak ada kebaikan di antara kita. Kita saling mencinta, bukan? Mencinta sampai kita mati bersama!"
Ucapan Toan Ki ini membangkitkan semangat di dalam hati Swi Nio. Sambil memegang pedang erat-erat dan tangan kirinya dikepal, dia berkata. "Aku akan merasa bangga denganmu, Koko!"
Percakapan bisik-bisik itu dihentikan karena kini para pengeroyok yang tadi mengurung mereka telah mulai menyerang. Kini pengeroyokan mereka teratur, dan serangan datang bertubi-tubi, berantai karena mereka mengelilingi dua orang ini sampai tiga empat barisan.
Swi Nio dan Toan Ki kembali harus menggerakkan pedang masing-masing untuk menangkis dan melindungi tubuh mereka, namun karena datangnya serangan tidak seperti tadi, kadang-kadang bertubi-tubi dan susul menyusul, mereka berdua menjadi repot sekali dan tiba-tiba terdengar Swi Nio mengeluh perlahan ketika bahu kirinya terkena hantaman gagang tombak. (Bersambung)
(dwi)