Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jilid 16 Bagian 5

Kamis, 30 Maret 2017 - 06:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo : Bukek...
Bukek Siansu, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo : Bukek Siansu

"Pertahankanlah... sebentar lagi...." terdengar suara laki-laki tadi dari pohon dan Liu Bwee merasa betapa tubuhnya ditarik makin cepat ke arah pohon karena dari arah laut sudah datang lagi gelombang yang amat dahsyat. Ngeri juga dia menyaksikan gelombang sebesar gunung yang datang bergulung-gulung dari depan seolah-olah seekor naga raksasa yang datang hendak menelannya.

"Cepat... cepatlah!" Dia merintih dan dalam keadaan setengah pingsan dia merasa betapa tubuhnya ditarik atau lebih tepat diseret ke arah pohon itu.

Akhirnya dia tiba di pohon itu dan sebuah lengan yang kuat, menyambarnya tubuhnya diangkat ke atas pohon tepat pada saat gelombang itu datang bergulung-gulung. Liu Bwee mengeluh dan tak sadarkan diri!

"Aneh...!"

Lapat-lapat Liu Bwee mendengar kata-kata "aneh" itu. Akan tetapi seluruh tubuhnya sakit-sakit, kepalanya pening dan tenaganya habis maka dia tidak membuka mata dan membiarkan saja ketika merasa betapa ada, telapak tangan hangat menyentuh tengkuknya dan dari telapak tangan itu keluar hawa sin-kang yang hangat dan yang membantu peredaran jalan darahnya, memulihkan kembali tenaganya secara perlahan-lahan.

"Aneh sekali...!"

Kini Liu Bwee teringat semua dan mengenal suara itu sebagai suara laki-laki yang menolongnya. Cepat dia membuka matanya dan menggerakkan tubuhnya hendak bangkit duduk. Akan tetapi hampir dia menjerit karena tubuhnya limbung dan kalau laki-laki itu tidak cepat menyambar lengannya, tentu dia sudah jatuh terguling dari atas batang pohon yang besar itu, jatuh ke bawah yang masih direndam air laut yang berguncang.

"Ahhhh..!" Dia berkata lalu mengangka muka memandang. Seorang laki-laki, usianya tentu sudah empat puluh tahun lebih duduk di atas dahan di depannya. Laki-laki itu berwajah gagah sekali, alisnya tebal matanya lebar dan air mukanya yang penuh goresan tanda penderitaan batin itu kelihatan matang dan penuh ketulusan hati, tubuhnya tegap dan pakaiannya bersih dan rapi, di punggungnya tampak sebatang pedang.

Laki-laki itu memandang kepadanya dengan air muka membayangkan keheranan, maka tentu laki-laki ini yang tadi berkali-kali menyerukan kata-kata "aneh" dan tentu laki-laki ini pula yang telah menolongnya karena di dalam pohon itu tidak ada orang lain kecuali mereka berdua.

"Engkaulah yang telah menyelamatkan nyawaku tadi? Aku harus menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolonganmu." Liu Bwee berkata sambil memandang wajah yang gagah dan sederhana itu.

Laki-laki itu mengelus jenggot yang hitam panjang, menatap wajah Liu Bwee kemudian berkata, "Harap jangan berkata demikian. Dalam keadaan dunia seolah-olah kiamat ini, alam mengamuk dahsyat tak terlawan oleh tenaga manusia manapun, sudah sepatutnya kalau di antara manusia saling bantu-membantu. Hem mm... sungguh aneh sekali...!"

"In-kong (Tuan Penolong), mengapa berkali-kali mengatakan aneh?" tanya Liu Bwee.

Orang itu tidak tertawa, hanya mengelus jenggotnya dan menatap wajah Liu Bwee tanpa sungkan-sungkan, seolah-olah dia sedanf memandang benda yang aneh dan belum pernah dilihatnya.

"Siapa kira di pulau kosong ini, di tempat sunyi seperti ini, di mana laki-laki pun sukar untuk hidup, terdapat seorang wanita yang masih muda dan cantik jelita." (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0483 seconds (0.1#10.140)