Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 13 Bagian 9
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Suling Emas
Bukan main girangnya hati Kalisani. Setelah memberi hormat berlutut dan mengangguk sampai delapan kali, ia menggendong kakek cebol itu dan lari congklang seperti kuda. Si Kakek Cebol tertawa bergelak-gelak lalu berkata, "Hayo kau pun tertawa yang keras! Menjadi muridku harus gembira selalu, kalau tidak kau akan kubunuh!"
Dan terdengarlah suara Kalisani tertawa pula, terkekeh-kekeh menyaingi suara ketawa gurunya! Kalau ada orang melihat mereka, tentu orang itu akan lari terbirit-birit atau berdiri terlongong keheranan karena keadaan mereka itu hanya akan menimbulkan dua macam dugaan, pertama, mereka adalah dua iblis neraka atau yang kedua, mereka adalah sepasang orang gila yang liar. Yang menggendong seorang berkepala botak dan tertawa terkekeh-kekeh, yang digendong seorang kakek cebol tertawa bergelak-gelak sepanjang jalan. Dan di atas mereka, terbanglah si Burung Hantu sambil mengeluarkan suara seperti tertawa pula, hanya saja suara itu akan membuat orang menggigil serem di waktu malam!
Kwee Seng keluar dari balik pohon, menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. Aneh-aneh di dunia ini, memang! Kemudian ia lalu melanjutkan perjalanan meninggalkan Khitan. Urusannya di Khitan sudah selesai. Bayisan telah terhukum, sungguhpun bukan langsung dari tangannya, adapun Ban-pi Lo-cia, biarlah lain kali kalau ada kesempatan berjumpa, akan ia tantang untuk membereskan perhitungan, karena betapapun juga, matinya Ang-siauw-hwa karena perbuatan keji Ban-pi Lo-cia, tak dapat terhapus begitu saja dari ingatannya.
Dalam perantauannya ini yang menjelajah belasan propinsi dan puluhan kota ratusan desa, tiada hentinya Kwee Seng mengulurkan tangan melakukan darma baktinya sebagai seorang berilmu. Tak terhitung lagi jumlahnya penjahat yang mengenal betapa keras dan ampuhnya telapak tangan kanannya, dan sebaliknya entah berapa banyaknya orang-orang tertindas mengenal betapa lunak halus dan terbukanya telapak tangan kirinya!
Dimana-mana Kwee Seng melakukan perbuatan gagah perkasa dan kini masih saja ia sembunyi, tak suka menonjolkan namanya, dan hanya beberapa kali karena terpaksa ia memperkenalkan namanya sebagai Kim-mo Taisu. Namun tak seorang pun dapat menduga bahwa orang yang berpakaian compang-camping penuh tambalan, yang rambutnya riap-riapan dan tertawa-tawa di sepanjang jalan, orang gila ini sebenarnya adalah Kim-mo Taisu Si Pendekar Budiman!
Berbahayalah orang yang terlalu lemah menghadapi racun asmara seperti halnya Kwee Seng. Pendekar ini seorang yang kuat lahir batin, namun menghadapi pengaruh asmara, ia roboh. Perasaannya menjadi lemah dan lunak seperti lilin cair dipermainkan tangan-tangan asmara yang jahil. Kegagalan cinta kasihnya terhadap Ang-siauw-hwa, kemudian pukulan batin oleh asmara yang nakal ketika terjadi peristiwa dengan nenek di Neraka Bumi, benar-benar membuatnya runtuh. Rasa sesal dan malu bercampur aduk sehingga membuat kelakuannya seperti orang gila. Membuat ia merantau tanpa tujuan sampai bertahun-tahun lamanya.
Memang sesungguhnya, tiada seorang pun manusia di dunia ini yang terluput dari pada serangan dan dorongan nafsu yang merobah diri menjadi cinta. Tak seorang pun boleh mengingkari atau menghindarinya, karena hal ini sudahlah wajar. Namun, betapa hebat cinta kasih merangsang hatinya, manusia tetap harus tenang waspada, jangan membiarkan diri diperhamba nafsu, harus tetap berada di atas nafsu dan dapat mengendalikannya.
Nafsu seumpama kuda. Badan wadag (jasmani) seumpama kereta. Nafsulah yang menarik jasmani ke depan sehingga berhasil memperoleh kemajuan jasmani, seperti halnya kuda menarik kereta sehingga dapat maju dengan lancar. Akan tetapi, tanpa ada Sang Kusir yang menguasai kuda itu maka akan berbahayalah jadinya. Sifat kuda memang liar, ganas dan tidak mudah ditundukkan. Sang Kusir inilah rohani yang harus diperkuat dengan kesadaran.
Apabila Sang Kusir kuat dan dapat menguasai keliaran kuda nafsu, maka kuda itu akan dapat dibikin jinak, dapat dikendalikan untuk maju menarik kereta jasmani ke arah ja lan yang benar. Sebaliknya, apabila Sang Kusir itu lemah, maka kuda nafsu yang akan menguasai perjalanan, dan akibatnya dapat mengerikan. Kuda liar dapat menarik kereta beserta kusirnya tanpa aturan lagi dan besar kemungkinan akan membawa kereta masuk jurang!
***
Betapapun juga, terlalu meremehkan cinta kasih seperti halnya Liu Lu Sian, juga berbahaya sekali. Sekali meremehkan cinta kasih murni antara suami isteri, besar kemungkinan orang akan terseret kepada sifat tinggi hati dan memandang cinta sebagai barang permainan dan iseng-iseng belaka! Sifat ini akan menyeret orang untuk berkecimpung ke dalam percintaan hewani yang terdorong oleh nafsu berahi semata.
Liu Lu Sian telah melakukan kesalah itu. Ia memandang rendah akan cinta kasih suami isteri sehingga ia rela meninggalkan kam Si Ek dan puteranya, mencari kebebasan. Memang hal ini tidak mungkin. Siapapun juga yang telah mengikatkan diri dengan perjodohan, berarti ia mengikatkan diri pula dengan pelbagai kewajiban, tak mungkin dapat bebas lagi kalau ia mau menjadi seorang isteri atau suami yang baik. Lu Sian lari daripada kewajiban-kewajiban yang dianggapnya berat tak menyenangkan itu. Ia lari mencari kebebasan, kebebasan total, juga kebebasan cinta! (Bersambung)
Bukan main girangnya hati Kalisani. Setelah memberi hormat berlutut dan mengangguk sampai delapan kali, ia menggendong kakek cebol itu dan lari congklang seperti kuda. Si Kakek Cebol tertawa bergelak-gelak lalu berkata, "Hayo kau pun tertawa yang keras! Menjadi muridku harus gembira selalu, kalau tidak kau akan kubunuh!"
Dan terdengarlah suara Kalisani tertawa pula, terkekeh-kekeh menyaingi suara ketawa gurunya! Kalau ada orang melihat mereka, tentu orang itu akan lari terbirit-birit atau berdiri terlongong keheranan karena keadaan mereka itu hanya akan menimbulkan dua macam dugaan, pertama, mereka adalah dua iblis neraka atau yang kedua, mereka adalah sepasang orang gila yang liar. Yang menggendong seorang berkepala botak dan tertawa terkekeh-kekeh, yang digendong seorang kakek cebol tertawa bergelak-gelak sepanjang jalan. Dan di atas mereka, terbanglah si Burung Hantu sambil mengeluarkan suara seperti tertawa pula, hanya saja suara itu akan membuat orang menggigil serem di waktu malam!
Kwee Seng keluar dari balik pohon, menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. Aneh-aneh di dunia ini, memang! Kemudian ia lalu melanjutkan perjalanan meninggalkan Khitan. Urusannya di Khitan sudah selesai. Bayisan telah terhukum, sungguhpun bukan langsung dari tangannya, adapun Ban-pi Lo-cia, biarlah lain kali kalau ada kesempatan berjumpa, akan ia tantang untuk membereskan perhitungan, karena betapapun juga, matinya Ang-siauw-hwa karena perbuatan keji Ban-pi Lo-cia, tak dapat terhapus begitu saja dari ingatannya.
Dalam perantauannya ini yang menjelajah belasan propinsi dan puluhan kota ratusan desa, tiada hentinya Kwee Seng mengulurkan tangan melakukan darma baktinya sebagai seorang berilmu. Tak terhitung lagi jumlahnya penjahat yang mengenal betapa keras dan ampuhnya telapak tangan kanannya, dan sebaliknya entah berapa banyaknya orang-orang tertindas mengenal betapa lunak halus dan terbukanya telapak tangan kirinya!
Dimana-mana Kwee Seng melakukan perbuatan gagah perkasa dan kini masih saja ia sembunyi, tak suka menonjolkan namanya, dan hanya beberapa kali karena terpaksa ia memperkenalkan namanya sebagai Kim-mo Taisu. Namun tak seorang pun dapat menduga bahwa orang yang berpakaian compang-camping penuh tambalan, yang rambutnya riap-riapan dan tertawa-tawa di sepanjang jalan, orang gila ini sebenarnya adalah Kim-mo Taisu Si Pendekar Budiman!
Berbahayalah orang yang terlalu lemah menghadapi racun asmara seperti halnya Kwee Seng. Pendekar ini seorang yang kuat lahir batin, namun menghadapi pengaruh asmara, ia roboh. Perasaannya menjadi lemah dan lunak seperti lilin cair dipermainkan tangan-tangan asmara yang jahil. Kegagalan cinta kasihnya terhadap Ang-siauw-hwa, kemudian pukulan batin oleh asmara yang nakal ketika terjadi peristiwa dengan nenek di Neraka Bumi, benar-benar membuatnya runtuh. Rasa sesal dan malu bercampur aduk sehingga membuat kelakuannya seperti orang gila. Membuat ia merantau tanpa tujuan sampai bertahun-tahun lamanya.
Memang sesungguhnya, tiada seorang pun manusia di dunia ini yang terluput dari pada serangan dan dorongan nafsu yang merobah diri menjadi cinta. Tak seorang pun boleh mengingkari atau menghindarinya, karena hal ini sudahlah wajar. Namun, betapa hebat cinta kasih merangsang hatinya, manusia tetap harus tenang waspada, jangan membiarkan diri diperhamba nafsu, harus tetap berada di atas nafsu dan dapat mengendalikannya.
Nafsu seumpama kuda. Badan wadag (jasmani) seumpama kereta. Nafsulah yang menarik jasmani ke depan sehingga berhasil memperoleh kemajuan jasmani, seperti halnya kuda menarik kereta sehingga dapat maju dengan lancar. Akan tetapi, tanpa ada Sang Kusir yang menguasai kuda itu maka akan berbahayalah jadinya. Sifat kuda memang liar, ganas dan tidak mudah ditundukkan. Sang Kusir inilah rohani yang harus diperkuat dengan kesadaran.
Apabila Sang Kusir kuat dan dapat menguasai keliaran kuda nafsu, maka kuda itu akan dapat dibikin jinak, dapat dikendalikan untuk maju menarik kereta jasmani ke arah ja lan yang benar. Sebaliknya, apabila Sang Kusir itu lemah, maka kuda nafsu yang akan menguasai perjalanan, dan akibatnya dapat mengerikan. Kuda liar dapat menarik kereta beserta kusirnya tanpa aturan lagi dan besar kemungkinan akan membawa kereta masuk jurang!
***
Betapapun juga, terlalu meremehkan cinta kasih seperti halnya Liu Lu Sian, juga berbahaya sekali. Sekali meremehkan cinta kasih murni antara suami isteri, besar kemungkinan orang akan terseret kepada sifat tinggi hati dan memandang cinta sebagai barang permainan dan iseng-iseng belaka! Sifat ini akan menyeret orang untuk berkecimpung ke dalam percintaan hewani yang terdorong oleh nafsu berahi semata.
Liu Lu Sian telah melakukan kesalah itu. Ia memandang rendah akan cinta kasih suami isteri sehingga ia rela meninggalkan kam Si Ek dan puteranya, mencari kebebasan. Memang hal ini tidak mungkin. Siapapun juga yang telah mengikatkan diri dengan perjodohan, berarti ia mengikatkan diri pula dengan pelbagai kewajiban, tak mungkin dapat bebas lagi kalau ia mau menjadi seorang isteri atau suami yang baik. Lu Sian lari daripada kewajiban-kewajiban yang dianggapnya berat tak menyenangkan itu. Ia lari mencari kebebasan, kebebasan total, juga kebebasan cinta! (Bersambung)
(dwi)