Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 5 Bagian 11

Senin, 03 Juli 2017 - 18:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo, Suling...
Suling Emas, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Suling Emas

"Tidak bisa, Nona Lai. Terima kasih. Saya harus pergi sekarang juga." Setelah berkata demikian, Kwee Seng mengangkat kedua tangan memberi hormat, lalu melompat ke atas kudanya dan meninggalkan guci araknya yang sudah kosong. Hatinya yang penuh rasa nelangsa itu agaknya membuat ia tidak pedulian, sehingga guci arak kosong tidak pula dibawanya.

Setelah pemuda itu pergi, Lai Kui Lan berdiri termenung di tempat itu. Berkali-kali ia menarik napas panjang, kemudian pandang matanya bertemu dengan guci arak. Ia melangkah maju, membungkuk dan mengambil guci arak itu. Tanpa ia sadar, ia menekankan guci arak kosong itu pada dadanya, dan ia meramkan matanya seakan-akan guci arak yang tadi ia lihat diminum oleh Kwee Seng itu mewakili diri pemuda sakti yang telah membuat jantungnya menggetar-getar itu. Kalau Lu Sian memandang rendah dan menghina Kwee Seng, sebaliknya Lai Kui Lan ini sekaligus jatuh cinta saking kagumnya melihat Kwee Seng dalam segebrakan merobohkan dia!

Memang aneh-aneh di dunia ini, apa lagi kalau menyangkut asmara yang mengamuk di hati orang-orang muda. Lai Kui Lan yang berwatak gagah dan polos ini sekali jumpa jatuh dan mencintai Kwee Seng, akan tetapi yang dicintanya tidak tahu akan hal ini karena Kwee Seng kegilaan Liu Lu Sian. Sebaliknya Lu Sian tidak membalas cinta kasih Kwee Seng dan gadis liar ini kagum kepada Kam Si Ek!

Ketika Lai Kui Lan sadar kembali akan keadaan dirinya, mukanya menjadi makin merah dan beberapa butir air mata terlontar keluar dari pelupuk matanya. Teringat akan keadaan Kwee Seng ia bergidik. Kasihan sekali pendekar itu. Jatuh cinta kepada puteri Beng-kauwcu. Ia sudah mendengar akan Liu Lu Sian puteri Beng-kauwcu, gadis jelita dan perkasa yang sudah menjatuhkan hati entah berapa banyak pemuda. Ia mendengar pula tentang para muda yang menjadi korban di Beng-kauw. Dan kini agaknya pendekar sakti Kwee Seng menjadi korban pula. Kemudian ia teringat akan sutenya, Kam Si Ek. Ada persamaan antara Liu Lu Sian dan Kan Si Ek. Sutenya itu pun menjadi rebutan para gadis, membuat banyak gadis tergila-gila, akan tetapi sutenya tetap tidak mau menerima cinta seorang di antara mereka. Banyak pula yang menjadi korban asmara, diantaranya tiga orang enci adik See-liong-sam-ci-moi-itu!

Teringat pula akan janji Kwee Seng untuk menurunkan ilmu pada besok tengah malam di puncak bukit sebelah timur, ia merasa ngeri. Bukit itu terkenal dengan nama Liong-kui-san (Bukit Siluman Naga), biarpun bukan sebuah di antara gunung-gunung besar, namun di daerah itu amat terkenal sebagai bukit yang sukar didatangi orang, serem dan dikabarkan banyak setannya. Kam Si Ek sendiri melarang anak buahnya naik gunung itu, karena memang keadaannya amat berbahaya dan harus diakui bahwa ada sesuatu yang membuat puncak bukit itu kelihatan aneh. Banyak jurang-jurang yang tak terukur dalamnya, dan di sana mengalir pula sungai yang deras airnya, sungai yang sumbernya dari dalam gunung dan yang kemudian menggabung dengan sungai Wu-kiang. Sungai ini pun oleh penduduk diberi nama Liong-hiat-kiang (Sungai Darah Naga), karena pada saat tertentu sinar matahari membuat sungai itu kelihatan kemerahan seperti darah!

Kemudian Lai Kui Lan mengeluh dan berjalan dengan langkah gontai sambil mendekap guci arak. Semangatnya seolah-olah melayang pergi mengikuti bayangan Kwee Seng Si Pendekar Muda yang sakti dan tampan!

***

Kwee Seng yang merana hatinya oleh pengakuan Liu Lu Sian yang tidak membalas cinta kasihnya, membalapkan kudanya menjauhi letak benteng Jendral Kam Si Ek. Karena teringat akan janjinya kepada Liu Lu Sian, ia lalu membelokkan kudanya ke arah timur dan hatinya lega ketika memasuki sebuah dusun tak jauh dari kaki gunung, sebuah dusun yang cukup ramai, bahkan di situ terdapat sebuah rumah penginapan sederhana yang membuka pula sebuah restoran. Untung baginya, rumah penginapan itu dalam keadaan kosong tidak ada tamu sehingga keadaan sunyi dan ia tidak benyak menunggu. Kwee Seng menjual kudanya dengan perantaraan pengurus hotel, kemudian ia minum mabok-mabokan sambil bernyanyi-nyanyi untuk mengusir pergi kerinduan dan kesedihan hatinya. Sebentar saja para pelayan hotel memberinya nama Sastrawan Pemabok! Dalam maboknya Kwee Seng menyanyikan sajak-sajak romantis ciptaan penyair terkenal Li Tai Po.

Pada senja hari itu Kwee Seng berdiri di ruangan belakang rumah penginapan, memandang sinar matahari yang mulai lenyap, hanya tampak sinar merah kekuningan menerangi angkasa barat. Tangan kanannya memegang sebuah tempat arak terbuat daripada kulit labu kering. Ia bersandar kepada langkan, memandangi angkasa barat yang berwarna indah sekali sambil sekali-kali meneguk arak dari tempat itu. Teringat ia akan sajak karangan Li Tai Po, maka sambil mengangkat muka dan menggerak-gerakan tempat arak di depannya, Kwee Seng lalu menyanyikan sajak itu, (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0436 seconds (0.1#10.140)