Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 4 Bagian 1

Kamis, 22 Juni 2017 - 06:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo, Suling...
Suling Emas, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Suling Emas

TIGA hari kemudian, Kwee Seng dan Lu Sian kelihatan menunggang dua ekor kuda keluar dari kota raja Kerajaan Nan-cao. Seperti telah ia janjikan, setelah menangkan pertandingan, ia akan mengajarkan ilmu kepada Lu Sian dan gadis itu harus menyertai peraturannya sampai menerima pelajaran itu. Pat-jiu Sin-ong memberi dua ekor kuda yang baik, berikut seguci arak kepada Kwee Seng karena selama tiga hari di tempat itu, pemuda ini siang malam hanya makan minum dan mabuk-mabukan saja, manjadi seorang peminum yang luar biasa.

Betapapun juga, melihat mereka naik kuda berendeng, memang keduanya merupakan pasangan yang amat setimpal. Wajah Lu Sian nampak berseri, karena betapapun juga, menyaksikan sikap Kwee Seng, gadis ini dapat menduga bahwa sebetulnya pemuda yang tampan dan sakti ini jatuh hati kepadanya. Pandang mata pemuda itu dapat ia rasakan dan diam-diam merasa girang sekali. Memang sudah menjadi waatak Lu Sian, makin banyak pria jatuh hati kepadanya makin giranglah hatinya, apalagi kalau kemudian ia dapat mematahkan hati orang-orang yang mencintainya itu!

"Kwee-koko (Kakanda Kwee), kemanakah kita menuju?" Tanya Lu Sian dengan suara halus dan manis, bahkan mesra. Kwee Seng memeluk guci araknya dan menoleh ke kiri. Melihat wajah ayu itu menengadah, mata bintang itu menatapnya dan mulut manis itu setengah terbuka, hatinya tertusuk dan cepat-cepat ia membuang muka sambil memejamkan matanya,

"Ke mana pun boleh!" jawabnya tak acuh, lalu menenggak araknya sambil duduk di punggung kuda tanpa memegangi kendalinya.

"Eh, bagaimana ini? kau yang mengajak aku. Biarlah kita ke timur, sampai ditepi sungai Wu-kiang yang indah. Bagaimana koko?" "Hemm, baik. Ke lembah Wu-kiang!" jawab Kwee Seng.

Lu Sian membedal kudanya dan Kwee Seng masih tetap duduk sambil minum arak, akan tetapi kudanya dengan sendirinya mencongklang mengikuti kuda yang dibalapkan Lu Sian.

Tak lama kemudian mereka sudah keluar dari daerah kota raja, memasuki hutan. Kembali Lu Sian menahan kudanya, dan kuda Kwee Seng juga ikut berhenti.

"Kwee-koko, mengapa kau hanya minum saja? Kita melakukan perjalanan sambil bercakap-cakap, kan menyenangkan? Apa kau tidak suka melakukan perjalanan bersamaku? Kwee-koko, hentikan minummu, kau pandanglah aku!" Mulai jengkel hati Lu Sian yang merasa diabaikan atau tidak diacuhkan. Kwee Seng menoleh lagi ke kiri, makin terguncang jantungnya dan kembali ia menenggak araknya!

"Nona, tidak apa-apa, aku senang melakukan perjalanan ini. Ah arak ini wangi sekali!"

Lu Sian cemberut dan tidak menjalankan kudanya. "Uh, wangi arak yang menjemukan! Masa kau tidak bosan-bosan minum setalah tiga hari tiga malam terus minum bersama ayah? Kwee-koko, aku... aku pernah disebut ayah bunga kecil harum dan orang-orang di sana semua mengatakan bahwa ada ganda harum sari seribu bunga keluar dari tubuhku. Apakah kau tidak mencium ganda harum itu?"

Kwee Seng tersentak kaget. Alangkah beraninya gadis ini! Alangkah bebasnya dan genitnya! Mengajukan pernyataan dan pertanyaan macam itu kepada seorang pemuda. Dia sendiri yang mendengarnya menjadi merah wajahnya, akan tetapi secara jujur ia berkata, "Memang ada aku mencium bau harum itu, nona, semenjak kita bertanding ganda harum itu tidak eh, tidak pernah terlupa olehku. Eh, bagaimana ini!"

Ia tergagap dan untuk menutupi malunya kembali ia menenggak araknya. Lu Sian menahan tawanya dan hatinya makin gembira. Kiranya laki-laki ini tiada bedanya dengan yang lain, mahluk lemah dan bodoh, canggung dan kaku kalau berhadapan dengan gadis ayu! Alangkah akan senang hatinya dapat mempermainkan laki-laki ini, mempermainkan pendekar yang memiliki kepandaian tinggi, yang kesaktiannya menurut ayahnya ketika membisikkan pesan tadi, tidak berada di sebelah bawah tingkat ayahnya!

"Kwee Seng, berhenti!!" Tiba-tiba terdengar bentakan dari belakang pada saat Kwee Seng sedang minum araknya di awasi oleh Lu Sian. Gadis itu terkejut karena mengenal suara bentakan. Cepat ia membalikkan tubuh diatas punggung kudanya.

"Ma-susiok (Paman Guru Ma)! Ada keperluan apakah Susiok menyusul kami?" Biarpun masih duduk di atas kudanya membelakangi mereka yang baru datang, Kwee Seng tahu bahwa yang datang adalah dua orang. Kemudian ia merasa heran juga ketika mendengar suara Ma Thai Kun berubah sama sekali dalam jawaban pertanyaan Lu Sian. (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.1264 seconds (0.1#10.140)