Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 16 Bagian 4

Kamis, 26 Oktober 2017 - 06:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 16 Bagian 4
Suling Emas, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Suling Emas

"Ahh, perlu apa belajar ilmu silat dari seorang lemah seperti aku?" guru silat itu menghela napas. "Kim-mo Taisu, kau tadi menyatakan sendiri bahwa baik tenagaku maupun ilmu toyaku masih kuat, namun malam hari itu aku benar-benar seperti anak kecil, dipermainkan orang. Dia itu, tanpa kuketahui padahal aku sama sekali belum tidur, tahu-tahu telah dapat memasuki kamar puteriku, memondongnya keluar dan meloncat ke atas genteng. Aku mendengar puteriku berkata. "Selamat tinggal, Ayah" dan melihat berkelebatnya bayangan itu di atas. Tentu saja aku menyambar toya dan mengejar ke atas, lalu kuhantamkan toyaku pada punggung orang itu. Tepat toyaku mengenai punggung, namun... ahhh... toyaku terlepas dari tanganku dan dia tidak apa-apa! Kemudian menghilang di dalam gelap!"

Makin kagum hati Kwee Seng. Selama ini, baru Bayisan seorang yang ia anggap seorang muda yang berkepandaian hebat, siapa kira sekarang muncul lagi seorang pemuda lain yang menyebut diri raja pengemis yang demikian lihai!

"Nah, selanjutnya kau telah ketahui. Aku menyuruh murid-muridku untuk pergi melakukan penyelidikan, akan tetapi bukannya mengetahui dimana sembunyinya penjahat yang menculik anakku, malah berani berlaku kurang ajar kepadamu. Betapapun juga, hal ini kuanggap kebetulan sekali, karena, kalau tidak kau sahabat muda, siapa lagi yang dapat mencuci bersih namaku ini?" Suara guru silat itu terdengar sedih sekali, penuh permohonan sehingga nampak benar bahwa ia telah tua dan telah banyak berkurang semangatnya begitu menderita kekalahan.

"Baiklah, Lo-enghiong." Kwee Seng menyanggupi. "Mendengar ceritamu, aku jadi ingin sekali bertemu dengan raja pengemis itu! Mudah-mudahan saja aku akan dapat menemukannya. Akan tetapi tentang puterimu, kalau memang betul dia itu telah memilih Si Raja Pengemis, apa yang dapat kita perbuat? Lo-enghiong, tentu kau sendiri maklum betapa ruwetnya soal asmara..." Perih hati Kwee Seng berkata demikian, seakan-akan ia menusuk dan menyindir hatinya sendiri yang berkali-kali menjadi korban asmara jahil!

Liong Keng menghela napas dan mengangguk-angguk. "Dia bukan keturunanku sendiri, bagaimana aku bisa mengetahui isi hatinya yang sesungguhnya? Kalau memang demikian halnya, biarlah ia pergi, memang Thian tidak menghendaki aku mempunyai keturunan."

Setelah menyatakan janjinya akan pergi mencari penculik puteri guru silat Liong, Kwee Seng lalu berpamit dan pergilah ia dari rumah itu untuk mencari orang yang amat menarik hatinya Si Raja Pengemis!

Dua orang penjaga pintu rumah judi yang bertubuh tinggi besar seperti gajah bengkak itu memandang penuh perhatian, kemudian seorang di antara mereka yang berkepala botak bertanya seius, "Dari mana mau ke mana?"

Pertanyaan singkat ini tentulah merupakan sebuah kode rahasia, pikir Kwee Seng, maka ia tertawa dan menjawab seenaknya, "Dari belakang mau ke depan!"

Sejenak kedua orang penjaga itu tercengang mendengar jawaban ini, kemudian mereka tertawa bergelak dan orang ke dua yang hidungnya bengkok ke atas menghardik. "Jembel kapiran! hayo lekas pergi, di sini bukan tempat kau mengemis!"

"Tempat apa sih ini?" Kwee Seng bertanya, berlagak orang sinting. "Di sini rumah judi, mau apa kau tanya-tanya? Hayo lekas minggat, apa kau ingin kupukul mampus?" bentak Si Botak sambil mengepal tinjunya yang sebesar kepala Kwee Seng itu di depan hidung Si Pendekar Sakti.

"Waduh, tanganmu bau kencing kuda!" Kwee Seng menutupi hidungnya, lalu menjauhkan mukanya dan memandang kepada papan nama di depan pintu, mengerutkan keningnya dan membacanya dengan lagak sukar, sedangkan Si Botak itu otomatis menarik kepalannya dan mencium tangannya itu. Agaknya memang bau tangannya itu, karena hidungnya bergerak-gerak seperti hidung kuda diganggu lalat. Kemudian ia marah besar, baru merasa bahwa ia dipermainkan, akan tetapi sebelum ia sempat memukul, ia dan kawannya yang berhidung bengkok itu memandang heran karena pengemis itu sudah membaca papan nama dengan suara keras, "BAN HOA PO KOAN (Rumah Judi Selaksa Bunga)! Wah, kebetulan sekali, aku paling gemar berjudi!"

Sekaligus kemarahan dua orang itu berubah menjadi keheranan. Mana ada seorang jembel pandai membaca huruf, dan mana mungkin jembel itu masih gemar berjudi pula? "Eh, setan sampah! Makan saja kau harus minta-minta, bagaimana kau bisa berjudi? Apakah taruhannya sisa makanan?" ejek Si Botak dan kedua orang penjaga pintu ini tertawa bergelak sambil memegangi perut mereka yang gendut. Mendadak suara ketawa mereka terhenti dan mata mereka melotot lebar memandang tangan Kwee Seng yang sudah mengeluarkan sebuah kantung kuning berisi penuh uang perak yang berkilauan! (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0484 seconds (0.1#10.140)