Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 16 Bagian 10

Kamis, 02 November 2017 - 06:37 WIB
loading...
Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 16 Bagian 10
Suling Emas, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Suling Emas

Berubah wajah kakek itu mendengar ini, matanya menyambar tajam. "Hemm, ada urusan apakah dengan kai-ong?"

"Urusan pribadi. Bagaimana, kauterima?"

Kakek itu mengangguk. "Boleh. Akan tetapi keterangan itu jauh lebih berharga daripada delapan pundi-pundi perak. Kalau kau kalah, keterangan tidak kaudapat, delapan pundi-pundi ini berikut tangan kirimu harus kaubayarkan kepadaku. Kalau kau menang, uangmu ini kaubawa pergi bersama keterangan tentang dimana adanya kai-ong. Akor?"

Semua orang terkejut. Bukan main taruhan itu. Berikut tangan kiri? Berarti tangan kiri jembel muda itu kalau kalah harus dibuntungi? Ah, kalau tidak gila, tentu Si Jembel menolak. Akan tetapi, Kwee Seng mengangguk dan berkata, "Cocok!" Wah, benar-benar jembel muda ini sudah gila. Masa sebuah keterangan tentang seorang kai-ong saja dipertaruhkan dengan hampir seribu tail perak berikut sebuah tangan dibuntungi!

Keadaan menjadi tegang bukan main, bahkan kini ditambah rasa ngeri di hati. Dadu itu berputaran makin cepat dan tiba-tiba mangkok itu ditutupkan di atas meja, menyembunyikan dadu yang akan menentukan nasib Si Jembel dan tangan kiri. Koai-tung Tiang-lo masih menindih mangkok tertutup, sedangkan tangan kanannya terletak di atas meja dengan jari-jari tangan terbuka. Namun, suasana yang amat tegang itu sama sekali tidak mempengaruhi Si Jembel muda, kini ia malah mengangkat guci dengan tangan kanan untuk dituangkan isinya ke dalam mulut, sedangkan tangan kirinya juga terletak di atas meja dan matanya terus melirik ke arah mangkok di atas meja.

Melihat kesempatan selagi lawannya minum arak, Koai-tung Tiang-lo segera berseru. "Siap buka, lihatlah!" Tangan kirinya mengangkat mangkok dan jari-jari tangan kiri mengangkat mangkok dan jari-jari tangan kanannya menegang! Akan tetapi pada saat itu, juga jari-jari tangan kiri Kwee Seng menegang dan seperti halnya Koai-tung Tiang-lo, dari jari-jari tangan ini, menyambar keluar tenaga sin-kang (hawa sakti) ke arah biji dadu di atas meja.

Semua mata memandang dan... terdengar seruan heran karena begitu mangkok dibuka, biji dadu di atas meja itu berputaran! Hal ini tentu saja tidak mungkin Karena begitu tadi begitu mangkok ditutup, tentu biji dadu itu telah jatuh ke meja dan berhenti bergerak. Bagaimana sekarang bisa berputaran? Hanya sebentar saja dadu itu berputar, mendadak kini berhenti sehingga semua mata memandang dengan terbelalak dan melotot seperti mau terloncat keluar dari tmpatnya. Kembali terdengar seruan-seruan tertahan di sana-sini ketika mereka melihat betapa biji dadu itu terletak miring sedemikian rupa sehingga permukaannya dibagi dua antara titik-titik angka tiga dan dua! Akan tetapi dadu itu bukannya diam melainkan bergerak ke kanan kiri, sebentar mendoyomg ke angka tiga, di lain saat mendoyong ke angka dua, seakan-akan ada kekuatan tak tampak yang saling dorong, saling mengadu kekuatan untuk mendorong dadu roboh telentang memperlihatkan permukaan angka tiga atau dua.

Ketika orang-orang yang berada di situ memandang kepada dua orang pengemis tua dan muda itu, mereka makin kaget dan heran, lalu gelisah dengan sendirinya. Pengemis tua itu wajahnya merah sekali dan basah penuh peluh, tangan kanannya menggetar di atas meja dengan jari-jari terbuka dan telapak tangan menghadap ke arah dadu, napasnya agak terengah-engah. Adapun pengemis muda itu masih enak-enak saja duduk dengan tangan kiri dibuka jarinya menghadap ke depan, tangan kanan masih memegang guci arak yang diminumya dan kini perlahan-lahan diletakkannya guci arak ke atas meja. Gerakan ini menimbulkan getar pada meja dan dadu itu membalik hampir telentang dengan muka angka tiga, akan tetapi terdengar Koai-tung Tiang-lo berseru aneh dan dadu itu membalik lagi menjadi miring!

"Pangcu, apa kau masih hendak berkeras? Terdengar Kwee Seng berkata sambil tersenyum. Betapapun juga, Kwee Seng adalah seorang terpelajar yang masih ingat akan peraturan. Ia maklum bahwa pengemis tua yang dipanggil Pangcu (ketua) ini adalah seorang terkemuka, maka ia sengaja tidak mau membikin malu. Dengan adu tenaga sin-kang itu, tentu sudah cukup bagi pangcu itu untuk mengetahui bahwa kakek itu tidak akan menang, lalu suka mengalah tanpa menderita malu karena jarang ada yang mengerti bahwa mereka telah saling mengadu sin-kang.

Akan tetapi Koai-tung Tiang-lo adalah seorang yang keras kepala. Apalagi sekarang setelah ia mengandalkan pengaruhnya kepada seorang yang ia anggap paling sakti di dunia ini, yaitu orang berjuluk Raja Pengemis, maka Ketua Ban-hwa Kai-pang ini menjadi tinggi hati. Mana ia sudi mengalah terhadap seorang jembel tak ternama yang seperti miring otaknya ini? (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0439 seconds (0.1#10.140)