Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 7 Bagian 12
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Suling Emas
Akan tetapi mata opsir tinggi besar hitam itu kini mengerling ke arah Lu Sian, jelas bayangan matanya penuh kekaguman dan kekurangajaran. Akan tetapi agaknya si opsir menahan napsunya dan melanjutkan kudanya, memimpin barisannya menuju ke benteng.
Hanya sekali lagi ia menengok dan tersenyum kepada Lu Sian. Juga hampir semua anggota barisan menengok ke arahnya, tersenyum-senyum menyeringai. Muak rasa hati Lu Sian dan ia masuk kembali ke dalam warung. Akan tetapi kejadian itu membuat ia duduk termenung, lenyap nafsu makannya.
Kam Si Ek agaknya amat disegani oleh para tentara pikirnya. Benar-benar seorang muda yang mengagumkan. Akan tetapi mengapa pemuda seperti itu suka menjadi seorang jenderal, padahal sebagian besar anak buahnya terdiri dari orang-orang yang suka mempergunakan kedudukan dan kekuasaan serta kekuatan menindas Si Lemah? Ia harus menguji kepandaiannya.
Setelah rombongan tentara itu lenyap berangsur-angsur penduduk kembali ke rumah masing-masing jalan penuh lagi oleh orang-orang yang hilir mudik. Pemilik warung juga datang kembali dan ia terheran-heran melihat Lu Sian masih duduk di situ, "Eh, kau masih berada di sini, Nona? Hebat, benar-benar Nona memiliki ketabahan yang luar biasa. Untung bahwa dusun ini dekat dengan benteng Kam-goanswe, kalau tidak, tentu sudah rusak binasa dusun ini sejak lama seperti dusun-dusun lain yang dilewati rombongan seperti itu."
"Lopek (Paman Tua), apakah semua tentara selalu berbuat kejahatan seperti itu terhadap rakyat?"
"Boleh dibilang semua. Tergantung kepada komandannya. Kalau si komandan baik, anak buahnya pun baik. Ah, kalau saja semua perwira seperti Jenderal Kam, tentu hidup ini akan lebih aman dan tenteram. Semoga orang seperti Kam-goanswe diberi panjang umur!"
Lu Sian termenung. Orang muda seperti Kam Si Ek memang sukar dicari keduanya. Dalam hal ilmu silat, tentu saja tidak mungkin dapat mengalahkan Kwee Seng. Akan tetapi dalam hal-hal lain Kam Si Ek jauh menang kalau dibandingkan dengan Kwee Seng. Teringat ia penuh kekaguman betapa Kam Si Ek menghadapi rayuan tiga orang wanita cantik. Dan ia merasa jantungnya berdebar ketika ia teringat ucapan Kam Si Ek sebulan lebih yang lalu ketika panglima muda itu naik ke panggung di pesta Beng-kauw untuk menolong seorang pemuda yang kalah. Masih terngiang ditelinganya kata-kata Kam Si Ek ketika itu, "Hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya hatiku menjadi pemenang... Akan tetapi... Bukan beginilah caranya. Maafkan, Nona, biarlah aku mengaku kalah terhadapmu." Itulah kata-katanya, kata-kata yang jelas merupakan pengakuan bahwa pemuda ganteng itu juga "ada hati" terhadapnya.
Malam hari itu, dengan mengenakan pakaian ringkas akan tetapi setelah menghias diri serapi-rapinya, Lu Sian membawa pedangnya, berlari cepat menuju ke benteng Kam Si Ek. Ia menjadi heran dan juga lega melihat bahwa penjagaan di sekitar benteng sekarang sama sekali tidaklah sekuat kemarin, bahkan beberapa orang penjaga yang berada di pintu benteng, kelihatan sedang bermain kartu di bawah sinar pelita teng. Dengan mudah Lu Sian lalu melompati tembok benteng melalui sebatang pohon, dan beberapa menit kemudian ia telah berloncatan ke atas genteng.
Akan tetapi ketika ia berada di atas genteng gedung tempat tinggal Kam Si Ek yang berada di tengah-tengah kumpulan bangunan itu, ia mendengar suara orang berkata-kata dengan keras, seperti orang bertengkar. Cepat ia berindap dan dengan hati-hati melayang ke bawah memasuki gedung dari belakang, dan di lain saat ia mengintai dari sebuah jendela ke dalam ruangan di mana terjadi pertengkaran.
Ia melihat seorang wanita berpakaian serba putih yang bukan lain adalah Lai Kui Lan kakak seperguruan Kam Si Ek. Kui Lan berdiri di tengah ruangan sambil bertolak pinggang, mukanya kemerahan metanya berapi-api marah sekali. Di hadapannya duduk tiga orang perwira, dengan muka tertawa-tawa mengejek. Seorang di antaranya, yang duduk di tengah bukan lain adalah komandan pasukan yang tadi dilihat Lu Sian ketika pasukan lewat di dusun.
"Lai Li-hiap, sebagai bekas pembantu Sutemu, saya harap Li-hiap (Nona Yang Gagah) suka ingat bahwa urusan mengenai ketentaraan adalah urusan kami, Li-hiap tidak berhak mencampurinya." Kata perwira yang duduk di kiri.
"Betul, sudah cukup lama kami terpaksa bersabar dan tak berkutik di bawah kekerasan Kam-goanswe. Sekarang Phang-ciangkun (Panglima Phang) yang memegang komando di benteng ini, Lai-hiap tidak berhak mencampuri urusan kami!" kata perwira ke dua yang duduk di sebelah kanan. "Sudah terlalu banyak Li-hiap biasanya mencampuri urusan ketenteraan, sewenang-wenang menghukum anak buah kami padahal biarpun Li-hiap adalah kakak sepergurun Kam-goanswe namun Li-hiap tetap seorang biasa, bukan anggauta ketentaraan."
Makin marahlah Lai Kui Lan. Ia menuding telunjuknya ke arah dua orang bekas pembntu adik seperguruannya itu. "Kalian manusia-manusia yang pada dasarnya sesat! Suteku menjalankan disiplin keras, menghukum tentara menyeleweng, itu sudah semestinya! Dan aku membantu Suteku menegakkan nama baik benteng ini, mencegah anak buah melakukan penganiayaan kepada rakyat, juga sudah merupakan kewajiban setiap orang gagah.
Di depan Sute, kalian berpura-pura baik, sekarang , baru setengah hari Sute pergi memenuhi panggilan gubernur untuk menghadapi bahaya serangan bangsa Khitan, kalian sudah memperlihatkan sifat asli kalian yang buruk! Membiarkan anak buah kalian menculik wanita, merampas harta benda rakyat. Orang-orang macam kalian ini mana patut memimpin tentara? Pantasnya dikirim ke neraka!"
Dua orang perwira itu marah dan bangkit berdiri sambil mencabut golok mereka, sedangkan Kui Lan masih berdiri tegak tanpa mencabut senjata, memandang dengan senyum mengejek karena ia sudah maklum sampai di mana kepandaian kedua orang bekas pembantu sutenya itu. Akan tetapi komandan baru benteng itu, Phang-ciangkun yang tinggi besar dan berkulit hitam itu segera berdiri, tertawa dan menjura kepada Kui Lan. (Bersambung)
Akan tetapi mata opsir tinggi besar hitam itu kini mengerling ke arah Lu Sian, jelas bayangan matanya penuh kekaguman dan kekurangajaran. Akan tetapi agaknya si opsir menahan napsunya dan melanjutkan kudanya, memimpin barisannya menuju ke benteng.
Hanya sekali lagi ia menengok dan tersenyum kepada Lu Sian. Juga hampir semua anggota barisan menengok ke arahnya, tersenyum-senyum menyeringai. Muak rasa hati Lu Sian dan ia masuk kembali ke dalam warung. Akan tetapi kejadian itu membuat ia duduk termenung, lenyap nafsu makannya.
Kam Si Ek agaknya amat disegani oleh para tentara pikirnya. Benar-benar seorang muda yang mengagumkan. Akan tetapi mengapa pemuda seperti itu suka menjadi seorang jenderal, padahal sebagian besar anak buahnya terdiri dari orang-orang yang suka mempergunakan kedudukan dan kekuasaan serta kekuatan menindas Si Lemah? Ia harus menguji kepandaiannya.
Setelah rombongan tentara itu lenyap berangsur-angsur penduduk kembali ke rumah masing-masing jalan penuh lagi oleh orang-orang yang hilir mudik. Pemilik warung juga datang kembali dan ia terheran-heran melihat Lu Sian masih duduk di situ, "Eh, kau masih berada di sini, Nona? Hebat, benar-benar Nona memiliki ketabahan yang luar biasa. Untung bahwa dusun ini dekat dengan benteng Kam-goanswe, kalau tidak, tentu sudah rusak binasa dusun ini sejak lama seperti dusun-dusun lain yang dilewati rombongan seperti itu."
"Lopek (Paman Tua), apakah semua tentara selalu berbuat kejahatan seperti itu terhadap rakyat?"
"Boleh dibilang semua. Tergantung kepada komandannya. Kalau si komandan baik, anak buahnya pun baik. Ah, kalau saja semua perwira seperti Jenderal Kam, tentu hidup ini akan lebih aman dan tenteram. Semoga orang seperti Kam-goanswe diberi panjang umur!"
Lu Sian termenung. Orang muda seperti Kam Si Ek memang sukar dicari keduanya. Dalam hal ilmu silat, tentu saja tidak mungkin dapat mengalahkan Kwee Seng. Akan tetapi dalam hal-hal lain Kam Si Ek jauh menang kalau dibandingkan dengan Kwee Seng. Teringat ia penuh kekaguman betapa Kam Si Ek menghadapi rayuan tiga orang wanita cantik. Dan ia merasa jantungnya berdebar ketika ia teringat ucapan Kam Si Ek sebulan lebih yang lalu ketika panglima muda itu naik ke panggung di pesta Beng-kauw untuk menolong seorang pemuda yang kalah. Masih terngiang ditelinganya kata-kata Kam Si Ek ketika itu, "Hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya hatiku menjadi pemenang... Akan tetapi... Bukan beginilah caranya. Maafkan, Nona, biarlah aku mengaku kalah terhadapmu." Itulah kata-katanya, kata-kata yang jelas merupakan pengakuan bahwa pemuda ganteng itu juga "ada hati" terhadapnya.
Malam hari itu, dengan mengenakan pakaian ringkas akan tetapi setelah menghias diri serapi-rapinya, Lu Sian membawa pedangnya, berlari cepat menuju ke benteng Kam Si Ek. Ia menjadi heran dan juga lega melihat bahwa penjagaan di sekitar benteng sekarang sama sekali tidaklah sekuat kemarin, bahkan beberapa orang penjaga yang berada di pintu benteng, kelihatan sedang bermain kartu di bawah sinar pelita teng. Dengan mudah Lu Sian lalu melompati tembok benteng melalui sebatang pohon, dan beberapa menit kemudian ia telah berloncatan ke atas genteng.
Akan tetapi ketika ia berada di atas genteng gedung tempat tinggal Kam Si Ek yang berada di tengah-tengah kumpulan bangunan itu, ia mendengar suara orang berkata-kata dengan keras, seperti orang bertengkar. Cepat ia berindap dan dengan hati-hati melayang ke bawah memasuki gedung dari belakang, dan di lain saat ia mengintai dari sebuah jendela ke dalam ruangan di mana terjadi pertengkaran.
Ia melihat seorang wanita berpakaian serba putih yang bukan lain adalah Lai Kui Lan kakak seperguruan Kam Si Ek. Kui Lan berdiri di tengah ruangan sambil bertolak pinggang, mukanya kemerahan metanya berapi-api marah sekali. Di hadapannya duduk tiga orang perwira, dengan muka tertawa-tawa mengejek. Seorang di antaranya, yang duduk di tengah bukan lain adalah komandan pasukan yang tadi dilihat Lu Sian ketika pasukan lewat di dusun.
"Lai Li-hiap, sebagai bekas pembantu Sutemu, saya harap Li-hiap (Nona Yang Gagah) suka ingat bahwa urusan mengenai ketentaraan adalah urusan kami, Li-hiap tidak berhak mencampurinya." Kata perwira yang duduk di kiri.
"Betul, sudah cukup lama kami terpaksa bersabar dan tak berkutik di bawah kekerasan Kam-goanswe. Sekarang Phang-ciangkun (Panglima Phang) yang memegang komando di benteng ini, Lai-hiap tidak berhak mencampuri urusan kami!" kata perwira ke dua yang duduk di sebelah kanan. "Sudah terlalu banyak Li-hiap biasanya mencampuri urusan ketenteraan, sewenang-wenang menghukum anak buah kami padahal biarpun Li-hiap adalah kakak sepergurun Kam-goanswe namun Li-hiap tetap seorang biasa, bukan anggauta ketentaraan."
Makin marahlah Lai Kui Lan. Ia menuding telunjuknya ke arah dua orang bekas pembntu adik seperguruannya itu. "Kalian manusia-manusia yang pada dasarnya sesat! Suteku menjalankan disiplin keras, menghukum tentara menyeleweng, itu sudah semestinya! Dan aku membantu Suteku menegakkan nama baik benteng ini, mencegah anak buah melakukan penganiayaan kepada rakyat, juga sudah merupakan kewajiban setiap orang gagah.
Di depan Sute, kalian berpura-pura baik, sekarang , baru setengah hari Sute pergi memenuhi panggilan gubernur untuk menghadapi bahaya serangan bangsa Khitan, kalian sudah memperlihatkan sifat asli kalian yang buruk! Membiarkan anak buah kalian menculik wanita, merampas harta benda rakyat. Orang-orang macam kalian ini mana patut memimpin tentara? Pantasnya dikirim ke neraka!"
Dua orang perwira itu marah dan bangkit berdiri sambil mencabut golok mereka, sedangkan Kui Lan masih berdiri tegak tanpa mencabut senjata, memandang dengan senyum mengejek karena ia sudah maklum sampai di mana kepandaian kedua orang bekas pembantu sutenya itu. Akan tetapi komandan baru benteng itu, Phang-ciangkun yang tinggi besar dan berkulit hitam itu segera berdiri, tertawa dan menjura kepada Kui Lan. (Bersambung)
(dwi)