Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 18 Bagian 9
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Suling Emas
Baru ia menuruni tebing pertama, tiba-tiba ia mendengar suara orang. Wajahnya berubah dan ia cepat-cepat menghampiri tempat itu dengan hati-hati sekali, sejenak lupa akan kelelahan kedua kakinya. Itulah suara gurunya! Suara gurunya tertawa-tawa bergelak! Karena takut kalau-kalau Pat-jiu Sin-ong masih bersama gurunya. Bu Song tidak berani muncul begitu saja. Ia mengintai dari balik batu karang besar dan melihat betapa gurunya berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa di depan tiga orang laki-laki. Seorang di antara mereka bermuka bopeng penuh totol-totol hitam orang yang berdiri di tengah memakai pakaian tambal-tambalan, dan orang ketiga bermuka sempit seperti tikus.
"Ha-ha-ha-ha! Kai-ong, aku sudah menduga bahwa kau tentu akan menyambutku dengan meriah, memanggil semua sekutumu. Tak bisa mengharapkan sifat jantan dari seorang pengemis. Akan tetapi aku tidak takut, Kai-ong. Kerahkan semua sekutumu untuk menjadi saksi, siapa di antara kita yang lebih kuat. Apakah kau sudah siap?" demikian kata Kim-mo Taisu.
Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong tersenyum menyeringai. "Kim-mo Taisu, kau sombong benar. Memang sahabat-sahabat baikku ikut datang karena mereka ini pun tertarik sekali mendengar bahwa kau datang. Telah lama mereka mendengar namamu dan ingin sekali menyaksikan apakan nama besarmu itu tidak sia-sia belaka. Sahabatku ini adalah Hwa-bin-liong (Naga Muka Kembang) dari pantai timur, raja sekalian penjaga gunung (perampok)." Ia menunjuk seorang sebelah kanannya yang bermuka bopeng. "Sahabat yang seorang ini adalah Sin-ciang-hai-ma (Kuda Laut Bertangan Sakti), juga tokoh pantai timur, raja daripada bajak. Masih ada beberapa orang sahabat baikku yang akan datang menjumpaimu. Apakah kau takut?"
Bu Song mendengarkan semua itu dengan hati berdebar. Wah, gurunya telah bertemu orang-orang jahat, pikirnya. Pada saat itu, tiba-tiba telinga kanannya dijiwir orang, Bu Song kaget dan melirik. Kiranya kakek A-kwi yang menjiwirnya.
"Hayo pikul tahang air itu dan bereskan pekerjaanmu, pemalas!" bisik Si Kakek tanpa melepaskan telinga Bu Song. Bu Song kaget dan ia cepat bangkit lalu memikul pikulannya. Ia tidak takut, melainkan taat karena tahu akan kewajiban. Tinggal sekali lagi mengantar air, kemudian ia akan lari kembali ke sini menonton gurunya. Kakek A-kwi melirik kearah mereka yang sedang bantah-bantahan, nampaknya gelisah dan menarik telinga Bu Song agar anak itu berjalan lebih cepat.
Setelah agak jauh dari situ, kakek itu mengomel. "Anak tolol, apakah kau mencari mampus? Banyak tontonan di dunia ini, akan tetapi yang ditonton adalah harimau yang hendak bertempur melawan srigala-srigala! Gila betul. Hayo cepat dan jangan sekali-sekali kau beristirahat sebelum kau sampai di rumah. Aku jalan lebih dulu!" sekali berkelebat kakek itu sudah meloncat jauh ke depan, dan Bu Song sambil mengeluh di dalam hatinya memaksa diri untuk berjalan pula menuruni bukit. Istirahat yang sebentar tadi benar-benar membuat kedua kakinya hampir tak dapat dipakai berjalan. Akan tetapi ia menggigit bibir, memaksa diri untuk cepat-cepat menyelesaikan tugasnya agar ia dapat kembali ke tempat itu untuk menjumpai gurunya.
Sementara itu, Kim-mo Taisu masih tertawa bergelak mendengar ucapan Pouw-kai-ong. "Ha-ha-ha, segala rampok dan bajak. Pantas menjadi sahabat pengemis. Akan tetapi aku tidak punya urusan dengan segala macam rampok dan bajak. Aku sengaja datang untuk mengulangi tantanganku kepadamu, Kai-ong. Mari kita mulai!"
Ucapan itu merupakan penghinaan hebat bagi tokoh bajak dan tokoh rampok itu. Si Muka Bopeng Hwa-bin-liong sudah melangkah maju, diikuti oleh Si Kuda Laut. Mereka ini belum tua, paling banyak berusia empat puluh tahun. Begitu tiba di depan Kim-mo Taosu, Hwa-bin-liong melolos sebatang golok besar yang terselip di punggungnya, adapun Si Kuda Laut mengeluarkan sebatang cambuk yang terbuat daripada ekor ikan pee. Keduanya berdiri dengan sikap menantang.
"San-ong (Raja Gunung), biarkan aku menghadapi jembel kelaparan yang sombong ini!" kata Si Tokoh Bajak yang menyebut temannya raja gunung, cambuk ikan pee di tangannya digerak-gerakkan di atas kepala sehingga terdengar suara bersiutan mengerikan. Ekor ikan pee itu penuh duri-duri yang runcing, kalau sekali mengenai kulit tubuh manusia benar-benar akan mengakibatkan luka yang hebat. "Bersabarlah, Hai-ong (Raja Laut). Biarkan aku menghadapinya lebih dulu. He, Kim-mo Taisu. Aku sudah lama mendengar namamu yang baru muncul, dan dengan maksud baik aku ingin sekali berkenalan dan menyaksikan kelihaianmu. Siapa kira, kau begini sombong dan tidak memandang orang lain. Keluarkan senjatamu, biar aku Hwa-bin-liong mencoba sampai di mana kehebatanmu maka kau bersikap sesombong ini!"
"Ha-ha-ha-ha, raja pengemis dibantu oleh raja laut dan raja gunung, benar-benar hebat! Segala macam raja sudah berkumpul di sini, biarlah kuantar kalian menghadap raja akhirat!"
Tentu saja kedua orang raja penjahat itu menjadi marah sekali. Hwa-bin-liong Si Muka Bopeng yang sudah bertahun-tahun merajalela di hutan-hutan dan gunung-gunung, menjadi raja dari sekalian kecu dan rampok, baru kali ini merasa dipandang rendah orang. Ia membentak marah dan tanpa menanti lawan mengeluarkan senjata, ia sudah menyambar ke depan dan golok besarnya diayun mengarah leher Kim-mo Taisu. (Bersambung)
Baru ia menuruni tebing pertama, tiba-tiba ia mendengar suara orang. Wajahnya berubah dan ia cepat-cepat menghampiri tempat itu dengan hati-hati sekali, sejenak lupa akan kelelahan kedua kakinya. Itulah suara gurunya! Suara gurunya tertawa-tawa bergelak! Karena takut kalau-kalau Pat-jiu Sin-ong masih bersama gurunya. Bu Song tidak berani muncul begitu saja. Ia mengintai dari balik batu karang besar dan melihat betapa gurunya berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa di depan tiga orang laki-laki. Seorang di antara mereka bermuka bopeng penuh totol-totol hitam orang yang berdiri di tengah memakai pakaian tambal-tambalan, dan orang ketiga bermuka sempit seperti tikus.
"Ha-ha-ha-ha! Kai-ong, aku sudah menduga bahwa kau tentu akan menyambutku dengan meriah, memanggil semua sekutumu. Tak bisa mengharapkan sifat jantan dari seorang pengemis. Akan tetapi aku tidak takut, Kai-ong. Kerahkan semua sekutumu untuk menjadi saksi, siapa di antara kita yang lebih kuat. Apakah kau sudah siap?" demikian kata Kim-mo Taisu.
Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong tersenyum menyeringai. "Kim-mo Taisu, kau sombong benar. Memang sahabat-sahabat baikku ikut datang karena mereka ini pun tertarik sekali mendengar bahwa kau datang. Telah lama mereka mendengar namamu dan ingin sekali menyaksikan apakan nama besarmu itu tidak sia-sia belaka. Sahabatku ini adalah Hwa-bin-liong (Naga Muka Kembang) dari pantai timur, raja sekalian penjaga gunung (perampok)." Ia menunjuk seorang sebelah kanannya yang bermuka bopeng. "Sahabat yang seorang ini adalah Sin-ciang-hai-ma (Kuda Laut Bertangan Sakti), juga tokoh pantai timur, raja daripada bajak. Masih ada beberapa orang sahabat baikku yang akan datang menjumpaimu. Apakah kau takut?"
Bu Song mendengarkan semua itu dengan hati berdebar. Wah, gurunya telah bertemu orang-orang jahat, pikirnya. Pada saat itu, tiba-tiba telinga kanannya dijiwir orang, Bu Song kaget dan melirik. Kiranya kakek A-kwi yang menjiwirnya.
"Hayo pikul tahang air itu dan bereskan pekerjaanmu, pemalas!" bisik Si Kakek tanpa melepaskan telinga Bu Song. Bu Song kaget dan ia cepat bangkit lalu memikul pikulannya. Ia tidak takut, melainkan taat karena tahu akan kewajiban. Tinggal sekali lagi mengantar air, kemudian ia akan lari kembali ke sini menonton gurunya. Kakek A-kwi melirik kearah mereka yang sedang bantah-bantahan, nampaknya gelisah dan menarik telinga Bu Song agar anak itu berjalan lebih cepat.
Setelah agak jauh dari situ, kakek itu mengomel. "Anak tolol, apakah kau mencari mampus? Banyak tontonan di dunia ini, akan tetapi yang ditonton adalah harimau yang hendak bertempur melawan srigala-srigala! Gila betul. Hayo cepat dan jangan sekali-sekali kau beristirahat sebelum kau sampai di rumah. Aku jalan lebih dulu!" sekali berkelebat kakek itu sudah meloncat jauh ke depan, dan Bu Song sambil mengeluh di dalam hatinya memaksa diri untuk berjalan pula menuruni bukit. Istirahat yang sebentar tadi benar-benar membuat kedua kakinya hampir tak dapat dipakai berjalan. Akan tetapi ia menggigit bibir, memaksa diri untuk cepat-cepat menyelesaikan tugasnya agar ia dapat kembali ke tempat itu untuk menjumpai gurunya.
Sementara itu, Kim-mo Taisu masih tertawa bergelak mendengar ucapan Pouw-kai-ong. "Ha-ha-ha, segala rampok dan bajak. Pantas menjadi sahabat pengemis. Akan tetapi aku tidak punya urusan dengan segala macam rampok dan bajak. Aku sengaja datang untuk mengulangi tantanganku kepadamu, Kai-ong. Mari kita mulai!"
Ucapan itu merupakan penghinaan hebat bagi tokoh bajak dan tokoh rampok itu. Si Muka Bopeng Hwa-bin-liong sudah melangkah maju, diikuti oleh Si Kuda Laut. Mereka ini belum tua, paling banyak berusia empat puluh tahun. Begitu tiba di depan Kim-mo Taosu, Hwa-bin-liong melolos sebatang golok besar yang terselip di punggungnya, adapun Si Kuda Laut mengeluarkan sebatang cambuk yang terbuat daripada ekor ikan pee. Keduanya berdiri dengan sikap menantang.
"San-ong (Raja Gunung), biarkan aku menghadapi jembel kelaparan yang sombong ini!" kata Si Tokoh Bajak yang menyebut temannya raja gunung, cambuk ikan pee di tangannya digerak-gerakkan di atas kepala sehingga terdengar suara bersiutan mengerikan. Ekor ikan pee itu penuh duri-duri yang runcing, kalau sekali mengenai kulit tubuh manusia benar-benar akan mengakibatkan luka yang hebat. "Bersabarlah, Hai-ong (Raja Laut). Biarkan aku menghadapinya lebih dulu. He, Kim-mo Taisu. Aku sudah lama mendengar namamu yang baru muncul, dan dengan maksud baik aku ingin sekali berkenalan dan menyaksikan kelihaianmu. Siapa kira, kau begini sombong dan tidak memandang orang lain. Keluarkan senjatamu, biar aku Hwa-bin-liong mencoba sampai di mana kehebatanmu maka kau bersikap sesombong ini!"
"Ha-ha-ha-ha, raja pengemis dibantu oleh raja laut dan raja gunung, benar-benar hebat! Segala macam raja sudah berkumpul di sini, biarlah kuantar kalian menghadap raja akhirat!"
Tentu saja kedua orang raja penjahat itu menjadi marah sekali. Hwa-bin-liong Si Muka Bopeng yang sudah bertahun-tahun merajalela di hutan-hutan dan gunung-gunung, menjadi raja dari sekalian kecu dan rampok, baru kali ini merasa dipandang rendah orang. Ia membentak marah dan tanpa menanti lawan mengeluarkan senjata, ia sudah menyambar ke depan dan golok besarnya diayun mengarah leher Kim-mo Taisu. (Bersambung)
(dwi)