Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 19 Bagian 2

Minggu, 19 November 2017 - 18:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 19 Bagian 2
Suling Emas, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Suling Emas

Betapapun juga, Kim-mo Taisu tetap terdesak. Pada saat ia sibuk mengelak dan menangkis desakan pukulan Ma Thai Kun dan pedang serta tongkat Pouw Kee Lui, tiba-tiba tanpa mengeluarkan suara, cambuk hitam di tangan Ban-pi Lo-cia telah membelit pinggangnya! Kim-mo Taisu terkejut sekali.

Dahulu ketika bertanding melawan Ban-pi Lo-cia, pernah terbelit juga pinggangnya dan ia tidak mampu melepaskan diri begitu saja. Oleh karena ini seperti juga dahulu, ia cepat mengerahkan tenaganya, meminjam tenaga tarikan cambuk, tubuhnya melayang ke arah Ban-pi Lo-cia dan cabang di tangannya menusuk dada sedangkan tangan kirinya menampar kepala! Hebat bukan main serangan ini dan Ban-pi Lo-cia tidak menyangka bahwa lawannya akan melakukan perlawanan senekat ini.

Terpaksa ia melepaskan cambuknya yang melibat tubuh lawan dan bergulingan ke belakang! Memang Kim-mo Taisu juga hanya menggunakan siasat agar terlepas dari libatan cambuk, maka ia tidak mengejar karena pada saat itu, pedang di tangan Pouw Kee Lui sudah menyerangnya dengan ganas sekali, disusul pula hantaman tongkatnya. Kim-mo Taisu cepat menangkis pedang dan tongkat. Oleh dorongan hawa sakti dari tubuh mereka, ketiga senjata ini melekat, saling mengisap dan saling membetot.

Pada saat itu, Ma Thai Kun menendang, mengenai belakang lutut Kim-mo Taisu, membuat pendekar ini roboh terguling. Namun cabang liu itu masih menempel pada pedang dan tongkat Pouw Kee Lui dan kini dalam keadaan setengah berbaring, Kim-mo Taisu mempertahankan tekanan kedua senjata Pouw Kee Lui yang hendak menindas atau membikin patah cabang itu di tangannya. Adu tenaga dalam terjadi. Kim-mo Taisu di bawah dan Pouw Kee Lui di atas. Namun perlahan-lahan cabang liu itu terangkat ke atas, menjadi bukti bahwa raja pengemis itu kalah kuat.

Ma Thai Kun sudah melangkah maju, wajahnya merah dan membayangkan kegirangan hatinya. "Sekarang mampus engkau!" katanya lalu mengirim pukulan Cui-beng-ciang ke arah kepala Kim-mo Taisu!

Kagetlah pendekar ini. Karena senjatanya masih saling lekat dengan senjata Si Raja Pengemis, maka tak mungkin ia mengelak lagi dalam ke adaan setengah terbaring itu. Terpaksa ia lalu menggerakkan tangan kirinya, mengerahkan tenaga sakti dan menggunakan Ilmu Tangan Kapas Sakti untuk menangkis.

"Plakk!" Kembali kedua tangan itu lekat satu kepada yang lain sehingga kini dalam keadaan setengah terbanting itu Kim-mo Taisu harus menahan tekanan kedua orang lawan dengan kedua tangannya! Keadaannya menjadi berbahaya sekali karena Ban-pi Lo-cia sudah tertawa-tawa sambil mengayun cambuknya untuk menghantam lawan yang sudah tak dapat menghadapinya lagi itu.

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa terbahak-bahak disusul ucapan nyaring. "Ha-ha-ho-ho! Setelah mendurhakai Beng-kauw, kau masih berani bersekongkol dengan segala macam penjahat? Benar memalukan sekali!" Dan muncullah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang dengan langkah lebar menghampiri tempat pertandingan itu.

Bukan main kagetnya hati Ma Thai Kun melihat datangnya bekas suhengnya ini. Dalam keadaan tangannya lekat pada tangan Kim-mo Taisu, berbahayalah kalau ia diserang, sedangkan ia maklum akan watak suhengnya ini yang keras seperti baja dan tidak mengenal ampun. Maka terpaksa ia menarik kembali tenaganya melompat mundur dan dengan mata beringas ia memandang suhengnya, lalu memaki.

"Liu Gan, di antara kita tidak ada hubungan apa-apa lagi, mengapa kau selalu menentang aku?"

"Cerewet, sebelum menghajar mampus padamu dengan tangan sendiri, hatiku takkan tentram karena pada suatu saat tentu kau mampus di tangan orang lain dan hal ini sama sekali tidak kukehendaki!"

"Liu Gan, kau benar-benar terlalu!" Ma Thai Kun membentak dan mengirim pukulan sambil mengeluarkan teriakan garang. Pat-jiu Sin-ong tersenyum dan cepat menangkis. Di lain saat kedua orang yang tadinya menjadi kakak beradik seperguruan ini sudah saling hantam dengan seru.

Biarpun sudah ditinggalkan Ma Thai Kun, keadaan Kim-mo Taisu masih dalam bahaya, karena Ban-pi Lo-cia kini sudah mengayun cambuk menghantam kepalanya, sedangkan ia masih setengah berbaring. Akan tetapi, tiba-tiba Ban-pia Lo-cia berseru marah, tubuhnya terhuyung ke belakang dan otomatis serangannya tadi tidak dilanjutkan.

"Setan iblis manakah yang berani main-main dengan Ban-pi Lo-cia?" bentaknya.

Terdengar jawaban nyaring pula, "Setan iblis akulah yang datang, jahanam Khitan. Tempo hari, karena kecurangan dan pengeroyokan terpaksa aku mundur. Sekarang, kau rasakanlah tanganku!" Dan muncullah seorang kakek tua yang rambutnya riap-riapan kumisnya panjang, yang "berdiri" bukan di atas kedua kaki melainkan di atas sepasang tongkat yang dipegangnya. Inilah Kong Lo Sengjin atau bekas Raja Muda Kerajaan Tang yang terkenal dengan julukan Sin-jiu Couw Pa Ong!

"Couw Pa Ong! Kau masih belum mampus?" Ban-pi Lo-cia berseru kaget sekali. Ketika merobohkan Kerajaan Tang dan Couw Pa Ong mengamuk, dia juga ikut mengeroyok dan melihat dengan mata kepala sendiri betapa dalam perang itu Sin-jiu Couw Pa Ong sudah dipukul roboh dan menderita luka hebat, bahkan kedua kakinya sudah tak dapat digunakan lagi.

Bagaimana sekarang kakek itu dapat muncul kembali? Ia tahu betul betapa lihainya kakek ini, maka hatinya menjadi gentar. Apalagi ketika tadi melihat munculnya Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, kini hatinya sudah tak bernafsu lagi untuk melanjutkan pertandingan. Ban-pi Lo-cia yang cerdik sudah cepat membuat perhitungan di dalam hati. Ma Thai Kun tentu sukar dapat mengalahkan bekas suhengnya. Pouw-kai-ong juga agaknya sukar sekali dapat mengatasi Kim-mo Taisu, sedangkan dia sendiri masih ragu-ragu apakah dia akan dapat menangkan Couw Pa Ong, biarpun kakek itu kini sudah lumpuh kedua kakinya. Melihat gelagat tidak menguntungkan, Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak sambil berkata.

"Couw Pa Ong, sekarang di antara kita tidak ada urusan lagi. Biarlah aku pergi saja!" Ia lalu melesat jauh dan pergi dari tempat itu.

"Monyet dari Khitan, kau hendak lari kemana?" Kakek lumpuh itu lalu mencelat ke depan dan kedua tongkat yang menggantikan kaki itu dapat bergerak dan berlari cepat sekali mengejar Ban-pi Lo-cia.

Melihat seorang kawannya yang boleh diandalkan lari, hati Pouw Kee Lui menjadi gentar. Ia menggunakan kesempatan selagi Kim-mo Taisu memandang kakek lumpuh dengan mata terheran-heran itu untuk meloncat pula dan lari pergi. Kim-mo Taisu tidak mengejar, karena pendekar ini sedang merasa terheran-heran. Sudah lama ia mendengar nama besar Couw Pa Ong dan baru sekarang ia melihat orangnya. Melihat betapa Ban-pi Lo-cia yang kosen itu lari ketakutan bertemu dengan kakek lumpuh ini, ia dapat menduga betapa kakek lumpuh ini tentulah amat lihai dan ternyata benar dugaannya karena cara kakek ini lari secepat itu dengan sepasang tongkat saja sudah membuktikan kelihaiannya. Dengan Pouw Kee Lui ia tidak mempunyai urusan yang amat penting, maka ia mendiamkan saja raja pengemis itu lari.

Ma Thai Kun berusaha melawan bekas suhengnya, namun setelah beberapa kali mereka beradu lengan, maklumlah Ma Thai Kun bahwa ia masih belum dapat menandingi bekas suhengnya. Maka setelah melihat betapa Ban-pi Lo-cia lari juga Pouw Kee Lui yang dibantunya lari diam-diam ia mengutuk kecurangan dan sifat pengecut mereka. Ia mengerahkan tenaga, membentak dan menyerang dengan jurus Cui-beng-ciang yang paling hebat. Pat-jiu Sin-ong tertawa mengejek dan menyambut datangnya pukulan itu dengan kekerasan pula. Dua pasang tangan bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Pat-jiu Sin-ong terpental sampai dua tiga meter ke belakang, akan tetapi Ma Thai Kun terguling-guling muntahkan darah segar, melompat kembali dengan muka pucat lalu melarikan diri.

"Kalau belum mampus hatiku belum tenteram!" Pat-jiu Sin-ong mengejar dan sesaat kemudian Kim-mo Taisu berdiri seorang diri di tempat yang kini menjadi amat sunyi itu. Ia termenung, menghela napas berulang-ulang. Tadi hampir saja ia menghadapi bahaya maut yang tak terelakkan lagi. Akhirnya datang pertolongan kalau memang Tuhan belum menghendaki dia mati, pikirnya. Ia cukup mengenal Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.

Mustahil kakek ini sengaja menolongnya. Andaikata seorang di antar para pengeroyok bukan Ma Thai Kun, agaknya kakek Beng-kauw itu akan menjadi penolong dan menikmati kematiannya dalam pengeroyokan. Ikut campurnya Pat-jiu Sin-ong hanya untuk membunuh Ma Thai Kun yang dianggapnya mendurhakai Beng-kauw. Adapun muncul kakek Couw Pa Ong itu pun agaknya karena belum tentu kakek yang tak dikenalnya itu akan datang membantunya. Semuanya serba kebetulan, dan memang aneh kalau orang belum ditakdirkan mati. Sebetulnya, mati bukan apa-apa bagi Kim-mo Taisu, ia sama sekali tidak gentar. Hanya ia akan merasa sayang sekali kalau dalam pertandingan tadi dia yang mati karena dengan demikian berarti orang-orang macam Ban-pi Lo-cia dan Pouw kai-ong, dua orang yang sama sekali tidak ada artinya hadir di dunia ini karena hanya menimbulkan kesengsaraan bagi orang lain akan makin merajalela!

"Kwee-koko....!"

Kim-mo Taisu terkejut dan tidak bergerak, membelalakkan mata. Gila, pikirnya, mengapa tiba-iba ia bermimpi mendengar suara wanita? Tak mungkin ada wanita memanggilnya Kwee-koko dengan suara semerdu itu.

"Kwee-koko...!"

Dengan jantung berdebar Kim-mo Taisu membalikkan tubuhnya dan wajahnya berubah, matanya terbelalak, mulutnya ternganga ketika ia melihat seorang wanita cantik jelita berdiri di situ, menggandeng seorang anak perempuan berusia kurang lebih sembilan tahun. Wanita itu memandang kepadanya dengan sepasang mata berlinang air mata, sedangkan anak perempuan itu melongo memandangnya dengan telunjuk kiri di mulut, seperti anak terheran-heran.

"Kwee-koko...!" Untuk ketiga kalinya wanita itu memanggilnya suaranya gemetar penuh perasaan. "Mengapa engkau menjadi begini?" Air matanya membanjir turun membasahi sepasang pipinya.

Kim-mo Taisu menggoyang-goyang kepalanya untuk mengusir bayangan itu, namun sia-sia. Tetap saja wanita cantik itu masih berdiri di depannya, wanita cantik yang bukan lain adalah Ang-siauw-hwa. Tapi ini tak mungkin!

Ang-siauw-hwa sudah mati, tewas membunuh diri karena perbuatan Ban-pi Lo-cia! Sekali lagi ia memandang dengan teliti. Wajah itu, cantik manis dengan rambut digelung tingi-tinggi ke atas, ujungnya terjuntai ke belakang, tubuh yang kecil ramping padat itu, tak salah lagi, dia inilah Ang-siauw-hwa Si Kembang Pelacur di Telaga Barat. Tapi Ang-siauw-hwa sudah mati, hal ini ia yakin benar.

"Nona.... Eh, Nyonya.... Siapakah...?" Ia bertanya gagap, suaranya juga gemetar karena jantungnya berdebar keras. Kalau wanita ini bukan Ang-siauw-hwa, dan hal ini sudah pasti, ia tidak pernah mengenalnya mengapa wanita itu memanggilnya Kwee-koko dengan suara begitu mesra?

Wanita itu menunduk dan air matanya terjatuh ke bawah, lalu ia memandang lagi sambil berkata halus, "Kwee-koko, aku adalah Gin Lin..."

"Ah.......!" Kim-mo Taisu menepuk dahinya. "Engkau saudara kembar Ang... eh, Khu Kim Lin...?" Ia cepat menahan sebutan Ang-siauw-hwa, karena nama julukan Ang-siau-hwa (Bunga Kecil Merah) adalah nama Kim Lin sebagai seorang pelacur.

Wanita itu mengangguk. "Betul, mendiang Ang-siau-hwa adalah saudara kembarku."

"Apa....? Engkau sudah tahu bahwa dia..... eh, dia..... bernama Ang-siauw-hwa dan sudah meninggal dunia?"

"Aku tahu karena engkau sendiri yang menceritakan kepadaku..."

"Hehh...?" Kim-mo Taisu memandang tajam, keningnya berkerut, apalagi melihat wanita itu menyembunyikan senyum manis, senyum membayangkan kegelian hati. Aneh, pikirnya. Jangan-jangan saudara kembar Ang-siauw-hwa ini seorang yang tidak beres otaknya. Tadi menangis sekarang tersenyum, dan menyebut dia kanda Kwee, "Nona, maaf. Mengapa menyebutku Kwee-koko? Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku she Kwee?"

Naik sedu-sedan dari dada wanita itu ketika ia menarik napas panjang. "Kwee-koko, apakah kau tidak mengenal suaraku?"

"Suaramu seperti..... seperti suara Ang-siauw-hwa....."

"Ah, alangkah bodohnya kadang-kadang lelaki yang paling pintar di dunia ini! Agaknya tanpa bukti kau takkan mengerti selamanya. Kwee-koko, kaukenalilah aku?" Wanita itu dengan gerakan cepat mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya, menutupi muka dengan benda itu dan ketika ia menurunkan kedua tangannya, Kim-mo Taisu melompat ke belakang sampai dua meter lebih, berdiri terbelalak dengan muka pucat. Ternyata bahwa nenek penghuni Neraka Buni yang kini berdiri di depannya!

"Kau.....? Kau.....?" Ia berkata, suara menggigil dan kakinya melangkah maju.

Gin Lin melepas kedoknya dan melemparnya jauh-jauh. "Kwee-koko, apakah kau sekarang mengenalku?" katanya sambil mengembangkan kedua lengannya. "Ah, Kwee-koko, betapa rinduku kepadamu...!"

Kim-mo Taisu berdongak dan tertawa bergelak-gelak, "Kau rindu.....? Ah, dan aku...., aku... ah, sampai gila aku memikirkan kau....!" Bagaikan didorong tenaga mujijat, keduanya saling tubruk dan saling peluk, berdekapan mesra. Gin Lin menangis terisak-isak sedangkan Kim-mo Taisu masih tertawa-tawa akan tetapi kedua matanya bercucuran air mata ketika mereka berpelukan dan berciuman. Kemudian kim-mo Taisu mengangkat tubuh Gin Lin dan ia menari-nari sambil berputar-putar memondong tubuh "nenek" itu.

"Ha-ha-ha-ha! Dan aku menjadi seperti gila menyesali perbuatanku!"

Gin Lin mengusap-ngusap rambut yang terurai itu. "Kwee-koko, kenapa kau sampai menjadi begini?"

"Apa seperti jembel ini? Ha-ha-ha, agar tepat dengan keadaanmu sebagai seorang nenek-nenek keriputan. Hanya seorang jembel gila yang begitu buta beristerikan seorang nenek. Kau isteriku, ha-ha-ha! Engkau isteriku tercinta!"

Gin Lin memeluk dan mendekap kepala suaminya dengan terharu sambil menangis sedangkan suaminya masih memondongnya dan berjingkrak-jingkrak kegirangan, juga dengan pipi basah air mata. Mereka lupa diri, lupa segala sehingga tidak ingat bahwa anak perempuan tadi memandang mereka dengan bengong, dan anak itu menangis pula menyaksikan mereka mengucurkan air mata.

"Ibu... Ibu....!" Anak itu memanggil. (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0770 seconds (0.1#10.140)