Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 8 Bagian 11
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Suling Emas
Akan tetapi, mereka yang tergolong orang-orang pandai, ahli silat dan ahli perang, bermunculan dan keadaan keruh seperti itulah merupakan masa jaya bagi mereka. Inilah masanya bagi para perampok untuk beraksi tanpa takut dihancurkan petugas keamanan karena orang lebih meributkan mencari kedudukan daripada menjaga keamanan rakyat.
Masanya bagi yang kuat menindas yang lemah. Masanya pula bagi orang-orang sakti yang di masa aman tenteram pergi ke guha-guha, ke puncak-puncak gunung, ke tepi-tepi laut untuk bertapa, untuk turun gunung masuk kota raja untuk menawarkan kepandaian mencari jasa dan kedudukan mulia! Dan memang para raja muda yang mempunyai cita-cita mengangkat diri menjadi raja besar, amat membutuhkan tenaga orang-orang sakti ini.
Tidak peduli si orang sakti itu terdiri daripada golongan hitam maupun putih, penjahat maupun pendeta, asal sakti dan tenaganya dapat dipergunakan, tentu oleh si pangeran atau raja muda akan diterima penuh kegembiraan, dihujani hadiah emas permata, pakaian indah, makanan lezat, atau wanita cantik.
Memang menurut sejarah, jaman Lima Wangsa selama setengah abad ini, adalah jaman yang paling keruh dan penuh dengan perang antara saudara. Semenjak Kerajaan Tang jatuh dalam tahun 907, disusul dengan perebutan kekuasaan yang memecah-mecah bangsa.
Dunia kang-ouw terpecah-belah pula, karena masing-masing membela yang mempergunakan mereka. Tidak jarang terjadi bentrokan hebat antara perkumpulan-perkumpulan orang gagah. Bahkan parai-partai persilatan besar, kelenteng-kelenteng besar yang mempunyai banyak anak murid banyak yang terseret-seret.
Dalam perjalanannya mencari Kam Si Ek menuju ke ibu kota Kai-feng yang berada di lembah selatan Sungai Kuning, Liu Lu Sian banyak sekali melihat pertempuran-pertempuran dan banyak penderitaan para pengungsi! Namun karena ia sendiri mempunyai urusan penting yang amat menggoda hatinya, maka ia sengaja menjauhkan diri dari semua halangan, tidak mau melayani urusan kecil yang akan memperlambat perjalanannya dan tidak mempedulikan pula penderitaan para pengungsi yang amat menyedihkan itu. Akan tetapi, pada suatu hari, ia tertarik juga akan sesuatu peristiwa dan terpaksa menunda perjalanannya untuk menyaksikan peristiwa itu.
Pagi hari itu, ketika Lu Sian menunggangi kudanya melalui jalan sunyi yang rusak oleh air hujan, tiba-tiba ia mendengar suara jeritan yang sambung menyambung. Suara seperti ini sudah biasa ia dengar. Tentu wanita yang diculik pasukan tentara, atau diganggu orang jahat, pikirnya tanpa mau mempedulikannya. Akan tetapi pekik itu tidak hanya jerit wanita, bahkan pula teriakan laki-laki yang agaknya menghadapi maut.
Ini pun tidak menarik perhatian Lu Sian. Tiba-tiba ia menghentikan kudanya dengan menahan kendali. Telinganya mendengar bersiutnya angin yang aneh. Itulah hawa pukulan yang luar biasa, pikirnya. Tentu ada orang sakti yang bertempur di sana. Sebagai seorang ahli silat, hal ini amat menarik hatinya dan ia segera meloncat turun dari kudanya, membiarkan kudanya makan rumput di situ lalu ia sendiri berlari memasuki dusun itu, menyelinap di antara pohon dan semak-semak.
Ia melihat seorang kakek yang rambutnya riap-riapan, akan tetapi pakaiannya biarpun kotor berdebu terbuat daripada bahan sutera yang mahal, mukanya keruh pandang matanya kejam, alisnya berkerut seperti orang marah. Kakek ini duduk di atas sebuah batu besar di pinggir jalan, kedua kakinya bersila dan kelihatan lemas.
Di dekat batu besar itu tampak sebuah dipan bambu yang biasa digunakan orang untuk mengangkut orang-orang sakit, dan dua orang pemanggulnya kini berada di belakang kakek itu, seorang duduk mengipasi lehernya yang berkeringat dan yang seorang lagi berdiri sambil bertolak pinggang mengikuti gerakan kakek tadi. Melihat wajah dua orang itu yang bodoh, mereka itu agaknya hanya tukang panggul dipan itu yang hanya bertenaga besar.
Yang amat menarik perhatian Lu Sian adalah di sekeliling tempat duduk kakek itu, di mana tampak belasan mayat bergelimpangan. Mereka itu tidak kelihatan terluka dan di dekat mereka banyak senjata malang melintang, bahkan di antara mayat itu ada yang masih memegang pedang. Akan tetapi semua mayat itu mengeluarkan darah dari mulut, hidung, mata dan telinga! Di antaranya terdapat pula wanita-wanita yang agaknya hanya wanita biasa, mungkin para pengungsi karena di sana-sini kelihatan buntalan-buntalan pakaian.
Pada saat itu, datang pula serombongan pengungsi, di depannya berjalan dua orang laki-laki muda dan seorang gadis tanggung. Melihat gerakan mereka, dapat diduga bahwa dua orang pemuda itu memiliki kepandaian silat, bahkan yang seorang sudah memegang sebatang pedang telanjang. Para pengungsi laki-laki dan perempuan dan yang jumlahnya dua puluh orang lebih, berjalan di belakang tiga orang muda itu dengan mata terbelalak lebar membayangkan kengerian dan ketakutan.
"Mana dia? Mana kakek gila yang jahat dan membunuhi pengungsi itu?" bentak pemuda yang memegang pedang.
Para pengungsi yang berada dibelakangnya dengan muka pucat menuding ke arah kakek yang sedang duduk tenang di atas batu sambil berkata, "Itu dia, iblis tua itu..."
Si Pemuda bersama dua orang temannya tercengang, seperti tidak percaya. Pemuda berpedang melangkah maju. "Dia ini...? Kakek lumpuh...?"
Kakek itu membuka matanya yang tadinya seperti selalu ditutup, memandang tiga orang muda dengan penuh perhatian, lalu dengan suara malas bertanya.
"Kalian juga mengungsi? Apakah hendak tunduk kepada Kerajaan pemberontak Liang?" (Bersambung)
Akan tetapi, mereka yang tergolong orang-orang pandai, ahli silat dan ahli perang, bermunculan dan keadaan keruh seperti itulah merupakan masa jaya bagi mereka. Inilah masanya bagi para perampok untuk beraksi tanpa takut dihancurkan petugas keamanan karena orang lebih meributkan mencari kedudukan daripada menjaga keamanan rakyat.
Masanya bagi yang kuat menindas yang lemah. Masanya pula bagi orang-orang sakti yang di masa aman tenteram pergi ke guha-guha, ke puncak-puncak gunung, ke tepi-tepi laut untuk bertapa, untuk turun gunung masuk kota raja untuk menawarkan kepandaian mencari jasa dan kedudukan mulia! Dan memang para raja muda yang mempunyai cita-cita mengangkat diri menjadi raja besar, amat membutuhkan tenaga orang-orang sakti ini.
Tidak peduli si orang sakti itu terdiri daripada golongan hitam maupun putih, penjahat maupun pendeta, asal sakti dan tenaganya dapat dipergunakan, tentu oleh si pangeran atau raja muda akan diterima penuh kegembiraan, dihujani hadiah emas permata, pakaian indah, makanan lezat, atau wanita cantik.
Memang menurut sejarah, jaman Lima Wangsa selama setengah abad ini, adalah jaman yang paling keruh dan penuh dengan perang antara saudara. Semenjak Kerajaan Tang jatuh dalam tahun 907, disusul dengan perebutan kekuasaan yang memecah-mecah bangsa.
Dunia kang-ouw terpecah-belah pula, karena masing-masing membela yang mempergunakan mereka. Tidak jarang terjadi bentrokan hebat antara perkumpulan-perkumpulan orang gagah. Bahkan parai-partai persilatan besar, kelenteng-kelenteng besar yang mempunyai banyak anak murid banyak yang terseret-seret.
Dalam perjalanannya mencari Kam Si Ek menuju ke ibu kota Kai-feng yang berada di lembah selatan Sungai Kuning, Liu Lu Sian banyak sekali melihat pertempuran-pertempuran dan banyak penderitaan para pengungsi! Namun karena ia sendiri mempunyai urusan penting yang amat menggoda hatinya, maka ia sengaja menjauhkan diri dari semua halangan, tidak mau melayani urusan kecil yang akan memperlambat perjalanannya dan tidak mempedulikan pula penderitaan para pengungsi yang amat menyedihkan itu. Akan tetapi, pada suatu hari, ia tertarik juga akan sesuatu peristiwa dan terpaksa menunda perjalanannya untuk menyaksikan peristiwa itu.
Pagi hari itu, ketika Lu Sian menunggangi kudanya melalui jalan sunyi yang rusak oleh air hujan, tiba-tiba ia mendengar suara jeritan yang sambung menyambung. Suara seperti ini sudah biasa ia dengar. Tentu wanita yang diculik pasukan tentara, atau diganggu orang jahat, pikirnya tanpa mau mempedulikannya. Akan tetapi pekik itu tidak hanya jerit wanita, bahkan pula teriakan laki-laki yang agaknya menghadapi maut.
Ini pun tidak menarik perhatian Lu Sian. Tiba-tiba ia menghentikan kudanya dengan menahan kendali. Telinganya mendengar bersiutnya angin yang aneh. Itulah hawa pukulan yang luar biasa, pikirnya. Tentu ada orang sakti yang bertempur di sana. Sebagai seorang ahli silat, hal ini amat menarik hatinya dan ia segera meloncat turun dari kudanya, membiarkan kudanya makan rumput di situ lalu ia sendiri berlari memasuki dusun itu, menyelinap di antara pohon dan semak-semak.
Ia melihat seorang kakek yang rambutnya riap-riapan, akan tetapi pakaiannya biarpun kotor berdebu terbuat daripada bahan sutera yang mahal, mukanya keruh pandang matanya kejam, alisnya berkerut seperti orang marah. Kakek ini duduk di atas sebuah batu besar di pinggir jalan, kedua kakinya bersila dan kelihatan lemas.
Di dekat batu besar itu tampak sebuah dipan bambu yang biasa digunakan orang untuk mengangkut orang-orang sakit, dan dua orang pemanggulnya kini berada di belakang kakek itu, seorang duduk mengipasi lehernya yang berkeringat dan yang seorang lagi berdiri sambil bertolak pinggang mengikuti gerakan kakek tadi. Melihat wajah dua orang itu yang bodoh, mereka itu agaknya hanya tukang panggul dipan itu yang hanya bertenaga besar.
Yang amat menarik perhatian Lu Sian adalah di sekeliling tempat duduk kakek itu, di mana tampak belasan mayat bergelimpangan. Mereka itu tidak kelihatan terluka dan di dekat mereka banyak senjata malang melintang, bahkan di antara mayat itu ada yang masih memegang pedang. Akan tetapi semua mayat itu mengeluarkan darah dari mulut, hidung, mata dan telinga! Di antaranya terdapat pula wanita-wanita yang agaknya hanya wanita biasa, mungkin para pengungsi karena di sana-sini kelihatan buntalan-buntalan pakaian.
Pada saat itu, datang pula serombongan pengungsi, di depannya berjalan dua orang laki-laki muda dan seorang gadis tanggung. Melihat gerakan mereka, dapat diduga bahwa dua orang pemuda itu memiliki kepandaian silat, bahkan yang seorang sudah memegang sebatang pedang telanjang. Para pengungsi laki-laki dan perempuan dan yang jumlahnya dua puluh orang lebih, berjalan di belakang tiga orang muda itu dengan mata terbelalak lebar membayangkan kengerian dan ketakutan.
"Mana dia? Mana kakek gila yang jahat dan membunuhi pengungsi itu?" bentak pemuda yang memegang pedang.
Para pengungsi yang berada dibelakangnya dengan muka pucat menuding ke arah kakek yang sedang duduk tenang di atas batu sambil berkata, "Itu dia, iblis tua itu..."
Si Pemuda bersama dua orang temannya tercengang, seperti tidak percaya. Pemuda berpedang melangkah maju. "Dia ini...? Kakek lumpuh...?"
Kakek itu membuka matanya yang tadinya seperti selalu ditutup, memandang tiga orang muda dengan penuh perhatian, lalu dengan suara malas bertanya.
"Kalian juga mengungsi? Apakah hendak tunduk kepada Kerajaan pemberontak Liang?" (Bersambung)
(dwi)