Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 12 Bagian 7
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Suling Emas
"Ah, dia kan masih kakak tirimu sendiri. Cinta kasihnya terhadapmu tentu lebih condong kepada cinta kasih seorang kakak terhadap adiknya."
"Kau tidak tahu, Kanda Salinga. Sudahlah, aku teringat akan dua orang aneh tadi. Apakah maksud mereka datang mengacaukan perlombaan bangsa kita? Si Pengemis Muda itu terang seorang Han dari selatan, entah kalau Si Kakek Cebol. Betapapun juga, mereka berdua memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Siapa gerangan mereka?"
"Memang aneh-aneh watak orang sakti di dunia ini. Sudah banyak aku mendengar akan hal itu. Tak perlu kuatir, mereka itu kurasa bukanlah orang-orang jahat. Dinda Tayami, lihat, betapa indahnya air sungai, betapa tenang dan bening seperti kaca. Mari kita berperahu. Di sana ada perahu kecil."
Tanpa menjawab Tayami menuruti permintaan kekasihnya. Mereka berdua meloncat turun dari kuda, menambatkan kendali kuda, menambatkan kendali kuda pada batang pohon, kemudian kembali bergandengan tangan dan bernisik-bisik mesra keduanya berjalan menuju ke pinggir sungai, memasuki perahu kecil, melepaskan ikatan perahu dan tak lama kemudian perahu itu meluncurlah ke tengah. Salinga mendayung perahu, Tayami duduk bersandar kepadanya, merebahkan kepala pada dadanya yang bidang.
Kwee Seng berdiri di belakang pohon, memandang dengan melongo, mata terbelalak lebar dan mulut ternganga. Memang hebat pemandangan itu, muda-mudi berkecimpung dalam madu asmara, di bawah sinar bulan purnama di dalam biduk kecil yang diombang-ambingkan alunan air sungai sehalus kaca, rambut halus juita terurai di atas dada, kata-kata bermadu dibisikkan, sayup-sayup sampai mendesir di telinga Kwee Seng bagaikan nyanyian sorgaloka.
Tanpa disadarinya, dua titik air mata menetes turun membasahi pipi Kwee Seng. Pikirannya menjadi kabur, ingatannya melayang-layang jauh di masa lampau, membayangkan wajah Liu Lu Sian, wajah Ang-siauw-hwa, membuat ia tersenyum-senyum dengan mata berkaca-kaca basah. Kemudian terbayang wajah nenek di Neraka Bumi dan tiba-tiba Kwee Seng mengeluh, memaki diri sendiri dan menampari mukanya sambil tertawa setengah menangis. Gilanya kumat kalau ia teringat kepada nenek itu karena tiap kali teringat akan segala yang ia perbuat dengan nenek itu di dalam Neraka Bumi, dadanya seperti diaduk-aduk dengan pelbagai macam perasaan. Ada rasa malu, kecewa, menyesal, bercampur dengan rasa girang, rindu muncul silih berganti, maka tidak heran kalau ia menjadi seperti orang gila.
Mendadak Kwee Seng sadar kembali. Telinganya yang amat tajam menangkap suara-suara yang tidak wajar, suara orang berbisik-bisik tak jauh dari sini. Cepat ia menyelinap, mendekat. Di bawah bayangan pohon yang amat gelap, ia melihat tiga orang laki-laki, orang-orang Khitan yang berpakaian hitam.
"Ah, mengapa justeru kita yang mendapat tugas berat ini...?". Seorang di antara mereka mengeluh. "Mereka tidak pandai berenang."
"Goblok! Apa kau hendak membantah perintahnya? Justeru mereka tidak pandai berenang, maka memudahkan tugas kita. Ingat, kita menggulingkan perahu, lalu menarik perahu agar hanyut sehingga besok orang-orang hanya akan tahu bahwa mereka berdua yang sedang main-main di perahu tertimpa malapetaka, perahu terguling dan mereka mati tenggelam.."
"Ahhh...!" Kembali yang seorang mengeluh, yaitu orang yang tubuhnya tinggi kurus, tidak seperti yang dua orang temannya, yang bertubuh kokoh kekar.
"Sudahlah, tak usah banyak ribut, mari kita mulai!" Tiga orang itu lalu turun ke dalam air perlahan-lahan, kemudian mereka menyelam dan berenang dengan cepat. Kwee Seng maklum bahwa mereka bertiga adalah ahli-ahli berenang, dan maklum pula bahwa ada komplotan jahat hendak berkhianat dan membunuh kedua orang muda yang asyik dimabok cinta itu. Ia menarik napas berkali-kali kemudian dengan hati mangkal karena perasaannya amat terganggu oleh peristiwa ini, karena suara hatinya tidak membolehkan dia berpeluk tangan saja, ia lalu menghantam sebatang pohon terdekat dengan tangan dimiringkan.
"Krakkkk!" Batang pohon itu tidak dapat menahan hantaman tangan Kwee Seng yang amat ampuh, bagian yang dihantam pecah remuk dan patah, membuat pohon itu tumbang seketika!
"Eh, apa itu....?" terdengar dari jauh suara Salinga ketika mendengar suara keras robohnya batang pohon.
"Aiihhh, Kanda.... celaka....!" Disusul jeritan Tayami karena pada saat itu, perahu mereka tiba-tiba terguling membalik dan mereka berdua terlempar ke dalam air! Perahu itu meluncur cepat dalam keadaan tertelungkup menuju ke tengah dan diseret arus air menjauhi mereka.
Dua orang itu megap-megap, meronta-ronta dengan kaki tangan mereka, akan tetapi karena tidak pandai berenang, banyak sudah air yang memasuki mulut. (Bersambung)
"Ah, dia kan masih kakak tirimu sendiri. Cinta kasihnya terhadapmu tentu lebih condong kepada cinta kasih seorang kakak terhadap adiknya."
"Kau tidak tahu, Kanda Salinga. Sudahlah, aku teringat akan dua orang aneh tadi. Apakah maksud mereka datang mengacaukan perlombaan bangsa kita? Si Pengemis Muda itu terang seorang Han dari selatan, entah kalau Si Kakek Cebol. Betapapun juga, mereka berdua memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Siapa gerangan mereka?"
"Memang aneh-aneh watak orang sakti di dunia ini. Sudah banyak aku mendengar akan hal itu. Tak perlu kuatir, mereka itu kurasa bukanlah orang-orang jahat. Dinda Tayami, lihat, betapa indahnya air sungai, betapa tenang dan bening seperti kaca. Mari kita berperahu. Di sana ada perahu kecil."
Tanpa menjawab Tayami menuruti permintaan kekasihnya. Mereka berdua meloncat turun dari kuda, menambatkan kendali kuda, menambatkan kendali kuda pada batang pohon, kemudian kembali bergandengan tangan dan bernisik-bisik mesra keduanya berjalan menuju ke pinggir sungai, memasuki perahu kecil, melepaskan ikatan perahu dan tak lama kemudian perahu itu meluncurlah ke tengah. Salinga mendayung perahu, Tayami duduk bersandar kepadanya, merebahkan kepala pada dadanya yang bidang.
Kwee Seng berdiri di belakang pohon, memandang dengan melongo, mata terbelalak lebar dan mulut ternganga. Memang hebat pemandangan itu, muda-mudi berkecimpung dalam madu asmara, di bawah sinar bulan purnama di dalam biduk kecil yang diombang-ambingkan alunan air sungai sehalus kaca, rambut halus juita terurai di atas dada, kata-kata bermadu dibisikkan, sayup-sayup sampai mendesir di telinga Kwee Seng bagaikan nyanyian sorgaloka.
Tanpa disadarinya, dua titik air mata menetes turun membasahi pipi Kwee Seng. Pikirannya menjadi kabur, ingatannya melayang-layang jauh di masa lampau, membayangkan wajah Liu Lu Sian, wajah Ang-siauw-hwa, membuat ia tersenyum-senyum dengan mata berkaca-kaca basah. Kemudian terbayang wajah nenek di Neraka Bumi dan tiba-tiba Kwee Seng mengeluh, memaki diri sendiri dan menampari mukanya sambil tertawa setengah menangis. Gilanya kumat kalau ia teringat kepada nenek itu karena tiap kali teringat akan segala yang ia perbuat dengan nenek itu di dalam Neraka Bumi, dadanya seperti diaduk-aduk dengan pelbagai macam perasaan. Ada rasa malu, kecewa, menyesal, bercampur dengan rasa girang, rindu muncul silih berganti, maka tidak heran kalau ia menjadi seperti orang gila.
Mendadak Kwee Seng sadar kembali. Telinganya yang amat tajam menangkap suara-suara yang tidak wajar, suara orang berbisik-bisik tak jauh dari sini. Cepat ia menyelinap, mendekat. Di bawah bayangan pohon yang amat gelap, ia melihat tiga orang laki-laki, orang-orang Khitan yang berpakaian hitam.
"Ah, mengapa justeru kita yang mendapat tugas berat ini...?". Seorang di antara mereka mengeluh. "Mereka tidak pandai berenang."
"Goblok! Apa kau hendak membantah perintahnya? Justeru mereka tidak pandai berenang, maka memudahkan tugas kita. Ingat, kita menggulingkan perahu, lalu menarik perahu agar hanyut sehingga besok orang-orang hanya akan tahu bahwa mereka berdua yang sedang main-main di perahu tertimpa malapetaka, perahu terguling dan mereka mati tenggelam.."
"Ahhh...!" Kembali yang seorang mengeluh, yaitu orang yang tubuhnya tinggi kurus, tidak seperti yang dua orang temannya, yang bertubuh kokoh kekar.
"Sudahlah, tak usah banyak ribut, mari kita mulai!" Tiga orang itu lalu turun ke dalam air perlahan-lahan, kemudian mereka menyelam dan berenang dengan cepat. Kwee Seng maklum bahwa mereka bertiga adalah ahli-ahli berenang, dan maklum pula bahwa ada komplotan jahat hendak berkhianat dan membunuh kedua orang muda yang asyik dimabok cinta itu. Ia menarik napas berkali-kali kemudian dengan hati mangkal karena perasaannya amat terganggu oleh peristiwa ini, karena suara hatinya tidak membolehkan dia berpeluk tangan saja, ia lalu menghantam sebatang pohon terdekat dengan tangan dimiringkan.
"Krakkkk!" Batang pohon itu tidak dapat menahan hantaman tangan Kwee Seng yang amat ampuh, bagian yang dihantam pecah remuk dan patah, membuat pohon itu tumbang seketika!
"Eh, apa itu....?" terdengar dari jauh suara Salinga ketika mendengar suara keras robohnya batang pohon.
"Aiihhh, Kanda.... celaka....!" Disusul jeritan Tayami karena pada saat itu, perahu mereka tiba-tiba terguling membalik dan mereka berdua terlempar ke dalam air! Perahu itu meluncur cepat dalam keadaan tertelungkup menuju ke tengah dan diseret arus air menjauhi mereka.
Dua orang itu megap-megap, meronta-ronta dengan kaki tangan mereka, akan tetapi karena tidak pandai berenang, banyak sudah air yang memasuki mulut. (Bersambung)
(dwi)