Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 8 Bagian 3
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Suling Emas
Akan tetapi, Lu Sian sama sekali tidak peduli tentang nasib gadis-gadis yang tertawan. Memang demikianlah watak Liu Lu Sian. Ia terlalu mementingkan diri sendiri, dan hanya mau turun tangan mati-matian untuk membela kepentingan sendiri atau kepentingan orang yang ia cinta. Urusan orang lain ia sama sekali tidak peduli.
***
Kota Poki adalah sebuah kota di propinsi Shan-si, kota yang cukup besar dan ramai. Tembok kotanya tinggi dan keadaan kota itu cukup subur dan makmur karena selain letaknya di kaki gunung Cin-ling-san, juga di sebelah selatan kota ini mengalir Sungai Wei-ho yang airnya cukup untuk keperluan para petani di daerah itu.
Pintu gerbang-pintu gerbang kota selalu terbuka lebar dan orang-orang hilir mudik keluar masuk pintu gerbang, berikut-kereta-kereta yang membawa banyak dagangan. Selain ini, juga sebagai kota pelabuhan sungai, banyak barang mengalir masuk atau keluar melalui jalan sungai, menambah kesibukan para pedagang di dalam kota.
Lu Sian tidak mau memasuki kota itu dengan kudanya. Selain kuda yang ia tunggangi adalah kuda milik Pang-ciangkun yang mungkin akan dikenal orang, juga kedatangannya ke kota itu adalah untuk menyelidiki Kam Si Ek. Ia menitipkan kudanya pada seorang petani yang tinggal di dusun sebelah selatan kota, kemudian ia melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Sebuah perahu menyeberangkannya ke kota Poki dan ia memasuki kota yang ramai itu sambil berjalan perlahan.
Akan tetapi, ke manapun juga Liu Lu Sian pergi dan dimanapun ia berada, selalu gadis ini menjadi perhatian orang. Tak lama sesudah ia masuk kota Poki, segera ia menjadi pusat perhatian, terutama laki-laki, yang terpesona oleh kecantikannya yang luar biasa. Lu Sian tidak pedulikan mereka ini sungguhpun keadaan macam ini selau mendatangkan rasa bangga di dalam hatinya. Yakin akan kecantikannya yang membikin semua orang laki-laki menoleh untuk mengaguminya, Lu Sian berjalan dengan langkah cepat, lalu masuk ke dalam rumah penginapan yang cukup besar, memesan kamar. Setelah berada di rumah penginapan, bebaslah ia daripada perhatian orang di jalan, sungguhpun beberapa orang tamu penginapan dan para pelayan tetap saja menatapnya dengan pandang mata serigala jantan kelaparan!
Karena tidak ingin menarik perhatian banyak orang, Lu Sian memanggil seorang pelayan mendekati kamarnya, seorang pelayan yang sudah setengah tua dan berwajah jujur.
"Paman pelayan, tahukah kau dimana letaknya Klenteng tee-kong bio di kota ini? Aku hendak pergi bersembahyang kesana."
Muka yang membayangkan kejujuran itu berkerut-kerut, lalu Si Pelayan menengok ke kanan kiri lebih dulu, baru menjawab dengan suara perlahan. "Nona, kalau hendak bersembahyang, banyak kelenteng-kelenteng ternama di kota ini. Mengapa harus ke sana? Lebih baik ke Kwan-im-bio di sebelah timur jembatan besar, atau ke Hai-ong-bio di dekat sungai atau....."
"Tidak, aku hanya ingin bersembahyang ke Tee-kong-bio." Jawab Lu Sian yang sudah menduga bahwa agaknya Tee-kong-bio merupakan tempat yang tidak menyenangkan hati pelayan itu, maka cepat disambungnya. Aku hendak bersembahyang membayar kaul, maka harus ke Tee-kong-bio. Dimanakah letaknya kelenteng itu?" Memang tentu saja tidak sukar mencari kelenteng di dalam kota sebesar Poki saja, akan tetapi daripada bertanya-tanya orang di jalan dan menarik perhatian, lebih baik kalau sudah mengetahui tempatnya sehingga dapat langsung ke sana.
"Memang, Siocia (Nona), bukan sekali-kali saya hendak mencampuri urusan nona. Akan tetapi sungguh-sungguh keadaan kelenteng itu tidak cocok untuk didatangi seorang tamu seperti nona. Kelenteng itu selalu sunyi, tak pernah ada pengunjungnya, tidak terawat sehingga hampir merupakan sebuah kelenteng kuno yang sudah tak terpakai lagi. Yang datang ke situ hanyalah orang-orang gelandangan, hwesio-hwesio yang suka minta derma paksa dan... ah, sudahlah, saya sudah bercerita cukup. Kelenteng itu letaknya di sebelah utara kota, dekat pintu gerbang, tempat yang sunyi. Sebaiknya Nona jangan pergi ke sana..."
"Cukup, aku dapat menjaga diri. Terima kasih atas keteranganmu." Kata Lu Sian yang merasa tak sabar lagi mendengar ucapan Si Pelayan. Pelayan itu melihat sinar mata marah dari Lu Sian, membalikkan tubuhnya dan pergi sambil mengangkat pundak.
Karena amat menguatirkan nasib Kam Si Ek, siang itu juga Lu Sian ke luar dari rumah penginapan. Ia hanya membawa pedangnya yang disarungkan di punggung. Kembali banyak pasang mata laki-laki menoleh ke arahnya, bahkan banyak yang berhenti berjalan dan mengikutinya dengan pandang mata kagum. Akan tetapi Lu Sian tidak menghiraukan mereka, mulutnya memperlihatkan senyum mengejek. (Bersambung)
Akan tetapi, Lu Sian sama sekali tidak peduli tentang nasib gadis-gadis yang tertawan. Memang demikianlah watak Liu Lu Sian. Ia terlalu mementingkan diri sendiri, dan hanya mau turun tangan mati-matian untuk membela kepentingan sendiri atau kepentingan orang yang ia cinta. Urusan orang lain ia sama sekali tidak peduli.
***
Kota Poki adalah sebuah kota di propinsi Shan-si, kota yang cukup besar dan ramai. Tembok kotanya tinggi dan keadaan kota itu cukup subur dan makmur karena selain letaknya di kaki gunung Cin-ling-san, juga di sebelah selatan kota ini mengalir Sungai Wei-ho yang airnya cukup untuk keperluan para petani di daerah itu.
Pintu gerbang-pintu gerbang kota selalu terbuka lebar dan orang-orang hilir mudik keluar masuk pintu gerbang, berikut-kereta-kereta yang membawa banyak dagangan. Selain ini, juga sebagai kota pelabuhan sungai, banyak barang mengalir masuk atau keluar melalui jalan sungai, menambah kesibukan para pedagang di dalam kota.
Lu Sian tidak mau memasuki kota itu dengan kudanya. Selain kuda yang ia tunggangi adalah kuda milik Pang-ciangkun yang mungkin akan dikenal orang, juga kedatangannya ke kota itu adalah untuk menyelidiki Kam Si Ek. Ia menitipkan kudanya pada seorang petani yang tinggal di dusun sebelah selatan kota, kemudian ia melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Sebuah perahu menyeberangkannya ke kota Poki dan ia memasuki kota yang ramai itu sambil berjalan perlahan.
Akan tetapi, ke manapun juga Liu Lu Sian pergi dan dimanapun ia berada, selalu gadis ini menjadi perhatian orang. Tak lama sesudah ia masuk kota Poki, segera ia menjadi pusat perhatian, terutama laki-laki, yang terpesona oleh kecantikannya yang luar biasa. Lu Sian tidak pedulikan mereka ini sungguhpun keadaan macam ini selau mendatangkan rasa bangga di dalam hatinya. Yakin akan kecantikannya yang membikin semua orang laki-laki menoleh untuk mengaguminya, Lu Sian berjalan dengan langkah cepat, lalu masuk ke dalam rumah penginapan yang cukup besar, memesan kamar. Setelah berada di rumah penginapan, bebaslah ia daripada perhatian orang di jalan, sungguhpun beberapa orang tamu penginapan dan para pelayan tetap saja menatapnya dengan pandang mata serigala jantan kelaparan!
Karena tidak ingin menarik perhatian banyak orang, Lu Sian memanggil seorang pelayan mendekati kamarnya, seorang pelayan yang sudah setengah tua dan berwajah jujur.
"Paman pelayan, tahukah kau dimana letaknya Klenteng tee-kong bio di kota ini? Aku hendak pergi bersembahyang kesana."
Muka yang membayangkan kejujuran itu berkerut-kerut, lalu Si Pelayan menengok ke kanan kiri lebih dulu, baru menjawab dengan suara perlahan. "Nona, kalau hendak bersembahyang, banyak kelenteng-kelenteng ternama di kota ini. Mengapa harus ke sana? Lebih baik ke Kwan-im-bio di sebelah timur jembatan besar, atau ke Hai-ong-bio di dekat sungai atau....."
"Tidak, aku hanya ingin bersembahyang ke Tee-kong-bio." Jawab Lu Sian yang sudah menduga bahwa agaknya Tee-kong-bio merupakan tempat yang tidak menyenangkan hati pelayan itu, maka cepat disambungnya. Aku hendak bersembahyang membayar kaul, maka harus ke Tee-kong-bio. Dimanakah letaknya kelenteng itu?" Memang tentu saja tidak sukar mencari kelenteng di dalam kota sebesar Poki saja, akan tetapi daripada bertanya-tanya orang di jalan dan menarik perhatian, lebih baik kalau sudah mengetahui tempatnya sehingga dapat langsung ke sana.
"Memang, Siocia (Nona), bukan sekali-kali saya hendak mencampuri urusan nona. Akan tetapi sungguh-sungguh keadaan kelenteng itu tidak cocok untuk didatangi seorang tamu seperti nona. Kelenteng itu selalu sunyi, tak pernah ada pengunjungnya, tidak terawat sehingga hampir merupakan sebuah kelenteng kuno yang sudah tak terpakai lagi. Yang datang ke situ hanyalah orang-orang gelandangan, hwesio-hwesio yang suka minta derma paksa dan... ah, sudahlah, saya sudah bercerita cukup. Kelenteng itu letaknya di sebelah utara kota, dekat pintu gerbang, tempat yang sunyi. Sebaiknya Nona jangan pergi ke sana..."
"Cukup, aku dapat menjaga diri. Terima kasih atas keteranganmu." Kata Lu Sian yang merasa tak sabar lagi mendengar ucapan Si Pelayan. Pelayan itu melihat sinar mata marah dari Lu Sian, membalikkan tubuhnya dan pergi sambil mengangkat pundak.
Karena amat menguatirkan nasib Kam Si Ek, siang itu juga Lu Sian ke luar dari rumah penginapan. Ia hanya membawa pedangnya yang disarungkan di punggung. Kembali banyak pasang mata laki-laki menoleh ke arahnya, bahkan banyak yang berhenti berjalan dan mengikutinya dengan pandang mata kagum. Akan tetapi Lu Sian tidak menghiraukan mereka, mulutnya memperlihatkan senyum mengejek. (Bersambung)
(dwi)