Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 9 Bagian 9
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 9 Bagian 9
"Ahhh...!" Kam Si Ek benar-benar terkejut mendengar ini. Ia sudah amat terkenal sebagai pemukul orang-orang Khitan sehingga di kalangan musuh besar ini, yaitu para prajurit Khitan, menjulukinya Im-kan-ciangkun (Panglima Akhirat)! Ia tahu bahwa orang-orang Khitan paling membencinya, maka tahulah Kam Si Ek bahwa kali ini ia tentu akan tewas. Akan tetapi ia sama sekali tidak sudi memperlihatkan rasa takut, maka ia lalu tertawa mengejek.
"Hemm, sejak dahulu aku tahu bahwa orang-orang Khitan amat licik dan pengecut..."
Ban-pi Lo-cia berseru keras dan di luar kuil, Lu Sian sudah siap dengan jarum-jarum dan pedangnya. Kalau kakek itu turun tangan membunuh Kam Si Ek, ia akan mendahuluinya dengan serangan jarum beracun disusul serbuannya ke dalam untuk mengadu nyawa!
"Apa kaubilang? Bangsa Khitan adalah bangsa yang paling besar, bangsa paling gagah perkasa. Bagaimana kau berani menyebut licik dan pengecut?"
"Mereka kalah perang, entah sudah berapa kali mereka terpukul muncur dalam perang melawan pasukanku. Mengapa sekarang mereka menggunakan akal keji untuk menculikku? Bukankah ini cara yang licik sekali? Kalau memang gagah, mengapa tidak mengajukan panglima perang yang ulung untuk melawanku mengatur barisan?"
"Ha-ha-ha! Kalau kau katakan itu licik, kau gila! Justeru karena kami membutuhkan kepandaianmu mengatur maka kami sengaja menculikmu. He, Kam Si Ek. Tinggal kaupilih sekarang. Kau sudah menumpuk hutang terhadap kami bangsa Khitan. Untuk membalas dendam, membunuhmu sama mudahnya dengan membunuh seekor cacing. Akan tetapi rajaku tidak menghendaki demikian. Kau ikut denganku ke Khitan dan bekerja untuk rajakku. Kelak kau tentu akan menjadi panglima tertinggi dan hidup penuh kemuliaan."
"Tidak sudi! Lebih baik mati ditanganmu!" Tiba-tiba Kam Si Ek melompat bangun dan goloknya menyambar dalam serangannya kepada Ban-pi Lo-cia. Kiranya, tadi ketika ia ditawan oleh pasukan Kerajaan Liang, ia diperlakukan baik dan golok emasnya pun tidak dirampas, akan tetapi karena ia tidak dapat melawan puluhan orang, pula karena ia belum mendengar apa kehendak Raja Liang memanggilnya secara diculik, Kam Si Ek tidak melawan. Sekarang menghadapi seorang Khitan yang hanya memberi dua jalan, yaitu mati dibunuh kakek ini atau takluk dan membantu Khitan, tentu saja ia lebih senang memilih mati daripada harus menjadi penghianat bangsa.
Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak. Entah apa yang terjadi di dalam kuil itu Lu Sian tidak dapat melihat jelas. Selagi ia hendak meloncat masuk membantu Kam Si Ek , tiba-tiba ia mendengar desir angin dari dalam. Cepat ia mengelak dan kiranya golok emas di tangan Kam Si Ek tadi sudah terlepas dari pegangan pemiliknya dan menyambar ke luar mengarah Lu Sian! Gadis itu terkejut dan cepat meloncat keluar kuil, maklum bahwa kakek itu agaknya sejak tadi sudah tahu bahwa ada orang mengintai.
Benar saja, bayangan kakek gundul itu berkelebat dan tahu-tahu sudah berhadapan dengan Lu Sian. Kakek itu menyeringai, matanya terbelalak lebar, dan sepasang biji matanya yang bundar itu melotot. Memang ia sudah tahu bahwa ada orang mengintai, akan tetapi karena ia memang "besar kepala" dan memandang rendah semua orang, ia tidak peduli. Baru setelah Kam Si Ek menyerangnya, ia "menangkap" golok emas itu dengan ujung lengan baju dan menggentak golok emas itu terlepas dari tangan Kam Si Ek lalu melontarkannya langsung menyerang Si Pengintai. Sama sekali tidak disangkanya bahwa pengintainya adalah seorang gadis yang begini cantik jelita sehingga membuat matanya melotot dan mulutnya mengiler. Biarpun sudah banyak sekali kakek gundul ini mempermainkan wanita cantik, namun harus ia akui selama itu belum pernah ia berjumpa dengan seorang gadis yang seperti ini jelitanya. Tentu saja hatinya girang bukan main.
"Ha-ha-ha, cantik jelita! Aduh, bidadari manis. Hampir saja aku kesalahan tangan membunuhmu. Untung..." Ia melangkah maju jari tangannya yang besar-besar dan berbulu itu bergerak hendak mengelus pipi Lu Sian. Gadis ini mencelat mundur dan wajahnya pucat ketika ia memikirkan Kam Si Ek.
"Kau apakan dia...? Kau... kau bunuh dia...? Ia berseru dan kakinya, bergerak hendak meloncat ke dalam kuil. "Kalau kau membunuh Kam Si Ek, aku akan mengadu nyawa denganmu, Ban-pi Lo-cia!"
"Eh-eh, juita... kau tahu namaku...?" Ban-pi Lo-cia merasa heran. Akan tetapi Lu Sian tidak memperdulikannya dan melangkah masuk ke dalam kuil. Akan tetapi cepat ia menghindar karena hampir ia bertumbukan dengan Kam Si Ek yang berlari keluar dari dalam untuk mengejar lawannya. Ia terheran-heran melihat Lu Sian yang segera dikenalnya. Ia mendengar ucapan gadis itu tadi, maka alangkah herannya karena sama sekali ia tidak menyangka bahwa yang pertama datang untuk menolongnya adalah... puteri Ketua Beng-kauw yang pernah membuat ia tergila-gila begitu berjumpa!
Juga Lu Sian tercengang dan girang sekali. "Lekas..." katanya. "Lekas kau ambil golokmu disana. Kita keroyok, dia lihai sekali!" (Bersambung)
"Ahhh...!" Kam Si Ek benar-benar terkejut mendengar ini. Ia sudah amat terkenal sebagai pemukul orang-orang Khitan sehingga di kalangan musuh besar ini, yaitu para prajurit Khitan, menjulukinya Im-kan-ciangkun (Panglima Akhirat)! Ia tahu bahwa orang-orang Khitan paling membencinya, maka tahulah Kam Si Ek bahwa kali ini ia tentu akan tewas. Akan tetapi ia sama sekali tidak sudi memperlihatkan rasa takut, maka ia lalu tertawa mengejek.
"Hemm, sejak dahulu aku tahu bahwa orang-orang Khitan amat licik dan pengecut..."
Ban-pi Lo-cia berseru keras dan di luar kuil, Lu Sian sudah siap dengan jarum-jarum dan pedangnya. Kalau kakek itu turun tangan membunuh Kam Si Ek, ia akan mendahuluinya dengan serangan jarum beracun disusul serbuannya ke dalam untuk mengadu nyawa!
"Apa kaubilang? Bangsa Khitan adalah bangsa yang paling besar, bangsa paling gagah perkasa. Bagaimana kau berani menyebut licik dan pengecut?"
"Mereka kalah perang, entah sudah berapa kali mereka terpukul muncur dalam perang melawan pasukanku. Mengapa sekarang mereka menggunakan akal keji untuk menculikku? Bukankah ini cara yang licik sekali? Kalau memang gagah, mengapa tidak mengajukan panglima perang yang ulung untuk melawanku mengatur barisan?"
"Ha-ha-ha! Kalau kau katakan itu licik, kau gila! Justeru karena kami membutuhkan kepandaianmu mengatur maka kami sengaja menculikmu. He, Kam Si Ek. Tinggal kaupilih sekarang. Kau sudah menumpuk hutang terhadap kami bangsa Khitan. Untuk membalas dendam, membunuhmu sama mudahnya dengan membunuh seekor cacing. Akan tetapi rajaku tidak menghendaki demikian. Kau ikut denganku ke Khitan dan bekerja untuk rajakku. Kelak kau tentu akan menjadi panglima tertinggi dan hidup penuh kemuliaan."
"Tidak sudi! Lebih baik mati ditanganmu!" Tiba-tiba Kam Si Ek melompat bangun dan goloknya menyambar dalam serangannya kepada Ban-pi Lo-cia. Kiranya, tadi ketika ia ditawan oleh pasukan Kerajaan Liang, ia diperlakukan baik dan golok emasnya pun tidak dirampas, akan tetapi karena ia tidak dapat melawan puluhan orang, pula karena ia belum mendengar apa kehendak Raja Liang memanggilnya secara diculik, Kam Si Ek tidak melawan. Sekarang menghadapi seorang Khitan yang hanya memberi dua jalan, yaitu mati dibunuh kakek ini atau takluk dan membantu Khitan, tentu saja ia lebih senang memilih mati daripada harus menjadi penghianat bangsa.
Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak. Entah apa yang terjadi di dalam kuil itu Lu Sian tidak dapat melihat jelas. Selagi ia hendak meloncat masuk membantu Kam Si Ek , tiba-tiba ia mendengar desir angin dari dalam. Cepat ia mengelak dan kiranya golok emas di tangan Kam Si Ek tadi sudah terlepas dari pegangan pemiliknya dan menyambar ke luar mengarah Lu Sian! Gadis itu terkejut dan cepat meloncat keluar kuil, maklum bahwa kakek itu agaknya sejak tadi sudah tahu bahwa ada orang mengintai.
Benar saja, bayangan kakek gundul itu berkelebat dan tahu-tahu sudah berhadapan dengan Lu Sian. Kakek itu menyeringai, matanya terbelalak lebar, dan sepasang biji matanya yang bundar itu melotot. Memang ia sudah tahu bahwa ada orang mengintai, akan tetapi karena ia memang "besar kepala" dan memandang rendah semua orang, ia tidak peduli. Baru setelah Kam Si Ek menyerangnya, ia "menangkap" golok emas itu dengan ujung lengan baju dan menggentak golok emas itu terlepas dari tangan Kam Si Ek lalu melontarkannya langsung menyerang Si Pengintai. Sama sekali tidak disangkanya bahwa pengintainya adalah seorang gadis yang begini cantik jelita sehingga membuat matanya melotot dan mulutnya mengiler. Biarpun sudah banyak sekali kakek gundul ini mempermainkan wanita cantik, namun harus ia akui selama itu belum pernah ia berjumpa dengan seorang gadis yang seperti ini jelitanya. Tentu saja hatinya girang bukan main.
"Ha-ha-ha, cantik jelita! Aduh, bidadari manis. Hampir saja aku kesalahan tangan membunuhmu. Untung..." Ia melangkah maju jari tangannya yang besar-besar dan berbulu itu bergerak hendak mengelus pipi Lu Sian. Gadis ini mencelat mundur dan wajahnya pucat ketika ia memikirkan Kam Si Ek.
"Kau apakan dia...? Kau... kau bunuh dia...? Ia berseru dan kakinya, bergerak hendak meloncat ke dalam kuil. "Kalau kau membunuh Kam Si Ek, aku akan mengadu nyawa denganmu, Ban-pi Lo-cia!"
"Eh-eh, juita... kau tahu namaku...?" Ban-pi Lo-cia merasa heran. Akan tetapi Lu Sian tidak memperdulikannya dan melangkah masuk ke dalam kuil. Akan tetapi cepat ia menghindar karena hampir ia bertumbukan dengan Kam Si Ek yang berlari keluar dari dalam untuk mengejar lawannya. Ia terheran-heran melihat Lu Sian yang segera dikenalnya. Ia mendengar ucapan gadis itu tadi, maka alangkah herannya karena sama sekali ia tidak menyangka bahwa yang pertama datang untuk menolongnya adalah... puteri Ketua Beng-kauw yang pernah membuat ia tergila-gila begitu berjumpa!
Juga Lu Sian tercengang dan girang sekali. "Lekas..." katanya. "Lekas kau ambil golokmu disana. Kita keroyok, dia lihai sekali!" (Bersambung)
(dwi)