Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 7 Bagian 10

Rabu, 19 Juli 2017 - 06:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo, Suling...
Suling Emas, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Suling Emas

Memang di dunia, tiada yang sempurna kecuali Tuhan. Apalagi manusia, mahluk yang banyak sekali melakukan penyelewengan-penyelewengan, mahluk yang selemah-lemahnya, setiap orang manusia tentu ada saja kelemahannya di samping kebaikan-kebaikannya.

Pemuda ini dahulunya tidak suka minum arak, mencium arak pun menimbulkan rasa muak. Akan tetapi setelah ia terguncang batinnya oleh Lu Sian di dalam pesta Beng-kauw, ia menjadi pemabok, minum tanpa batas lagi, tenggelam ke dalam nafsunya, seperti orang mabok, lupa daratan lupa segalanya. Lupa bahwa ia barkasih-kasihan dengan seorang nenek? Dalam anggapannya, ia memperisteri seorang wanita yang muda dan cantik jelita! Inilah kelemahan Kwee Seng, pendekar muda yang sakti itu. Perasaannya terlalu halus, terlalu lemah, mudah terpengaruh.

Belasan hari lamanya dalam gelap gulita itu ia berkasih-kasihan dengan nenek Neraka Bumi yang dianggapnya seorang gadis jelita setengah Ang-siauw-hwa setengah Liu Lu Sian! Tak pernah nenek itu membolehkan dia menyalakan pelita. Tak pernah Kwee Seng meninggalkan kamar kitab, dilayani nenek itu yang bergerak cepat menyediakan segala kebutuhan makan mereka, semua dilakukan di dalam gelap. Akan tetapi Kwee Seng merasa bahagia, tak pernah teringat pula olehnya tentang diri nenek tua renta yang berkeriputan kedua pipinya.

Dua pekan lewat dengan cepatnya bagi dua orang mahluk yang berkasih-kasihan itu. Malam itu Kwee Seng tidur dengan nyenyaknya, tidur dengan senyum menghias bibirnya, dengan bayangan kepuasan batin menyelimuti wajahnya. Ia mimpi tentang rumah gedung seperti istana, dimana ia tidur dalam sebuah kamar yang terhias indah, di atas pembaringan dari kayu cendana berukir, di samping isterinya, seorang puteri yang cantik jelita!

Hawa udara amat dingin, menyusup ke tulang sum-sum, membuatnya setengah sadar. Ketika membuka matanya sedikit, ia melihat keadaan remang-remang, teringat ia akan isteri dalam mimpi, tangannya meraba-raba dan menyentuh rambut halus di dekatnya, ia membalik dan memeluk isterinya puteri cantik jelita, menarik napas panjang penuh kebahagiaan.

Tiba-tiba Kwee Seng teringat dan kaget. Ia tidak mimpi! Ia berada dalam kamar kitab bersama isterinya. Dan mengapa keadaan tidak gelap lagi? Ada cahaya memasuki kamar. Ah, musim gelap dan banjir sudah berhenti! Ia dapat melihat tangannya, dapat melihat rambut hitam halus yang melibat-libat tangan dan lehernya, dapat melihat kepala yang ia dekap di dadanya. Kegelapan yang mengerikan telah pergi!

Ia melompat bangun, bukan main gembiranya. Saking gembiranya, ia hendak memeluk isterinya, hendak memberi tahu bahwa kegelapan sudah pergi. Ia membungkuk dan... tiba-tiba ia terbelalak dan tubuhnya mencelat mundur seakan-akan dipagut ular berbisa. Yang tidur melingkar karena hawa dingin, tidur pulas dengan napas panjang, rambut hitam gemuk terurai kacau, pakaian tambalan, ternyata sama sekali bukan gadis jelita seperti yang ia anggap selama belasan hari ini, melainkan seorang nenek tua bermuka penuh keriput!

Teringatlah Kwee Seng akan segala hal yang selama ini tertutup oleh gelora nafsunya sendiri. Sadarlah ia bahwa selama belasan hari ini ia berkasih-kasihan dengan seorang nenek-nenek! Bukan lagi mengorbankan diri untuk menyenangkan hati nenek-nenek itu, bukan lagi mengorbankan diri untuk membalas budi, sama sekali bukan, karena selama belasan hari ini dialah yang memperlihatkan kasih sayang yang mesra! Dialah yang seakan-akan tergila-gila, dan ternyata ia telah tergila-gila kepada seorang nenek-nenek!

Mendadak Kwee Seng tertawa dan kedua tangannya menampari mukanya sendiri, "Plak-plak-plak-plak!" Begitu terus menerus berkali-kali sampai kedua pipinya menjadi merah biru dan bengkak-bengkak, kemudian ia lari keluar dari kamar itu sambil masih terus tertawa-tawa.

Cepat sekali ia lari seperti dikejar setan. Memang ia dikejar setan. Setan bayangan pikirannya sendiri. Kesadaran yang telah membuka matanya kini berubah menjadi setan yang mengejar-ngejarnya, yang mengejeknya, sehingga ia malu! Malu dan harus ia pergi dari situ cepat-cepat.

Begitu cepat larinya sehingga ia tidak mendengar lagi seruan jauh di belakangnya, seruan suara halus memanggil-manggilnya. Begitu tiba di tepi sungai di dalam terowongan, yaitu Arus Maut yang sudah mulai menurun airnya dan tidak begitu ganas lagi, tanpa berpikir panjang Kwee Seng yang lari ketakutan terhadap kejaran setan itu segera meloncat ke tengah.

"Byuuur!" Air muncrat tinggi. Akan tetapi biarpun ia sudah terjun ke dalam air dan menyelam di dalam air dingin, tetap saja bayangan itu mengejar-ngejarnya dan mengejeknya, Kwee Seng meramkan mata, menggerakkan kaki tangannya melawan arus air sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya. (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0859 seconds (0.1#10.140)