Ruang Cinta Yang Tersisa, Seni dan Kita di JDC
Rabu, 06 November 2024 - 06:49 WIB
Penulis sekarang berupaya mendampingi dan mencoba mengulas dua seniman di usia yang tak muda, dan memilih membincangkan oeuvre (inti berkarya) mereka yang tentunya lebih majemuk serta bisa jadi membawa “cinta” lebih mendalam?
Dalam Bincang-Bincang bersama penulis, mereka tak harus mengetengahkan presentasi karya-karya yang sedang dipamerkan, namun memberi pencerahan sebuah nilai-nilai tentang seni dan energi terdalam konsepsi estetiknya.
Seniman pertama, Yeni Fatmawati, seorang lawyer, yang suntuk berkecimpung pula sebagai impresariat pertunjukan Teater, yang kemudian memilih menekuni juga menjadi perupa total; membawa kita pandangan abstrak ekspresionis miliknya yang sangat personal. Ia memintal pemikiran bahwa secara visual, lukisan-lukisannya adalah abstraksi-abstraksi yang terhubung dengan pengalaman intim dan kontemplatif dalam hidupnya.
Sebuah momentum, saat krisis hidup menempa dirinya; menemukan konsep “Amor Fati”, yakni frasa latin yang berarti memaknai "cinta takdir" atau "cinta akan takdir seseorang", sebuah sikap memeluk segala hal yang terjadi dalam hidupnya, termasuk penderitaan dan kehilangan, sebagai sesuatu yang niscaya.
Yeni menghubungkan pengalaman transenden menjelang wafat filsuf abad ke-19, Friedrich Nietzsche dalam bukunya Ecce Homo. Yang ia terinspirasi pula dengan sejumlah pelukis dunia yang juga punya pengalaman spiritual pada masa lalunya. Seperti contoh, Jackson Pollock banyak dipengaruhi oleh shamanisme orang-orang suku Indian Aseli Amerika. Saat sama, Yeni menemukan kekuatan dalam spiritualitas Islam dalam inti konsepsi ayat-ayat Al-Quran.
Seniman kedua, Syakieb Sungkar seorang perupa, kolektor dan sekaligus pengamat seni, mengingatkan karya terakhirnya yang jenial tentang Tribute to Junk Food, di Jakarta Pusat beberapa waktu lalu. Ia saat itu melantunkan sebuah teater visual yang tragik namun jenaka, terkesan bermain-main, namun serius membedah tentang hasrat manusia tak terbatas menyantap lezatnya makanan junk food.
Karyanya yang lalu, ia ingin menggedor kembali makna tentang tragedi di dunia modern dan sihir kolektif gaya hidup. Menjejak ulang ruang-ruang urban yang serba cepat serta peliknya kerangkeng hasrat manusia mengonsumsi benda-benda sebagai sebuah keniscayaan.
Syakieb menyukai bermain-main dalam kode-kode, menyesatkan konsentrasi imajiner tak hanya pada sebuah obyek, namun juga memberi narasi unik, seperti yang dipressentasikan di pameran Art Love U ini. Dalam helatan festival ini ia kembali menekuri gaya seni-pop yang kental bernuansa animamix (animasi dan komik), ia merangkum semangat muda trend low-brow art, seni yang dekat dalam dunia keseharian dan benda-benda gaya hidup lagi.
Perupa sekaligus kritikus ini, menggambarkan kehidupan surealis seorang ayah yang berkepala kucing, saat sama mengetengahkan “ledakan gaya hidup’; tentang definisi kucing peliharaan dan eksistensinya yang imut dan lucu yang biasa kita temui di media-media sosial. Seolah hewan kucing sebuah “berhala baru”; sebagai bagian dari anggota keluarga, dari diri mereka (orang-orang kota), yang dinanti dan memperoleh perwujudan cinta yang perlahan tiba. Yang mungkin selama ini telah hilang dalam kegalauan di sesaknya kota seperti Jakarta? Lukisan “The Cat Family: Report to Grandma”, merupakan hasil imajinasi pelukisnya sekaligus refleksi psikologis kita di ruang urban, Jakarta dan cinta yang melarung disana.
Dalam Bincang-Bincang bersama penulis, mereka tak harus mengetengahkan presentasi karya-karya yang sedang dipamerkan, namun memberi pencerahan sebuah nilai-nilai tentang seni dan energi terdalam konsepsi estetiknya.
Seniman pertama, Yeni Fatmawati, seorang lawyer, yang suntuk berkecimpung pula sebagai impresariat pertunjukan Teater, yang kemudian memilih menekuni juga menjadi perupa total; membawa kita pandangan abstrak ekspresionis miliknya yang sangat personal. Ia memintal pemikiran bahwa secara visual, lukisan-lukisannya adalah abstraksi-abstraksi yang terhubung dengan pengalaman intim dan kontemplatif dalam hidupnya.
Sebuah momentum, saat krisis hidup menempa dirinya; menemukan konsep “Amor Fati”, yakni frasa latin yang berarti memaknai "cinta takdir" atau "cinta akan takdir seseorang", sebuah sikap memeluk segala hal yang terjadi dalam hidupnya, termasuk penderitaan dan kehilangan, sebagai sesuatu yang niscaya.
Yeni menghubungkan pengalaman transenden menjelang wafat filsuf abad ke-19, Friedrich Nietzsche dalam bukunya Ecce Homo. Yang ia terinspirasi pula dengan sejumlah pelukis dunia yang juga punya pengalaman spiritual pada masa lalunya. Seperti contoh, Jackson Pollock banyak dipengaruhi oleh shamanisme orang-orang suku Indian Aseli Amerika. Saat sama, Yeni menemukan kekuatan dalam spiritualitas Islam dalam inti konsepsi ayat-ayat Al-Quran.
Seniman kedua, Syakieb Sungkar seorang perupa, kolektor dan sekaligus pengamat seni, mengingatkan karya terakhirnya yang jenial tentang Tribute to Junk Food, di Jakarta Pusat beberapa waktu lalu. Ia saat itu melantunkan sebuah teater visual yang tragik namun jenaka, terkesan bermain-main, namun serius membedah tentang hasrat manusia tak terbatas menyantap lezatnya makanan junk food.
Karyanya yang lalu, ia ingin menggedor kembali makna tentang tragedi di dunia modern dan sihir kolektif gaya hidup. Menjejak ulang ruang-ruang urban yang serba cepat serta peliknya kerangkeng hasrat manusia mengonsumsi benda-benda sebagai sebuah keniscayaan.
Syakieb menyukai bermain-main dalam kode-kode, menyesatkan konsentrasi imajiner tak hanya pada sebuah obyek, namun juga memberi narasi unik, seperti yang dipressentasikan di pameran Art Love U ini. Dalam helatan festival ini ia kembali menekuri gaya seni-pop yang kental bernuansa animamix (animasi dan komik), ia merangkum semangat muda trend low-brow art, seni yang dekat dalam dunia keseharian dan benda-benda gaya hidup lagi.
Perupa sekaligus kritikus ini, menggambarkan kehidupan surealis seorang ayah yang berkepala kucing, saat sama mengetengahkan “ledakan gaya hidup’; tentang definisi kucing peliharaan dan eksistensinya yang imut dan lucu yang biasa kita temui di media-media sosial. Seolah hewan kucing sebuah “berhala baru”; sebagai bagian dari anggota keluarga, dari diri mereka (orang-orang kota), yang dinanti dan memperoleh perwujudan cinta yang perlahan tiba. Yang mungkin selama ini telah hilang dalam kegalauan di sesaknya kota seperti Jakarta? Lukisan “The Cat Family: Report to Grandma”, merupakan hasil imajinasi pelukisnya sekaligus refleksi psikologis kita di ruang urban, Jakarta dan cinta yang melarung disana.
tulis komentar anda