Susut dan Limbah Pangan Turut Pengaruhi Kualitas Gizi Masyarakat
Selasa, 29 September 2020 - 03:13 WIB
JAKARTA - Kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap susut dan limbah pangan diharapkan semakin meningkat, seiring hadirnya Hari Kesadaran Internasional tentang Susut dan Limbah Pangan (International Day Awareness on Food Loss and Waste) pada 29 September 2020. Susut dan limbah pangan merupakan salah satu masalah besar yang dapat memengaruhi kualitas gizi masyarakat.
(Baca juga: Pola Makan Sehat Bisa Melindungi Diri dari Covid-19 )
Susut dan limbah pangan makin tinggi di tengah pandemi Covid-19 sekarang ini. Pasalnya, pandemi membuat perubahan signifikan bagi masyarakat Indonesia hingga menyebabkan kesulitan distribusi bahan pangan dan sepinya penjualan bahan pangan. Berdasarkan komoditas, susut dan limbah pangan dari diproduksi hingga dikonsumsi diperkirakan 40% untuk buah dan sayur, 30% untuk ikan, 30% untuk sereal, dan 20% untuk biji-bijian, daging, dan produk susu.
Pemahaman dan kesadaran tentang susut hasil dan limbah pangan di Indonesia masih rendah meskipun Food Sustainability Index 2017 menetapkan Indonesia sebagai penghasil sampah makanan terbesar kedua di dunia dengan susut dan limbah makanan mencapai 300 kg/orang/tahun. Hal itu membuat GAIN (Global Alliance for Improved Nutrition) Indonesia dan Jejaring Pasca Panen untuk Gizi Indonesia (JP2GI) terus berupaya memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang kepedulian terhadap susut dan limbah pangan menuju ketahanan pangan dan gizi di tingkat nasional hingga pelosok nusantara .
County Director GAIN Indonesia, Ravi Menon dalam keterangan tertulisnya, Senin (28/9), menyebutkan bahwa pihaknya bersama JP2GI terus berupaya memberikan edukasi kepada masyarakat untuk lebih peduli terhadap makanan. Melalui Hari Kesadaran Internasional tentang Susut dan Limbah Pangan, mereka berupaya mempromosikan riset dan inovasi agar tidak ada makanan yang terbuang.
"Menyedihkan kalau makanan sudah susah-susah kita produksi harus rusak dan terbuang sebelum sampai ke konsumen karena kurangnya teknologi, infrastruktur, dan inovasi. Kami percaya meningkatnya kesadaran untuk mengurangi kerusakan dan sampah makanan akan meningkatkan ketahanan pangan dan gizi, serta kesejahteraan petani nelayan dan masyarakat," ujar Ravi.
Lebih lanjut, Ravi mengatakan, berbagi pengetahuan dan pembelajaran tentang susut hasil pascapanen serta upaya pengurangannya dipandang efektif untuk perbaikan gizi masyarakat dan menata sistem pangan agar lebih baik, khususnya di bidang perikanan.
Pada kesempatan yang sama, penasihat JP2GI, Hasanudin Yasni mengatakan, GAIN bersama JP2GI terus mendorong praktik baik UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) untuk mengurangi susut hasil dan limbah pangan dengan cara melakukan berbagai langkah efisiensi, mengubah pola pemasaran ke sistem digital, melakukan inovasi produk, dan menambah fasilitas pendingin khusus untuk industri perikanan.
Menurut Hasanuddin, UMKM saat ini memerlukan bantuan kendaraan berpendingin di dalam distribusi produknya. Pemesanan online di masa pandemi menjadi marak, tetapi daya beli sangat terbatas.
(Baca juga: Rapid Test, Swab, atau TCM Covid-19, Ini Perbedaannya )
"Pemesanan online yang dilakukan supermarket besar belum banyak dan dibatasi dengan jarak dan waktu tempuh untuk distribusi frozen food tersebut. Layaknya seperti taxi online yang mendapat pembiayaan mudah, motor pendingin (reefer mini vehicle) juga seharusnya menjadi prioritas ke depan," ucap Hasanuddin yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Rantai Pendingin Indonesia (ARPI).
(Baca juga: Pola Makan Sehat Bisa Melindungi Diri dari Covid-19 )
Susut dan limbah pangan makin tinggi di tengah pandemi Covid-19 sekarang ini. Pasalnya, pandemi membuat perubahan signifikan bagi masyarakat Indonesia hingga menyebabkan kesulitan distribusi bahan pangan dan sepinya penjualan bahan pangan. Berdasarkan komoditas, susut dan limbah pangan dari diproduksi hingga dikonsumsi diperkirakan 40% untuk buah dan sayur, 30% untuk ikan, 30% untuk sereal, dan 20% untuk biji-bijian, daging, dan produk susu.
Pemahaman dan kesadaran tentang susut hasil dan limbah pangan di Indonesia masih rendah meskipun Food Sustainability Index 2017 menetapkan Indonesia sebagai penghasil sampah makanan terbesar kedua di dunia dengan susut dan limbah makanan mencapai 300 kg/orang/tahun. Hal itu membuat GAIN (Global Alliance for Improved Nutrition) Indonesia dan Jejaring Pasca Panen untuk Gizi Indonesia (JP2GI) terus berupaya memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang kepedulian terhadap susut dan limbah pangan menuju ketahanan pangan dan gizi di tingkat nasional hingga pelosok nusantara .
County Director GAIN Indonesia, Ravi Menon dalam keterangan tertulisnya, Senin (28/9), menyebutkan bahwa pihaknya bersama JP2GI terus berupaya memberikan edukasi kepada masyarakat untuk lebih peduli terhadap makanan. Melalui Hari Kesadaran Internasional tentang Susut dan Limbah Pangan, mereka berupaya mempromosikan riset dan inovasi agar tidak ada makanan yang terbuang.
"Menyedihkan kalau makanan sudah susah-susah kita produksi harus rusak dan terbuang sebelum sampai ke konsumen karena kurangnya teknologi, infrastruktur, dan inovasi. Kami percaya meningkatnya kesadaran untuk mengurangi kerusakan dan sampah makanan akan meningkatkan ketahanan pangan dan gizi, serta kesejahteraan petani nelayan dan masyarakat," ujar Ravi.
Lebih lanjut, Ravi mengatakan, berbagi pengetahuan dan pembelajaran tentang susut hasil pascapanen serta upaya pengurangannya dipandang efektif untuk perbaikan gizi masyarakat dan menata sistem pangan agar lebih baik, khususnya di bidang perikanan.
Pada kesempatan yang sama, penasihat JP2GI, Hasanudin Yasni mengatakan, GAIN bersama JP2GI terus mendorong praktik baik UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) untuk mengurangi susut hasil dan limbah pangan dengan cara melakukan berbagai langkah efisiensi, mengubah pola pemasaran ke sistem digital, melakukan inovasi produk, dan menambah fasilitas pendingin khusus untuk industri perikanan.
Menurut Hasanuddin, UMKM saat ini memerlukan bantuan kendaraan berpendingin di dalam distribusi produknya. Pemesanan online di masa pandemi menjadi marak, tetapi daya beli sangat terbatas.
(Baca juga: Rapid Test, Swab, atau TCM Covid-19, Ini Perbedaannya )
"Pemesanan online yang dilakukan supermarket besar belum banyak dan dibatasi dengan jarak dan waktu tempuh untuk distribusi frozen food tersebut. Layaknya seperti taxi online yang mendapat pembiayaan mudah, motor pendingin (reefer mini vehicle) juga seharusnya menjadi prioritas ke depan," ucap Hasanuddin yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Rantai Pendingin Indonesia (ARPI).
(nug)
Lihat Juga :
tulis komentar anda