Deindividuasi pada Anak Bisa Dihilangkan
Sabtu, 28 November 2020 - 09:45 WIB
JAKARTA - Sikap deindividuasi tidak hanya sebatas di lingkungan orang dewasa, kecenderungan bersikap mementingkan keinginan sendiri dan kelompoknya pun kerap terjadi di dunia anak. Karena itu, menumbuhkan sikap kepedulian sejak dini menjadi penting untuk membentengi anak dari sikap ini.
Kasus deindividuasi pada anak pernah dialami oleh mahasiswa berkebutuhan khusus di salah satu universitas kawasan Depok, Jawa Barat. Dalam rekaman video yang sempat viral di media sosial diperlihatkan bahwa seorang mahasiswa menarik tas mahasiswa berkebutuhan khusus, sementara mahasiswa lainnya menonton sambil tertawa. (Baca: Antara Cacian dan Doa yang Dikabulkan)
Melihat peristiwa deindividuasi di atas, membuktikan bahwa fenomena ini bisa terjadi di segala usia dan jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA) hingga mahasiswa. Mereka bisa melakukannya demi mendapat keuntungan semata dan seolah tidak peduli dampak yang dirasakan korban. Lantas, apa yang menyebabkan sikap ini dapat terjadi di lingkungan anak?
Pada dasarnya, sikap individuasi terjadi karena kurangnya rasa empati. Bila sedari dini anak sudah ditumbuhkan rasa mengenal lingkungan dan empati dengan baik, maka diharapkan itu bisa mudah diajak bekerja sama dan bisa menjadi teman yang lebih baik untuk lingkungannya.
Psikolog anak dan remaja, Vera Itabiliana Hadiwidjojo menjelaskan, sikap deindividuasi pada anak muncul karena saat ini kurangnya rasa empati dan kecerdasan emosional pada anak. Terlebih lagi dengan adanya media sosial yang sering menampilkan tindak ketidaksopanan di masyarakat. Mereka menganggap dengan menjadikan orang lain sebagai objek yang dianggapnya menarik bisa memberi keuntungan seperti ketenaran untuk diri dan kelompoknya.
"Jadi, untuk mencegah sikap deindividuasi terjadi di lingkungan sekolah harus ada pendidikan saling menghargai. Seperti contoh kecilnya membiasakan anak mengucapkan terimakasih saat dibantu, maaf saat merasa bersalah, dan tolong saat meminta bantuan," kata Vera. (Baca juga: Seleksi Guru PPPK, Guru Wajib Terdaftar di Dapodik)
Faktor kurangnya pemahaman akan rasa menghormati dapat memicu munculnya sikap ini. Vera pun menilai, usia anak-anak yang masih belum mengerti mengenali emosi dan hanya melihat tindakan tersebut untuk kepentingan pribadinya membuat mereka kurang berempati terhadap orang lain. Sehingga, saat menemukan objek yang dianggap menarik, mereka langsung tergerak untuk mempraktikannya.
Faktor tontonan juga turut memengaruhi membentuk karakter anak. Vera menambahkan, terlebih lagi gawai dan dunia anak sudah menjadi hal tidak asing lagi. Tayangan memperlihatkan kesedihan dan penderitaan orang seolah menjadi wajar dan bisa membawa dirinya lebih terkenal.
"Di sini anak menangkap bahwa tayangan tersebut apabila disebarkan di media sosial bisa membuat dirinya dikenal orang dan mendapatkan banyak pengikut. Di sinilah peran orang tua untuk mendampingi anak agar mereka tidak menerima informasi yang salah," tambahnya. (Baca juga: Fungsi Minyak Zaitun untuk Kesehatan)
Kasus deindividuasi pada anak pernah dialami oleh mahasiswa berkebutuhan khusus di salah satu universitas kawasan Depok, Jawa Barat. Dalam rekaman video yang sempat viral di media sosial diperlihatkan bahwa seorang mahasiswa menarik tas mahasiswa berkebutuhan khusus, sementara mahasiswa lainnya menonton sambil tertawa. (Baca: Antara Cacian dan Doa yang Dikabulkan)
Melihat peristiwa deindividuasi di atas, membuktikan bahwa fenomena ini bisa terjadi di segala usia dan jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA) hingga mahasiswa. Mereka bisa melakukannya demi mendapat keuntungan semata dan seolah tidak peduli dampak yang dirasakan korban. Lantas, apa yang menyebabkan sikap ini dapat terjadi di lingkungan anak?
Pada dasarnya, sikap individuasi terjadi karena kurangnya rasa empati. Bila sedari dini anak sudah ditumbuhkan rasa mengenal lingkungan dan empati dengan baik, maka diharapkan itu bisa mudah diajak bekerja sama dan bisa menjadi teman yang lebih baik untuk lingkungannya.
Psikolog anak dan remaja, Vera Itabiliana Hadiwidjojo menjelaskan, sikap deindividuasi pada anak muncul karena saat ini kurangnya rasa empati dan kecerdasan emosional pada anak. Terlebih lagi dengan adanya media sosial yang sering menampilkan tindak ketidaksopanan di masyarakat. Mereka menganggap dengan menjadikan orang lain sebagai objek yang dianggapnya menarik bisa memberi keuntungan seperti ketenaran untuk diri dan kelompoknya.
"Jadi, untuk mencegah sikap deindividuasi terjadi di lingkungan sekolah harus ada pendidikan saling menghargai. Seperti contoh kecilnya membiasakan anak mengucapkan terimakasih saat dibantu, maaf saat merasa bersalah, dan tolong saat meminta bantuan," kata Vera. (Baca juga: Seleksi Guru PPPK, Guru Wajib Terdaftar di Dapodik)
Faktor kurangnya pemahaman akan rasa menghormati dapat memicu munculnya sikap ini. Vera pun menilai, usia anak-anak yang masih belum mengerti mengenali emosi dan hanya melihat tindakan tersebut untuk kepentingan pribadinya membuat mereka kurang berempati terhadap orang lain. Sehingga, saat menemukan objek yang dianggap menarik, mereka langsung tergerak untuk mempraktikannya.
Faktor tontonan juga turut memengaruhi membentuk karakter anak. Vera menambahkan, terlebih lagi gawai dan dunia anak sudah menjadi hal tidak asing lagi. Tayangan memperlihatkan kesedihan dan penderitaan orang seolah menjadi wajar dan bisa membawa dirinya lebih terkenal.
"Di sini anak menangkap bahwa tayangan tersebut apabila disebarkan di media sosial bisa membuat dirinya dikenal orang dan mendapatkan banyak pengikut. Di sinilah peran orang tua untuk mendampingi anak agar mereka tidak menerima informasi yang salah," tambahnya. (Baca juga: Fungsi Minyak Zaitun untuk Kesehatan)
tulis komentar anda