Tanpa Rasakan Gejala, Inilah Penyebab Pasien Kanker Paru Terlambat Berobat
Minggu, 21 Maret 2021 - 17:57 WIB
JAKARTA - Kasus kanker di Indonesia terus meningkat jumlahnya. Salah satunya adalah kanker paru-paru. Dari sekian banyak jenis kanker, ialah kanker paru yang diketahui menduduki peringkat teratas sebagai kanker dengan angka kematian tertinggi baik di dunia maupun Indonesia.
Data GLOBOCAN 2020 memperlihatkan, kematian karena kanker paru di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 18 persen selama dua tahun terakhir menjadi 30.843 orang dengan kasus baru mencapai 34.783 kasus. Ini artinya, saat ini di Indonesia ada empat orang meninggal akibat kanker paru setiap jam dan berpotensi untuk meningkat setiap harinya jika tidak dijadikan prioritas nasional.
Tingginya angka kematian ini sedikit banyak disebabkan karena penanganan yang terlambat. Faktanya di lapangan 85 hingga 90 persen pasien kasus baru itu datang ke rumah sakit sudah dalam kondisi stadium lanjut.
Kondisi telah terlambat melakukan pemeriksaan dan pengobatan ini, seperti dijelaskan ahli spesialis paru, Dr. Sita Laksmi Andarini, PhD, Sp.P(K) faktor pertamanya adalah karena memang biasanya pengidap tak merasakan rasa nyeri di dada ataupun batuk.
“Pertama, karena di dalam paru itu tidak ada sarafan. Jadi pasien enggak merasa nyeri dan batuk. Rasa itu ada kalau sudah kena selaput yang meliputi paru, jadi ya memang kebanyakan enggak ada gejala,” kata Dr. Sita, dalam konferensi pers Tantangan & Rekomendasi Menuju Penanganan Kanker Paru Yang Lebih Baik-IPKP, Sabtu (20/3/2021).
Selanjutnya, tidak adanya kebiasaan untuk melakukan proteksi dini seperti pemeriksaan CT-sca dan foto thorax. Berbeda dengan kultur contohnya di kanker payudara, dengan gerakan Sadari (pemeriksaan payudara sendiri).
“Contohnya kayak kanker payudara itu ada Sadari, diraba ada benjolan langsung deteksi jadi orang bisa deteksi sendiri. Kanker paru enggak demikian, enggak ada deteksi dini kayak CT-scan atau foto thorax yang rutin dilakukan. CT-scan dua tahun sekali, seperti kayak di negara-negara maju. Deteksi dini ini memang suka terlambat,” imbuhnya.
Melihat situasi ini, Dr. Sita menyebutkan maka dari itu mengimbau untuk orang-orang yang masuk di kategori populasi tinggi harus rutin melakukan deteksi dini. Begitu juga dengan orang non-populasi tinggi tapi punya gejala pernapasan yang tak kunjung sembuh, wajib untuk periksa ke dokter.
“Jadi sekarang kita himbau populasi tinggi yakni pria, usia di atas 40 tahun, dan merokok itu harus rutin deteksi dini. Sama dengan orang yang bukan di populasi atas, tapi dengan gejala pernapasan yang enggak kunjung sembuh dengan pengobatan, sudah selama 2 pekan itu wajib ke dokter untuk diperkisa lebih lanjut,” pungkas Dr. Sita.
Data GLOBOCAN 2020 memperlihatkan, kematian karena kanker paru di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 18 persen selama dua tahun terakhir menjadi 30.843 orang dengan kasus baru mencapai 34.783 kasus. Ini artinya, saat ini di Indonesia ada empat orang meninggal akibat kanker paru setiap jam dan berpotensi untuk meningkat setiap harinya jika tidak dijadikan prioritas nasional.
Tingginya angka kematian ini sedikit banyak disebabkan karena penanganan yang terlambat. Faktanya di lapangan 85 hingga 90 persen pasien kasus baru itu datang ke rumah sakit sudah dalam kondisi stadium lanjut.
Kondisi telah terlambat melakukan pemeriksaan dan pengobatan ini, seperti dijelaskan ahli spesialis paru, Dr. Sita Laksmi Andarini, PhD, Sp.P(K) faktor pertamanya adalah karena memang biasanya pengidap tak merasakan rasa nyeri di dada ataupun batuk.
“Pertama, karena di dalam paru itu tidak ada sarafan. Jadi pasien enggak merasa nyeri dan batuk. Rasa itu ada kalau sudah kena selaput yang meliputi paru, jadi ya memang kebanyakan enggak ada gejala,” kata Dr. Sita, dalam konferensi pers Tantangan & Rekomendasi Menuju Penanganan Kanker Paru Yang Lebih Baik-IPKP, Sabtu (20/3/2021).
Selanjutnya, tidak adanya kebiasaan untuk melakukan proteksi dini seperti pemeriksaan CT-sca dan foto thorax. Berbeda dengan kultur contohnya di kanker payudara, dengan gerakan Sadari (pemeriksaan payudara sendiri).
“Contohnya kayak kanker payudara itu ada Sadari, diraba ada benjolan langsung deteksi jadi orang bisa deteksi sendiri. Kanker paru enggak demikian, enggak ada deteksi dini kayak CT-scan atau foto thorax yang rutin dilakukan. CT-scan dua tahun sekali, seperti kayak di negara-negara maju. Deteksi dini ini memang suka terlambat,” imbuhnya.
Melihat situasi ini, Dr. Sita menyebutkan maka dari itu mengimbau untuk orang-orang yang masuk di kategori populasi tinggi harus rutin melakukan deteksi dini. Begitu juga dengan orang non-populasi tinggi tapi punya gejala pernapasan yang tak kunjung sembuh, wajib untuk periksa ke dokter.
“Jadi sekarang kita himbau populasi tinggi yakni pria, usia di atas 40 tahun, dan merokok itu harus rutin deteksi dini. Sama dengan orang yang bukan di populasi atas, tapi dengan gejala pernapasan yang enggak kunjung sembuh dengan pengobatan, sudah selama 2 pekan itu wajib ke dokter untuk diperkisa lebih lanjut,” pungkas Dr. Sita.
(wur)
tulis komentar anda