NRT atau Rokok Elektrik, Mana yang Lebih Efektif untuk Berhenti Merokok?
Selasa, 04 Mei 2021 - 17:02 WIB
JAKARTA - Riset yang membuktikan efektivitas rokok elektrik atau vape sebagai alat bantu berhenti merokok terus bertambah. Terbaru, sebuah studi dari The University of Queensland, Australia, menyatakan bahwa rokok elektrik 50 persen lebih efektif daripada terapi pengganti nikotin (NRT) dalam membantu perokok konvensional yang ingin berhenti.
Studi pustaka ini menyaring lebih dari 5.700 riset dan didanai Pemerintah Australia. Studi menemukan, 83 persen partisipan yang menggunakan rokok elektrik memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk berhenti merokok dibandingkan mereka yang disodorkan NRT. Selain itu, hanya 9 persen dari mereka yang melanjutkan penggunaan NRT.
"Rokok elektrik lebih efektif daripada produk NRT, karena rokok elektrik mengantarkan nikotin dengan jumlah sedikit untuk meringankan gejala putus obat. Selain itu, rokok elektrik juga memberikan pengalaman perilaku dan sensoris yang serupa dengan rokok konvensional," jelas Dr. Gary Chan dari National Centre for Youth Substance Use Research, The University of Queensland, dikutip Selasa (4/5).
Dikutip dari studi yang sama, sebagian besar pustaka yang diamati masih menggunakan rokok elektrik keluaran awal sebagai objek penelitian. Ini artinya, ada kemungkinan rokok elektrik keluaran terbaru yang mampu mengantarkan nikotin dengan lebih efisien dapat lebih efektif dalam mengurangi keinginan pengguna kembali merokok.
Di dalam negeri, penemuan ini sejalan dengan riset Universitas Brawijaya yang dipublikasikan pada awal tahun lalu. Hasil riset itu menyatakan bahwa Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) dapat membantu mengurangi konsumsi rokok.
Tapi sayangnya, walaupun pengguna HPTL terus meningkat, dan banyak perokok yang ingin berhenti, studi mengenai produk HPTL di Indonesia masih sangat terbatas. Akibatnya, mereka yang ingin berhenti merokok tidak memiliki informasi yang akurat mengenai pilihan yang lebih rendah risiko.
Padahal, laporan The Global State of Tobacco Harm Reduction (GSTHR) yang terbit pada 18 April 2021 mengungkapkan, sebanuak 48,6 persen perokok di Indonesia ingin berhenti merokok.
Tapi jika menilik dari data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase perokok Indonesia hanya berhasil turun 0,3 persen menjadi 28,7 persen pada 2020. Peralihan ke produk HPTL juga terbilang lamban di Indonesia. Menurut laporan GSTHR, jumlah pengguna HPTL baru mencapai satu persen saja.
Studi pustaka ini menyaring lebih dari 5.700 riset dan didanai Pemerintah Australia. Studi menemukan, 83 persen partisipan yang menggunakan rokok elektrik memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk berhenti merokok dibandingkan mereka yang disodorkan NRT. Selain itu, hanya 9 persen dari mereka yang melanjutkan penggunaan NRT.
"Rokok elektrik lebih efektif daripada produk NRT, karena rokok elektrik mengantarkan nikotin dengan jumlah sedikit untuk meringankan gejala putus obat. Selain itu, rokok elektrik juga memberikan pengalaman perilaku dan sensoris yang serupa dengan rokok konvensional," jelas Dr. Gary Chan dari National Centre for Youth Substance Use Research, The University of Queensland, dikutip Selasa (4/5).
Dikutip dari studi yang sama, sebagian besar pustaka yang diamati masih menggunakan rokok elektrik keluaran awal sebagai objek penelitian. Ini artinya, ada kemungkinan rokok elektrik keluaran terbaru yang mampu mengantarkan nikotin dengan lebih efisien dapat lebih efektif dalam mengurangi keinginan pengguna kembali merokok.
Di dalam negeri, penemuan ini sejalan dengan riset Universitas Brawijaya yang dipublikasikan pada awal tahun lalu. Hasil riset itu menyatakan bahwa Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) dapat membantu mengurangi konsumsi rokok.
Tapi sayangnya, walaupun pengguna HPTL terus meningkat, dan banyak perokok yang ingin berhenti, studi mengenai produk HPTL di Indonesia masih sangat terbatas. Akibatnya, mereka yang ingin berhenti merokok tidak memiliki informasi yang akurat mengenai pilihan yang lebih rendah risiko.
Padahal, laporan The Global State of Tobacco Harm Reduction (GSTHR) yang terbit pada 18 April 2021 mengungkapkan, sebanuak 48,6 persen perokok di Indonesia ingin berhenti merokok.
Tapi jika menilik dari data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase perokok Indonesia hanya berhasil turun 0,3 persen menjadi 28,7 persen pada 2020. Peralihan ke produk HPTL juga terbilang lamban di Indonesia. Menurut laporan GSTHR, jumlah pengguna HPTL baru mencapai satu persen saja.
tulis komentar anda