Cegah Bahaya Pornografi pada Anak, Peran Pengawasan Orangtua Dibutuhkan
Jum'at, 01 Juli 2022 - 20:20 WIB
JAKARTA - Kecanduan terhadap pornografi pada anak bisa menurunkan daya konsentrasi anak tersebut. Di tengah masifnya teknologi digital saat ini, akses terhadap pornografi melalui internet di gawai, baik telepon seluler atau di laptop, kian mudah. Dibutuhkan pengawasan dan bimbingan orangtua untuk mencegah anak terjebak pada candu pornografi.
Sebagai respons untuk menanggapi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI bersama Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi melakukan kolaborasi dan mencanangkan program Indonesia Makin Cakap Digital di Kalimantan secara daring beberapa waktu lalu. Program ini didasarkan pada empat pilar utama literasi digital yakni Kemampuan Digital, Etika Digital, Budaya Digital, dan Keamanan Digital. Melalui program ini, 50 juta masyarakat ditargetkan akan mendapat literasi digital pada 2024.
Pada kesempatan tersebut, Senior Trainer dan Psikolog Klinis Hellen Citra Dewi menyajikan sebuah video yang menyebutkan bahwa kecanduan pornografi menyebabkan banyaknya dopamin yang dikeluarkan oleh otak sehingga menurunkan konsentrasi, sulit mengambil keputusan, dan lain sebagainya. Anak yang mengalami adiksi terhadap pornografi memiliki ciri-ciri seperti tidak mau jauh dari gawainya, lebih suka menyendiri di kamar, serta sulit dan/atau tidak tertarik bersosialisasi.
“Kita harus membatasi kegiatan atau interaksi yang dilakukan secara daring terutama bila sudah mengarah pada konten pornografi dan aktivitas seksual daring. Orangtua memiliki hak untuk mengecek gawai anak sehingga anak harus terbuka pada orangtuanya dan jangan menutup-nutupi,” kata Hellen, dikutip Jumat (1/7/2022).
Terkait etika di dunia digital, Dosen Fikom Unisba, Peneliti, dan Pegiat Literasi Digital sekaligus Co-Founder JAPELIDI dan MAFINDO Santi Indra Astuti menuturkan, kecanduan pornografi dapat berdampak pada seluruh lini serta menimbulkan korban. Yakni orang yang dijadikan objek serta orang yang kecanduan pornografi. Kemudian, untuk mengatasi konten negatif pornografi, tindakan yang harus dilakukan di antaranya menganalisis konten negatif, tidak menyebarluaskannya, melaporkannya, dan memproduksi konten yang bermanfaat atau positif.
"Apabila sudah ada yang terjebak dalam hal ini (kejahatan pornografi), maka harus segera melapor ke orang terdekat, jangan diam saja dan menyimpannya sendiri. Predator yang mengancam anak kita di dunia digital ternyata begitu berbahayanya. Maka, keterbukaan dengan anak-anak kita memang harus betul-betul dipelihara," paparnya.
Di kesempatan yang sama, Agus Andira selaku Pandu Digital Madya Indonesia KOMINFO RI, Local Champion Pandu Digital Indonesia Sektor Pendidikan dan jaWAra Internet Sehat ICT Watch, menjelaskan perbedaan jejak digital pasif dengan aktif lalu dilanjutkan dengan materi terkait dua sisi jejak digital. Yakni penyalahgunaan jejak digital secara negatif serta terminologi data sebagai tambang baru bagi perusahaan untuk diperjualbelikan. Untuk melengkapi penuturannya, ia juga menyertakan contoh kasus terkait bahayanya jejak digital.
“Hapus aplikasi yang tidak digunakan dan jangan mengikuti tren aplikasi yang sedang berlangsung. Artinya, jika kita menggunakan suatu platform, kita tahu nih menggunakannya untuk apa,” tuturnya.
Pengguna internet di Indonesia pada 2021 mengalami peningkatan. We Are Social mencatat bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 202,6 juta pengguna, di mana 170 juta penggunanya menggunakan media sosial. Dapat dikatakan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 61.8% dari total populasi Indonesia.
Menurut Survei Literasi Digital di Indonesia pada 2021, indeks atau skor literasi digital di Indonesia berada pada angka 3,49 dari skala 1-5. Skor tersebut menunjukkan bahwa tingkat literasi digital di Indonesia masih berada dalam kategori "sedang.”
Sebagai respons untuk menanggapi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI bersama Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi melakukan kolaborasi dan mencanangkan program Indonesia Makin Cakap Digital di Kalimantan secara daring beberapa waktu lalu. Program ini didasarkan pada empat pilar utama literasi digital yakni Kemampuan Digital, Etika Digital, Budaya Digital, dan Keamanan Digital. Melalui program ini, 50 juta masyarakat ditargetkan akan mendapat literasi digital pada 2024.
Pada kesempatan tersebut, Senior Trainer dan Psikolog Klinis Hellen Citra Dewi menyajikan sebuah video yang menyebutkan bahwa kecanduan pornografi menyebabkan banyaknya dopamin yang dikeluarkan oleh otak sehingga menurunkan konsentrasi, sulit mengambil keputusan, dan lain sebagainya. Anak yang mengalami adiksi terhadap pornografi memiliki ciri-ciri seperti tidak mau jauh dari gawainya, lebih suka menyendiri di kamar, serta sulit dan/atau tidak tertarik bersosialisasi.
“Kita harus membatasi kegiatan atau interaksi yang dilakukan secara daring terutama bila sudah mengarah pada konten pornografi dan aktivitas seksual daring. Orangtua memiliki hak untuk mengecek gawai anak sehingga anak harus terbuka pada orangtuanya dan jangan menutup-nutupi,” kata Hellen, dikutip Jumat (1/7/2022).
Terkait etika di dunia digital, Dosen Fikom Unisba, Peneliti, dan Pegiat Literasi Digital sekaligus Co-Founder JAPELIDI dan MAFINDO Santi Indra Astuti menuturkan, kecanduan pornografi dapat berdampak pada seluruh lini serta menimbulkan korban. Yakni orang yang dijadikan objek serta orang yang kecanduan pornografi. Kemudian, untuk mengatasi konten negatif pornografi, tindakan yang harus dilakukan di antaranya menganalisis konten negatif, tidak menyebarluaskannya, melaporkannya, dan memproduksi konten yang bermanfaat atau positif.
"Apabila sudah ada yang terjebak dalam hal ini (kejahatan pornografi), maka harus segera melapor ke orang terdekat, jangan diam saja dan menyimpannya sendiri. Predator yang mengancam anak kita di dunia digital ternyata begitu berbahayanya. Maka, keterbukaan dengan anak-anak kita memang harus betul-betul dipelihara," paparnya.
Di kesempatan yang sama, Agus Andira selaku Pandu Digital Madya Indonesia KOMINFO RI, Local Champion Pandu Digital Indonesia Sektor Pendidikan dan jaWAra Internet Sehat ICT Watch, menjelaskan perbedaan jejak digital pasif dengan aktif lalu dilanjutkan dengan materi terkait dua sisi jejak digital. Yakni penyalahgunaan jejak digital secara negatif serta terminologi data sebagai tambang baru bagi perusahaan untuk diperjualbelikan. Untuk melengkapi penuturannya, ia juga menyertakan contoh kasus terkait bahayanya jejak digital.
“Hapus aplikasi yang tidak digunakan dan jangan mengikuti tren aplikasi yang sedang berlangsung. Artinya, jika kita menggunakan suatu platform, kita tahu nih menggunakannya untuk apa,” tuturnya.
Pengguna internet di Indonesia pada 2021 mengalami peningkatan. We Are Social mencatat bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 202,6 juta pengguna, di mana 170 juta penggunanya menggunakan media sosial. Dapat dikatakan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 61.8% dari total populasi Indonesia.
Menurut Survei Literasi Digital di Indonesia pada 2021, indeks atau skor literasi digital di Indonesia berada pada angka 3,49 dari skala 1-5. Skor tersebut menunjukkan bahwa tingkat literasi digital di Indonesia masih berada dalam kategori "sedang.”
(tsa)
tulis komentar anda