Soal Kasus Gagal Ginjal Akut pada Anak, Ombudsman Nilai Kemenkes dan BPOM Berpotensi Lakukan Maladministrasi
Selasa, 25 Oktober 2022 - 14:21 WIB
3. Ketiadaan standarisasi pencegahan dan penanganan kasus gangguan ginjal akut oleh seluruh pusat pelayanan kesehatan baik di faskes tingkat pertama maupun faskes tingkat lanjut, sehingga menyebabkan belum terpenuhinya standar pelayanan publik (SPP) termasuk pelayanan pemeriksaan laboratorium.
"Jadi, bisa kami rangkum bahwa data yang dimiliki Kemenkes tidak valid dan komprehensif hingga sekarang. Kemudian, hak masyarakat untuk mendapat informasi juga tidak terpenuhi karena datanya tidak valid, dan standarisasi pencegahan dan penanganan kasus tidak memenuhi standar pelayanan publik," ungkap Robert.
Sementara potensi maladministrasi di pihak BPOM dinilai Ombudsman ada di tahap pre-market dan post-market. BPOM dianggap lalai di dua tahapan tersebut.
Berikut catatan Ombudsman untuk mendukung penilaiannya bahwa BPOM juga berpotensi melakukan maladministrasi:
1. Pada tahap pre-market, Ombudsman menilai bahwa BPOM tidak maksimal melakukan pengawasan terhadap produk yang diuji oleh perusahaan farmasi, karena membiarkan produsen melakukan uji mandiri.
2. Masih dalam pre-market, Ombudsman juga menilai bahwa terdapat kesenjangan antara standarisasi yang diatur oleh BPOM dengan implementasi di lapangan.
3. Tetap di pre-market, Ombudsman menilai bahwa BPOM wajib memaksimalkan tahapan verifikasi dan validasi sebelum penerbitan izin edar.
4. Nah, pada post-market Ombudsman menilai dalam tahapan ini perlu adanya pengawasan BPOM pasca pemberian izin edar.
5. Di post-market juga, Ombudsman menilai BPOM perlu melakukan evaluasi secara berkala terhadap produk yang beredar. Hal ini bertujuan untuk memastikan konsistensi mutu kandungan produk yang beredar.
Dengan penilaian itu semua, Ombudsman berani menyatakan bahwa ada potensi maladministrasi yang dilakukan Kemenkes dan BPOM. Soal sanksi, Robert menjelaskan bahwa dalam tahapannya, kedua lembaga pemerintah tersebut akan diberi kesempatan untuk korektif.
"Jadi, bisa kami rangkum bahwa data yang dimiliki Kemenkes tidak valid dan komprehensif hingga sekarang. Kemudian, hak masyarakat untuk mendapat informasi juga tidak terpenuhi karena datanya tidak valid, dan standarisasi pencegahan dan penanganan kasus tidak memenuhi standar pelayanan publik," ungkap Robert.
Sementara potensi maladministrasi di pihak BPOM dinilai Ombudsman ada di tahap pre-market dan post-market. BPOM dianggap lalai di dua tahapan tersebut.
Berikut catatan Ombudsman untuk mendukung penilaiannya bahwa BPOM juga berpotensi melakukan maladministrasi:
1. Pada tahap pre-market, Ombudsman menilai bahwa BPOM tidak maksimal melakukan pengawasan terhadap produk yang diuji oleh perusahaan farmasi, karena membiarkan produsen melakukan uji mandiri.
2. Masih dalam pre-market, Ombudsman juga menilai bahwa terdapat kesenjangan antara standarisasi yang diatur oleh BPOM dengan implementasi di lapangan.
3. Tetap di pre-market, Ombudsman menilai bahwa BPOM wajib memaksimalkan tahapan verifikasi dan validasi sebelum penerbitan izin edar.
4. Nah, pada post-market Ombudsman menilai dalam tahapan ini perlu adanya pengawasan BPOM pasca pemberian izin edar.
5. Di post-market juga, Ombudsman menilai BPOM perlu melakukan evaluasi secara berkala terhadap produk yang beredar. Hal ini bertujuan untuk memastikan konsistensi mutu kandungan produk yang beredar.
Dengan penilaian itu semua, Ombudsman berani menyatakan bahwa ada potensi maladministrasi yang dilakukan Kemenkes dan BPOM. Soal sanksi, Robert menjelaskan bahwa dalam tahapannya, kedua lembaga pemerintah tersebut akan diberi kesempatan untuk korektif.
tulis komentar anda