Transmisi Virus SARS-CoV-2 Melalui Udara Masih Terus Dikaji
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemahaman para ahli terhadap karakter virus SARS-CoV-2 terus berkembang. Hasil dari berbagai penelitian mereka akan berpengaruh terhadap kebijakan pencegahan Covid-19 secara global.
(Baca juga: Masker Jadi Kunci Pencegahan COVID-19 Melalui Udara di Ruang Tertutup )
Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Nasional, Wiku Adisasmito menyampaikan, pihaknya telah menanyakan secara langsung kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Indonesia mengenai perkembangan penelitian virus SARS-CoV-2 . WHO Indonesia berkoordinasi aktif dengan para peneliti sejak April lalu.
Salah satunya mengenai penelitian transmisi atau penularan lewat udara. Hasil dari penelitian yang ada menunjukkan bahwa transmisi udara belum terbukti secara pasti.
"WHO mendorong penelitian lebih lanjut di bidang ini. Seiring dengan transmisi melalui udara, kami melihat banyak rute transmisi lainnya, bekerjasama dengan para ahli dari berbagai bidang. WHO juga akan meringkas apa yang mereka ketahui dalam ringkasan ilmiah tentang transmisi, yang akan segera dirilis," ujar Wiku di Jakarta, belum lama ini.
Lebih lanjut, Wiku memaparkan bahwa transmisi Covid-19 melalui udara mungkin dapat terjadi pada kondisi dan keadaan tertentu, di mana suatu tindakan yang menimbulkan partikel aerosol dilakukan. Beberapa di antaranya adalah memasang dan melepas selang intubasi endotrakea, bronkoskopi, penyedotan cairan dari saluran pernapasan, pemakaian nebulisasi, tindakan invasif dan non invasif pada saluran pernapasan dan resusitasi jantung paru.
Sementara itu, publikasi baru-baru ini dari New England Journal of Medicine telah mengevaluasi ketahanan virus penyebab Covid-19 . Dalam kajiannya, aerosol terkumpul melalui sebuah alat yang kemudian dimasukkan ke dalam tabung Goldberg dalam lingkungan terkendali laboratorium. Alat tersebut merupakan mesin berkekuatan tinggi dan tidak merefleksikan kondisi normal manusia saat batuk.
(Baca juga: Waspadai TB di Tengah Pandemi, Ini Bedanya dengan Covid-19 )
Penemuan pada kajian itu menunjukkan bahwa virus Covid-19 yang mampu bertahan di udara hingga 3 jam ini tidak mencerminkan kondisi klinis manusia di saat batuk. Kondisi tersebut terjadi pada saat eksperimen dilakukan untuk melihat konsentrasi partikel yang melayang di udara.
Berdasarkan bukti-bukti tersebut, WHO terus merekomendasikan pencegahan penularan yang disebabkan oleh droplet dari orang yang terinfeksi Covid-19 . Pada lingkungan di mana dilakukan prosedur yang menghasilkan aerosol, WHO tetap merekomendasikan tindakan pencegahan berdasarkan tingkat risikonya.
Lihat Juga: Viral Mitos Penyakit Mpox Efek dari Vaksin COVID-19, Kemenkes Tegaskan Tak Ada Hubungannya
(Baca juga: Masker Jadi Kunci Pencegahan COVID-19 Melalui Udara di Ruang Tertutup )
Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Nasional, Wiku Adisasmito menyampaikan, pihaknya telah menanyakan secara langsung kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Indonesia mengenai perkembangan penelitian virus SARS-CoV-2 . WHO Indonesia berkoordinasi aktif dengan para peneliti sejak April lalu.
Salah satunya mengenai penelitian transmisi atau penularan lewat udara. Hasil dari penelitian yang ada menunjukkan bahwa transmisi udara belum terbukti secara pasti.
"WHO mendorong penelitian lebih lanjut di bidang ini. Seiring dengan transmisi melalui udara, kami melihat banyak rute transmisi lainnya, bekerjasama dengan para ahli dari berbagai bidang. WHO juga akan meringkas apa yang mereka ketahui dalam ringkasan ilmiah tentang transmisi, yang akan segera dirilis," ujar Wiku di Jakarta, belum lama ini.
Lebih lanjut, Wiku memaparkan bahwa transmisi Covid-19 melalui udara mungkin dapat terjadi pada kondisi dan keadaan tertentu, di mana suatu tindakan yang menimbulkan partikel aerosol dilakukan. Beberapa di antaranya adalah memasang dan melepas selang intubasi endotrakea, bronkoskopi, penyedotan cairan dari saluran pernapasan, pemakaian nebulisasi, tindakan invasif dan non invasif pada saluran pernapasan dan resusitasi jantung paru.
Sementara itu, publikasi baru-baru ini dari New England Journal of Medicine telah mengevaluasi ketahanan virus penyebab Covid-19 . Dalam kajiannya, aerosol terkumpul melalui sebuah alat yang kemudian dimasukkan ke dalam tabung Goldberg dalam lingkungan terkendali laboratorium. Alat tersebut merupakan mesin berkekuatan tinggi dan tidak merefleksikan kondisi normal manusia saat batuk.
(Baca juga: Waspadai TB di Tengah Pandemi, Ini Bedanya dengan Covid-19 )
Penemuan pada kajian itu menunjukkan bahwa virus Covid-19 yang mampu bertahan di udara hingga 3 jam ini tidak mencerminkan kondisi klinis manusia di saat batuk. Kondisi tersebut terjadi pada saat eksperimen dilakukan untuk melihat konsentrasi partikel yang melayang di udara.
Berdasarkan bukti-bukti tersebut, WHO terus merekomendasikan pencegahan penularan yang disebabkan oleh droplet dari orang yang terinfeksi Covid-19 . Pada lingkungan di mana dilakukan prosedur yang menghasilkan aerosol, WHO tetap merekomendasikan tindakan pencegahan berdasarkan tingkat risikonya.
Lihat Juga: Viral Mitos Penyakit Mpox Efek dari Vaksin COVID-19, Kemenkes Tegaskan Tak Ada Hubungannya
(nug)