Perangi Kekerasan Seksual, Lakukan Ini Segera untuk Atasi Luka Batin dan Trauma Korban
loading...
A
A
A
Dalam jangka panjang, hal ini dapat berdampak buruk pada kesehatan mental seseorang dan bagaimana korban bersikap secara sadar maupun tidak sadar pada lingkungan sosialnya.
- Tuduhan palsu, di mana korban enggan melaporkan bahkan dilaporkan balik oleh pelaku dengan tuduhan pencemaran nama baik karena dianggap tidak memiliki cukup bukti.
Nyatanya, tak hanya perempuan, laki-laki pun banyak menjadi korban kekerasan seksual, khususnya anak laki-laki. Berdasarkan Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang diluncurkan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan International NGO Forum on Indonesian Development tahun 2020, ada 33% laki-laki yang mengalami kekerasan seksual khususnya dalam bentuk pelecehan seksual.
Pada 2018, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperlihatkan bahwa ada 60% anak laki-laki dan 40% anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.
Pengalaman traumatis pada korban kekerasan seksual dapat memberikan dampak fisik, emosi, dan psikologis apabila tidak mendapat bantuan serta pendampingan para ahli.
Menurut Rishita, dampak yang paling umum adalah depresi karena mengingat kejadian masa lalu, dan yang paling berat adalah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
“Ada tiga tanda PTSD. Pertama, re-experiencing di mana korban mengalami kondisi kilas balik (flash back), mimpi dan timbul pikiran mengganggu. Kedua, avoidance di mana korban menghindari hal-hal yang terkait dengan pengalaman kekerasan seksual yang dialaminya hingga menghindari lingkungan kesehariannya karena mereka merasa resah, takut, dan tak aman. Ketiga, hyper-arousal di mana mereka sering merasa gelisah, sulit tidur, mudah terkejut, hingga emosi yang meledak-ledak. Pada jangka panjang, sangat mungkin korban kekerasan seksual akan kehilangan hak untuk hidup dengan aman,” bebernya.
Kemungkinan lain yang butuh diwaspadai adalah munculnya keinginan untuk mengakhiri hidup atau bahkan melakukan percobaan bunuh diri karena ingin mengakhiri penderitaan/konflik yang dialami. Pilihan ini seolah pilihan terbaik karena korban merasa tidak memiliki bantuan lain.
“Temani dan berikan saran kepada kerabat kita untuk melaporkan dan meminta bantuan kepada para praktisi kesehatan mental bila mereka sudah berbicara tentang keinginan untuk mati, perasaannya hampa, tidak memiliki alasan untuk melanjutkan hidup, merasa sangat malu, merasa terjebak, merasa menjadi beban bagi lingkungannya, selalu cemas, menarik diri dari keluarga dan teman-teman, amarah yang besar, dan gejala berat lainnya,” sebut Rishita.
- Sebagai pertolongan pertama, korban kekerasan seksual butuh meminta bantuan kepada praktisi kesehatan mental seperti psikolog, psikiater, psikoterapis, dan konselor untuk mengatasi dampak langsung/tak langsung dari peristiwa traumatis yang dialami korban.
- Tuduhan palsu, di mana korban enggan melaporkan bahkan dilaporkan balik oleh pelaku dengan tuduhan pencemaran nama baik karena dianggap tidak memiliki cukup bukti.
Nyatanya, tak hanya perempuan, laki-laki pun banyak menjadi korban kekerasan seksual, khususnya anak laki-laki. Berdasarkan Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang diluncurkan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan International NGO Forum on Indonesian Development tahun 2020, ada 33% laki-laki yang mengalami kekerasan seksual khususnya dalam bentuk pelecehan seksual.
Pada 2018, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperlihatkan bahwa ada 60% anak laki-laki dan 40% anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.
Pengalaman traumatis pada korban kekerasan seksual dapat memberikan dampak fisik, emosi, dan psikologis apabila tidak mendapat bantuan serta pendampingan para ahli.
Menurut Rishita, dampak yang paling umum adalah depresi karena mengingat kejadian masa lalu, dan yang paling berat adalah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
“Ada tiga tanda PTSD. Pertama, re-experiencing di mana korban mengalami kondisi kilas balik (flash back), mimpi dan timbul pikiran mengganggu. Kedua, avoidance di mana korban menghindari hal-hal yang terkait dengan pengalaman kekerasan seksual yang dialaminya hingga menghindari lingkungan kesehariannya karena mereka merasa resah, takut, dan tak aman. Ketiga, hyper-arousal di mana mereka sering merasa gelisah, sulit tidur, mudah terkejut, hingga emosi yang meledak-ledak. Pada jangka panjang, sangat mungkin korban kekerasan seksual akan kehilangan hak untuk hidup dengan aman,” bebernya.
Kemungkinan lain yang butuh diwaspadai adalah munculnya keinginan untuk mengakhiri hidup atau bahkan melakukan percobaan bunuh diri karena ingin mengakhiri penderitaan/konflik yang dialami. Pilihan ini seolah pilihan terbaik karena korban merasa tidak memiliki bantuan lain.
“Temani dan berikan saran kepada kerabat kita untuk melaporkan dan meminta bantuan kepada para praktisi kesehatan mental bila mereka sudah berbicara tentang keinginan untuk mati, perasaannya hampa, tidak memiliki alasan untuk melanjutkan hidup, merasa sangat malu, merasa terjebak, merasa menjadi beban bagi lingkungannya, selalu cemas, menarik diri dari keluarga dan teman-teman, amarah yang besar, dan gejala berat lainnya,” sebut Rishita.
Lakukan Ini Segera!
Penanganan yang tepat dan cepat diharapkan dapat membantu memulihkan kondisi korban kekerasan seksual, seperti:- Sebagai pertolongan pertama, korban kekerasan seksual butuh meminta bantuan kepada praktisi kesehatan mental seperti psikolog, psikiater, psikoterapis, dan konselor untuk mengatasi dampak langsung/tak langsung dari peristiwa traumatis yang dialami korban.