Perangi Kekerasan Seksual, Lakukan Ini Segera untuk Atasi Luka Batin dan Trauma Korban
loading...
A
A
A
JAKARTA - Isu kekerasan seksual menjadi pembahasan hangat karena masih kerap terjadi. Bahkan, jumlah kasusnya terus meningkat di Indonesia.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat, per 2022 ada lebih dari 27.000 kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia. Tiga kasus kekerasan teratas adalah kekerasan seksual sebanyak lebih dari 11.600 kasus, kekerasan fisik 9.500 kasus, dan kekerasan psikis lebih dari 9.000 kasus.
Sementara di tahun berjalan 2023, KemenPPPA telah mencatat lebih dari 7.400 kasus kekerasan yang tak hanya terjadi pada perempuan, tapi juga laki-laki. Kekerasan seksual masih menempati kasus teratas dengan angka lebih dari 3.200 kasus.
Guna memerangi kasus tersebut, negara pun telah membuat Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Dengan UU ini, pemerintah ingin mengatasi bermacam tantangan dan hambatan korban untuk mendapatkan keadilan dalam hal penanganan serta pemulihan.
“Dengan mengenal jenis-jenis kekerasan seksual, kita dapat mengedukasi dan turut menjaga keluarga dan lingkungan terdekat, terutama anak-anak kita. Utamanya dengan kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi melalui sosial media, kita wajib memperkaya pengetahuan tentang pelecehan seksual serta kekerasan dalam rumah tangga dan lingkungan kerja, mengapa dapat terjadi, apa dampak fisik serta psikis yang dihadapi korban dan orang yang secara sengaja maupun tak sengaja menyaksikan, dan bagaimana menanganinya," ungkap Dian Rishita Dewi, Psikoterapis sekaligus Co-Founder Remedi Indonesia, melalui keterangan tertulis, Kamis (4/5/2023).
Pada tahun ini, KemenPPPA mencatat, kekerasan kerap terjadi di lingkungan rumah tangga, lingkungan kerja dan fasilitas umum. Yang terbanyak terjadi pada anak usia 13-17 tahun.
Tak sedikit dari kita lantas mempertanyakan, mengapa korban tidak langsung melakukan pengaduan atau membela diri pada saat pelecehan terjadi. Ada beberapa tantangan yang dihadapi korban. Di antaranya sebagai berikut:
- Tonic immobility atau freeze, yaitu keadaan lumpuh sementara yang tak disengaja, bahkan dalam banyak kasus korban tidak dapat bersuara. Korban kekerasan seksual sering dipersalahkan karena tidak melawan, berteriak atau lari saat mengalami kekerasan, padahal saat itu mereka masih mengalami tonic immobility.
“Konsep ini penting untuk kita pahami agar tidak dengan mudah menganggap bahwa kekerasan seksual yang terjadi pada korban adalah aktivitas seksual ‘suka sama suka’ karena menganggap korban tidak melawan, berteriak, berlari ataupun melaporkan saat kejadian,” ungkap Rishita.
- Victim blaming, yaitu kondisi menyalahkan korban karena dianggap memprovokasi atau menyebabkan kekerasan seksual terjadi melalui tindakan, kata-kata, ataupun sesederhana pakaian yang dikenakan yang dianggap “mengundang”. Kondisi tersebut dapat berdampak internal, yaitu korban menyalahkan dirinya sendiri atau self-blaming sehingga berujung tidak mengadukan kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat, per 2022 ada lebih dari 27.000 kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia. Tiga kasus kekerasan teratas adalah kekerasan seksual sebanyak lebih dari 11.600 kasus, kekerasan fisik 9.500 kasus, dan kekerasan psikis lebih dari 9.000 kasus.
Sementara di tahun berjalan 2023, KemenPPPA telah mencatat lebih dari 7.400 kasus kekerasan yang tak hanya terjadi pada perempuan, tapi juga laki-laki. Kekerasan seksual masih menempati kasus teratas dengan angka lebih dari 3.200 kasus.
Guna memerangi kasus tersebut, negara pun telah membuat Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Dengan UU ini, pemerintah ingin mengatasi bermacam tantangan dan hambatan korban untuk mendapatkan keadilan dalam hal penanganan serta pemulihan.
Jenis Kekerasan Seksual
Mengacu pada UU TPKS, jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual meliputi pelecehan seksual fisik dan non-fisik, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan dan eksploitasi seksual, perbudakan seksual, hingga kekerasan seksual berbasis elektronik. Tindak pidana kekerasan seksual lainnya di antaranya perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan, eksploitasi seksual terhadap anak, perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban, pornografi melibatkan anak, pemaksaan pelacuran, perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual, kekerasan dalam lingkup rumah tangga, dan sebagainya.“Dengan mengenal jenis-jenis kekerasan seksual, kita dapat mengedukasi dan turut menjaga keluarga dan lingkungan terdekat, terutama anak-anak kita. Utamanya dengan kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi melalui sosial media, kita wajib memperkaya pengetahuan tentang pelecehan seksual serta kekerasan dalam rumah tangga dan lingkungan kerja, mengapa dapat terjadi, apa dampak fisik serta psikis yang dihadapi korban dan orang yang secara sengaja maupun tak sengaja menyaksikan, dan bagaimana menanganinya," ungkap Dian Rishita Dewi, Psikoterapis sekaligus Co-Founder Remedi Indonesia, melalui keterangan tertulis, Kamis (4/5/2023).
Pada tahun ini, KemenPPPA mencatat, kekerasan kerap terjadi di lingkungan rumah tangga, lingkungan kerja dan fasilitas umum. Yang terbanyak terjadi pada anak usia 13-17 tahun.
Tak sedikit dari kita lantas mempertanyakan, mengapa korban tidak langsung melakukan pengaduan atau membela diri pada saat pelecehan terjadi. Ada beberapa tantangan yang dihadapi korban. Di antaranya sebagai berikut:
- Tonic immobility atau freeze, yaitu keadaan lumpuh sementara yang tak disengaja, bahkan dalam banyak kasus korban tidak dapat bersuara. Korban kekerasan seksual sering dipersalahkan karena tidak melawan, berteriak atau lari saat mengalami kekerasan, padahal saat itu mereka masih mengalami tonic immobility.
“Konsep ini penting untuk kita pahami agar tidak dengan mudah menganggap bahwa kekerasan seksual yang terjadi pada korban adalah aktivitas seksual ‘suka sama suka’ karena menganggap korban tidak melawan, berteriak, berlari ataupun melaporkan saat kejadian,” ungkap Rishita.
- Victim blaming, yaitu kondisi menyalahkan korban karena dianggap memprovokasi atau menyebabkan kekerasan seksual terjadi melalui tindakan, kata-kata, ataupun sesederhana pakaian yang dikenakan yang dianggap “mengundang”. Kondisi tersebut dapat berdampak internal, yaitu korban menyalahkan dirinya sendiri atau self-blaming sehingga berujung tidak mengadukan kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya.