Bisa Sebabkan Disabilitas hingga Kematian, Yuk Kenali Gejala Hemofilia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Hemofilia merupakan kelainan perdarahan akibat kurangnya produksi salah satu faktor pembekuan darah dalam tubuh.
Dalam laman Kementerian Kesehatan disebutkan bahwa hemofilia diturunkan dari gen X yang artinya diturunkan dari ibu (sebagai carrier) kepada anak laki-lakinya sejak dilahirkan. Walau demikian, 30% penderita hemofilia tidak memiliki riwayat keluarga melainkan kemungkinan terjadi mutasi genetik.
Kasus hemofilia di Indonesia cukup banyak. Dari data resmi tahun 2021 diketahui terdapat 27.636 kasus hemofilia. Sulitnya akses kesehatan membuat pasien kerap datang dalam kondisi terlambat dan berisiko disabilitas hingga kematian.
Menurut dokter spesialis anak konsultan hematologi onkologi, Dr. dr. Novie Amelia Chozie, Sp. A (K), setiap bulannya di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) ada 2-3 kasus baru. 50 persen di antaranya datang dalam kondisi terlambat.
"Sudah komplikasi. Pendarahan otot yang akhirnya menjepit syaraf atau pendarahan sendi yang berulang yang mengakibatkan sendi mengalami kerusakan atau artropati hemofilik," ungkap dr. Novie dalam keterangan tertulisnya, baru-baru ini.
Di negara berkembang, penanganan hemofilia kerap menghadapi berbagai tantangan, termasuk di Indonesia. Terbukti, dari 27.636 kasus pada 2021, hanya 2.425 pasien yang terdiagnosa hemofolia A dan mendapat perawatan.
Hemofilia juga menjadi penyakit dengan biaya yang mahal. Melalui data BPJS Kesehatan pada 2020 diketahui bahwa hemofilia merupakan penyakit keenam terbesar dalam klaim Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Gejala hemofilia biasanya muncul pada anak laki-laki yang memiliki ibu carier atau pembawa. Penyebab hemofilia adalah kekurangan faktor pembeku darah dalam plasma darah.
Terdapat tiga derajat tingkat keparahan hemofilia, yakni ringan (kadar faktor pembekuan darah 5-40 persen), sedang (kadar faktor pembekuan darah 1-5 persen), dan berat (kadar faktor pembekuan darah 1 persen). Pada keadaan berat, pendarahan dalam otot dapat terjadi meski tidak ada sebab.
"Sejauh ini belum ada skrining khusus untuk melihat apakah memiliki hemofilia atau tidak," kata dr. Novie.
Sejauh ini, lanjut dia, yang dilakukan adalah skrining melalui riwayat keluarga yang sering mengalami perdarahan. Bisa juga dengan mengamati kondisi anak yang mudah terluka.
"Jika di sekitar kita ada bayi atau balita laki-laki, mudah memar, dan sendi besar (lutut dan siku) bengkak, segera dikonsultasikan ke dokter," terang dr. Novie.
Dia pun mengingatkan, agar orang tua memberikan ruang yang aman bagi pergerakan anak jika sang anak sudah terdiagnosa sejak dini. Pasalnya, pada pasien hemofilia, benturan atau trauma ringan saja dapat menyebabkan pendarahan dalam ototnya.
"Dalam penemuan kasus atau diagnosis dan pengobatan hemofilia di Indonesia terdapat beberapa masalah," bebernya.
Pada tahap diagnosis, tidak banyak rumah sakit rujukan di provinsi yang bisa melakukan pemeriksaan faktor pembekuan. Hal ini dikarenakan belum banyaknya dokter sub-spesialis bagian hematologi anak maupun dewasa di Indonesia.
Kemudian, saat pengobatan, karena obat yang digunakan bersifat khusus, maka pemberiannya harus dikonsultasikan dari spesialis anak atau spesialis penyakit dalam kepada sub-spesialis hematologi.
Di luar negeri, terutama negara maju, kasus hemofilia jarang sampai menyebabkan komplikasi dan mortalitas. Karena, infrastruktur kesehatannya telah mendukung untuk penanganan hemofilia sejak dini.
"Di sini, kami memiliki panduan yang baru agar pengobatannya tidak berbasis sudah muncul gejala yang berat baru diobati, tapi berusaha dicegah," kata dia.
Dokter Novie juga mengingatkan pentingnya pendidikan dan pemberdayaan individu terkait hemofilia, keluarga mereka, dan penyedia layanan kesehatan tentang manajemen perdarahan akut. Tujuannya untuk intervensi tepat waktu dan mengoptimalkan kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan.
Sementara itu, Vice President & General Manager Novo Nordisk Indonesia, Sreerekha Sreenivasan berharap dapat memberdayakan orang dengan hemofilia. Sehingga mereka bisa hidup tanpa batasan.
"Yang terpenting mereka kesempatan untuk berpartisipasi penuh dalam kegiatan yang mereka sukai dan mencapai potensi mereka sepenuhnya," ujar dia.
Dalam hari jadi ke-100, Novo Nordisk ingin memberikan dukungan, edukasi, dan solusi inovatif guna meningkatkan mereka yang menderita penyakit kelainan darah.
"Salah satu wujudnya dengan menyediakan artikel tentang hemofilia yang terjadi pada anak-anak yang tersedia di aplikasi PrimaKu yang didukung Novo Nordisk," pungkasnya.
Dalam laman Kementerian Kesehatan disebutkan bahwa hemofilia diturunkan dari gen X yang artinya diturunkan dari ibu (sebagai carrier) kepada anak laki-lakinya sejak dilahirkan. Walau demikian, 30% penderita hemofilia tidak memiliki riwayat keluarga melainkan kemungkinan terjadi mutasi genetik.
Kasus hemofilia di Indonesia cukup banyak. Dari data resmi tahun 2021 diketahui terdapat 27.636 kasus hemofilia. Sulitnya akses kesehatan membuat pasien kerap datang dalam kondisi terlambat dan berisiko disabilitas hingga kematian.
Menurut dokter spesialis anak konsultan hematologi onkologi, Dr. dr. Novie Amelia Chozie, Sp. A (K), setiap bulannya di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) ada 2-3 kasus baru. 50 persen di antaranya datang dalam kondisi terlambat.
"Sudah komplikasi. Pendarahan otot yang akhirnya menjepit syaraf atau pendarahan sendi yang berulang yang mengakibatkan sendi mengalami kerusakan atau artropati hemofilik," ungkap dr. Novie dalam keterangan tertulisnya, baru-baru ini.
Di negara berkembang, penanganan hemofilia kerap menghadapi berbagai tantangan, termasuk di Indonesia. Terbukti, dari 27.636 kasus pada 2021, hanya 2.425 pasien yang terdiagnosa hemofolia A dan mendapat perawatan.
Hemofilia juga menjadi penyakit dengan biaya yang mahal. Melalui data BPJS Kesehatan pada 2020 diketahui bahwa hemofilia merupakan penyakit keenam terbesar dalam klaim Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Gejala hemofilia biasanya muncul pada anak laki-laki yang memiliki ibu carier atau pembawa. Penyebab hemofilia adalah kekurangan faktor pembeku darah dalam plasma darah.
Terdapat tiga derajat tingkat keparahan hemofilia, yakni ringan (kadar faktor pembekuan darah 5-40 persen), sedang (kadar faktor pembekuan darah 1-5 persen), dan berat (kadar faktor pembekuan darah 1 persen). Pada keadaan berat, pendarahan dalam otot dapat terjadi meski tidak ada sebab.
"Sejauh ini belum ada skrining khusus untuk melihat apakah memiliki hemofilia atau tidak," kata dr. Novie.
Sejauh ini, lanjut dia, yang dilakukan adalah skrining melalui riwayat keluarga yang sering mengalami perdarahan. Bisa juga dengan mengamati kondisi anak yang mudah terluka.
"Jika di sekitar kita ada bayi atau balita laki-laki, mudah memar, dan sendi besar (lutut dan siku) bengkak, segera dikonsultasikan ke dokter," terang dr. Novie.
Dia pun mengingatkan, agar orang tua memberikan ruang yang aman bagi pergerakan anak jika sang anak sudah terdiagnosa sejak dini. Pasalnya, pada pasien hemofilia, benturan atau trauma ringan saja dapat menyebabkan pendarahan dalam ototnya.
"Dalam penemuan kasus atau diagnosis dan pengobatan hemofilia di Indonesia terdapat beberapa masalah," bebernya.
Pada tahap diagnosis, tidak banyak rumah sakit rujukan di provinsi yang bisa melakukan pemeriksaan faktor pembekuan. Hal ini dikarenakan belum banyaknya dokter sub-spesialis bagian hematologi anak maupun dewasa di Indonesia.
Kemudian, saat pengobatan, karena obat yang digunakan bersifat khusus, maka pemberiannya harus dikonsultasikan dari spesialis anak atau spesialis penyakit dalam kepada sub-spesialis hematologi.
Di luar negeri, terutama negara maju, kasus hemofilia jarang sampai menyebabkan komplikasi dan mortalitas. Karena, infrastruktur kesehatannya telah mendukung untuk penanganan hemofilia sejak dini.
"Di sini, kami memiliki panduan yang baru agar pengobatannya tidak berbasis sudah muncul gejala yang berat baru diobati, tapi berusaha dicegah," kata dia.
Dokter Novie juga mengingatkan pentingnya pendidikan dan pemberdayaan individu terkait hemofilia, keluarga mereka, dan penyedia layanan kesehatan tentang manajemen perdarahan akut. Tujuannya untuk intervensi tepat waktu dan mengoptimalkan kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan.
Sementara itu, Vice President & General Manager Novo Nordisk Indonesia, Sreerekha Sreenivasan berharap dapat memberdayakan orang dengan hemofilia. Sehingga mereka bisa hidup tanpa batasan.
"Yang terpenting mereka kesempatan untuk berpartisipasi penuh dalam kegiatan yang mereka sukai dan mencapai potensi mereka sepenuhnya," ujar dia.
Dalam hari jadi ke-100, Novo Nordisk ingin memberikan dukungan, edukasi, dan solusi inovatif guna meningkatkan mereka yang menderita penyakit kelainan darah.
"Salah satu wujudnya dengan menyediakan artikel tentang hemofilia yang terjadi pada anak-anak yang tersedia di aplikasi PrimaKu yang didukung Novo Nordisk," pungkasnya.
(nug)