Kisah Petani yang 'Insaf' Bertani Tembakau, Kini Pilih Tanam Ubi Jalar hingga Cabai
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bertani merupakan pekerjaan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Secara turun temurun masyarakat di daerah itu banyak yang bertani tembakau.
Hal itu juga yang dilakukan oleh dua petani bernama Istanto dan Agus Toni. Mereka sudah menjadi petani tembakau cukup lama, "diwariskan" sejak zaman nenek moyang. Namun, kini keduanya memutuskan 'insaf' alias beralih profesi menjadi petani sayur.
Istanto yang merupakan warga Dusun Truni, Desa Candisari, Kabupaten Magelang, menceritakan bahwa dirinya sudah menjadi petani kopi dan ubi jalar sejak 2013. Sebelumnya, dia merupakan petani tembakau yang diturunkan dari keluarganya.
"Pada tahun 2012 dan 2013 ada kemarau basah, tidak cocok untuk tanam tembakau, jadi lahan yang ada tanaman tembakau kami tanami ubi jalar dan alhamdulillah berhasil. Sampai sekarang dan petani lain pada niru, beralih jadi nanam ubi jalar," tutur Istanto saat ditemui di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, Kamis (8/6/2023).
Sejak menjadi petani ubi jalar, warga yang tinggal di wilayah ketinggian 800 mdpl itu mengaku penghasilannya lebih banyak ketimbang menanam tembakau.
"Kalau saya nanam ubi jalar, hasilnya dibutuhkan tiap hari. Setiap orang butuh dan setiap saat orang beli. Dan dengan pola seperti itu saya panen setiap hari," kata Istanto.
"Kalau tembakau, penghasilan ada tapi tidak sesuai yang diharapkan. Kalau ubi harganya sesuai dengan petani dan menguntungkan. Alhamdulillah lebih sejahtera," sambungnya.
Kisah senada diceritakan warga Desa Ketundan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Agus Toni, yang sudah bertani tembakau selama 10 tahun. Namun, lima tahun belakangan dia memilih beralih menjadi petani cabai.
Toni mengaku untung ketika menjadi petani cabai. Karena tanaman cabai bisa panen berkali-kali ketimbang tembakau yang jangka waktu panennya panjang, yaitu hingga 6 bulan.
"Kalau tembakau itu penghasilannya satu pintu, hanya ke industri rokok, yang nentuin harga pabrik, petani nggak bisa nawar. Kalau di sini (cabai) petani bisa nawar," ungkap Agus Toni.
"Keuntungannya juga jauh lebih banyak ketika bertani sayuran. Walaupun kadang harga sayur naik turun, tapi seringnya naik. Dibanding tembakau harganya di bawah rata-rata. Harga tembakau Rp5.000 per kilo, tapi kalau cuaca ekstrem cuma Rp2.000 atau Rp1.000 per kilo. Kalau nanam tembakau pas hujan harganya anjlok," lanjutnya.
Melihat peluang yang lebih menguntungkan bertani sayuran, Toni mengungkapkan kalau sebagian petani di dusunnya kini beralih ke hortikultura.
"Sudah 50 persen (yang beralih jadi petani sayuran)," tuturnya.
Selain cabai, Toni juga menanam beberapa jenis sayuran lain seperti kubis, brokoli, dan sawi.
Kemenkes Apresiasi Petani yang Tak Lagi Tanam Tembakau
Melihat aksi para petani tembakau yang mengubah profesinya menjadi petani sayuran, Kemenkes pun memberikan apresiasi. Pemberian apresiasi dilakukan di momen Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2023.
"Ada penghargaan untuk para petani yang telah meng-switch, artinya yang tadinya nanam tembakau kini nanam pangan. Kami hargai dan kami beri penghargaan," kata Wakil Menteri Kesehatan Prof. dr. Dante Saksono Harbuwono, Sp.PD-KEMD, Ph.D.
Hal itu juga yang dilakukan oleh dua petani bernama Istanto dan Agus Toni. Mereka sudah menjadi petani tembakau cukup lama, "diwariskan" sejak zaman nenek moyang. Namun, kini keduanya memutuskan 'insaf' alias beralih profesi menjadi petani sayur.
Istanto yang merupakan warga Dusun Truni, Desa Candisari, Kabupaten Magelang, menceritakan bahwa dirinya sudah menjadi petani kopi dan ubi jalar sejak 2013. Sebelumnya, dia merupakan petani tembakau yang diturunkan dari keluarganya.
"Pada tahun 2012 dan 2013 ada kemarau basah, tidak cocok untuk tanam tembakau, jadi lahan yang ada tanaman tembakau kami tanami ubi jalar dan alhamdulillah berhasil. Sampai sekarang dan petani lain pada niru, beralih jadi nanam ubi jalar," tutur Istanto saat ditemui di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, Kamis (8/6/2023).
Sejak menjadi petani ubi jalar, warga yang tinggal di wilayah ketinggian 800 mdpl itu mengaku penghasilannya lebih banyak ketimbang menanam tembakau.
"Kalau saya nanam ubi jalar, hasilnya dibutuhkan tiap hari. Setiap orang butuh dan setiap saat orang beli. Dan dengan pola seperti itu saya panen setiap hari," kata Istanto.
"Kalau tembakau, penghasilan ada tapi tidak sesuai yang diharapkan. Kalau ubi harganya sesuai dengan petani dan menguntungkan. Alhamdulillah lebih sejahtera," sambungnya.
Kisah senada diceritakan warga Desa Ketundan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Agus Toni, yang sudah bertani tembakau selama 10 tahun. Namun, lima tahun belakangan dia memilih beralih menjadi petani cabai.
Toni mengaku untung ketika menjadi petani cabai. Karena tanaman cabai bisa panen berkali-kali ketimbang tembakau yang jangka waktu panennya panjang, yaitu hingga 6 bulan.
"Kalau tembakau itu penghasilannya satu pintu, hanya ke industri rokok, yang nentuin harga pabrik, petani nggak bisa nawar. Kalau di sini (cabai) petani bisa nawar," ungkap Agus Toni.
"Keuntungannya juga jauh lebih banyak ketika bertani sayuran. Walaupun kadang harga sayur naik turun, tapi seringnya naik. Dibanding tembakau harganya di bawah rata-rata. Harga tembakau Rp5.000 per kilo, tapi kalau cuaca ekstrem cuma Rp2.000 atau Rp1.000 per kilo. Kalau nanam tembakau pas hujan harganya anjlok," lanjutnya.
Melihat peluang yang lebih menguntungkan bertani sayuran, Toni mengungkapkan kalau sebagian petani di dusunnya kini beralih ke hortikultura.
"Sudah 50 persen (yang beralih jadi petani sayuran)," tuturnya.
Selain cabai, Toni juga menanam beberapa jenis sayuran lain seperti kubis, brokoli, dan sawi.
Kemenkes Apresiasi Petani yang Tak Lagi Tanam Tembakau
Melihat aksi para petani tembakau yang mengubah profesinya menjadi petani sayuran, Kemenkes pun memberikan apresiasi. Pemberian apresiasi dilakukan di momen Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2023.
"Ada penghargaan untuk para petani yang telah meng-switch, artinya yang tadinya nanam tembakau kini nanam pangan. Kami hargai dan kami beri penghargaan," kata Wakil Menteri Kesehatan Prof. dr. Dante Saksono Harbuwono, Sp.PD-KEMD, Ph.D.
(tsa)