Waspadai Toxic Relationship, Bisa Terjadi pada Hubungan Percintaan hingga Politik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Toxic relationship tidak hanya terjadi dalam sebuah hubungan percintaan saja, juga di lingkungan pertemanan, bahkan hal ini bisa terjadi di dunia politik.
Seperti pernyataan politikus PDIP Aria Bima yang menyinggung toxic relationship alias hubungan tidak sehat.
Menurutnya, toxic relationship tersebut berimbas pada penunjukan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal cawapres Prabowo.
Juru bicara TPN Ganjar-Mahfud tersebut lantas mempertanyakan, apakah hal ini akibat toxic relationship karena adanya keterpengaruhan pola-pola lama.
Bicara soal toxic relationship , pelakunya banyak yang cenderung tidak sadar bahkan terkesan manipulatif. Mengapa bisa demikian? Berikut ulasannya, dilansir dari beberapa sumber pada Kamis (2/11/2023).
Pada dasarnya, toxic relationship diartikan sebagai hubungan yang memiliki suatu perilaku yang beracun pada suatu hubungan yang memiliki dampak pada emosi dan fisik pada korban.
Toxic relationship ini banyak sekali mengangkat suatu kasus yang tak jarang membuat orang-orang lebih membuka mata, hati dan pikiran.
Salah satunya perilaku atau sikap yang sering dilakukan oleh pelaku yang toxic adalah melakukan suatu tindakan perilaku manipulatif. Mereka kerap tidak sadar bahwa mereka memiliki sifat toxic.
Perilaku manipulatif dari pelaku toxic relationship ini merupakan perilaku yang dilakukan oleh seseorang agar mencapai suatu keinginannya, di mana perilaku ini dapat merugikan orang lain.
Biasanya seseorang yang manipulatif akan mengendalikan pikiran dan perilaku seseorang untuk mendapatkan keuntungannya. Hal ini juga kerap terjadi di dinasti perpolitikan untuk menumbangkan lawan.
Orang yang memiliki sifat manipulatif ini akan menyerang bagian mental dan sisi emosional orang lain, dan akan membuat orang lain tersebut merasa bersalah hingga akan meragukan dirinya.
Manipulatif dalam hubungan biasanya ditandai dengan seringnya memutar balikan fakta, tindakan, keinginan dan mengungkit kesalahan yang telah lalu, hal ini dilakukan agar membuat korbannya jadi merasa bersalah.
Dr. Lillian Glass, ahli psikologi dan komunikasi yang berbasis di California mengatakan bahwa toxic relationship secara konsisten tidak menyenangkan dan menguras tenaga orang yang terjebak di dalamnya.
Toxic relationship bisa saja mengikat sehingga korban yang terjebak di dalamnya tidak menyadari bahwa mereka terjebak. Hubungan ini manipulatif, egosentris, penuh kebohongan dan melelahkan.
Dalam toxic relationship pelakunya biasanya dikenal sebagai toxic person. Tipikal toxic person adalah mereka yang membawa energi negatif kepada korbannya baik secara pikiran maupun mental.
Biasanya toxic person menghadapi trauma dan stresnya sendiri untuk itu mereka tidak menampilkan versi terbaiknya dan sering membuat kesal orang lain.
Kata ‘toxic person’ digunakan untuk menggambarkan seseorang yang secara halus atau lahiriah sebagai manipulatif, egois, terlalu membutuhkan, atau suka mengendalikan.
Toksisitas yang ada pada seseorang bukan berarti termasuk gangguan mental. Tetapi mungkin ada masalah mental mendasar yang menyebabkan seseorang bertindak dengan cara yang toxic, termasuk gangguan kepribadian.
Jenis-jenis toxic person pun beragam mulai dari mereka yang gemar manipulatif, tukang gosip, suka menghakimi, temperamental, the dementor, dan the positivity.
“Lantas mengapa orang dengan tipe the positivity ini masuk ke dalam jenis toxic person? Karena bagi saya kepositifan yang terus-menerus diucapkan bahkan dilakukan akan membuat ilusi seolah-olah orang lain atau diri sendiri sudah mencapai titik ‘sempurna’ sehingga tidak perlu usaha untuk meningkatkan kapasitas dirinya sendiri,” tutur Lilian, dilansir dari laman resmi Pemerintah Provinsi Bantul.
“Toxic relationship di sedikit dan banyak kasus biasanya diisi oleh salah satu atau bahkan lebih dari jenis orang-orang toxic yang telah saya paparkan di atas,” ujar dia lagi.
Seperti pernyataan politikus PDIP Aria Bima yang menyinggung toxic relationship alias hubungan tidak sehat.
Menurutnya, toxic relationship tersebut berimbas pada penunjukan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal cawapres Prabowo.
Baca Juga
Juru bicara TPN Ganjar-Mahfud tersebut lantas mempertanyakan, apakah hal ini akibat toxic relationship karena adanya keterpengaruhan pola-pola lama.
Bicara soal toxic relationship , pelakunya banyak yang cenderung tidak sadar bahkan terkesan manipulatif. Mengapa bisa demikian? Berikut ulasannya, dilansir dari beberapa sumber pada Kamis (2/11/2023).
Pada dasarnya, toxic relationship diartikan sebagai hubungan yang memiliki suatu perilaku yang beracun pada suatu hubungan yang memiliki dampak pada emosi dan fisik pada korban.
Toxic relationship ini banyak sekali mengangkat suatu kasus yang tak jarang membuat orang-orang lebih membuka mata, hati dan pikiran.
Salah satunya perilaku atau sikap yang sering dilakukan oleh pelaku yang toxic adalah melakukan suatu tindakan perilaku manipulatif. Mereka kerap tidak sadar bahwa mereka memiliki sifat toxic.
Perilaku manipulatif dari pelaku toxic relationship ini merupakan perilaku yang dilakukan oleh seseorang agar mencapai suatu keinginannya, di mana perilaku ini dapat merugikan orang lain.
Baca Juga
Biasanya seseorang yang manipulatif akan mengendalikan pikiran dan perilaku seseorang untuk mendapatkan keuntungannya. Hal ini juga kerap terjadi di dinasti perpolitikan untuk menumbangkan lawan.
Orang yang memiliki sifat manipulatif ini akan menyerang bagian mental dan sisi emosional orang lain, dan akan membuat orang lain tersebut merasa bersalah hingga akan meragukan dirinya.
Manipulatif dalam hubungan biasanya ditandai dengan seringnya memutar balikan fakta, tindakan, keinginan dan mengungkit kesalahan yang telah lalu, hal ini dilakukan agar membuat korbannya jadi merasa bersalah.
Dr. Lillian Glass, ahli psikologi dan komunikasi yang berbasis di California mengatakan bahwa toxic relationship secara konsisten tidak menyenangkan dan menguras tenaga orang yang terjebak di dalamnya.
Toxic relationship bisa saja mengikat sehingga korban yang terjebak di dalamnya tidak menyadari bahwa mereka terjebak. Hubungan ini manipulatif, egosentris, penuh kebohongan dan melelahkan.
Dalam toxic relationship pelakunya biasanya dikenal sebagai toxic person. Tipikal toxic person adalah mereka yang membawa energi negatif kepada korbannya baik secara pikiran maupun mental.
Biasanya toxic person menghadapi trauma dan stresnya sendiri untuk itu mereka tidak menampilkan versi terbaiknya dan sering membuat kesal orang lain.
Kata ‘toxic person’ digunakan untuk menggambarkan seseorang yang secara halus atau lahiriah sebagai manipulatif, egois, terlalu membutuhkan, atau suka mengendalikan.
Toksisitas yang ada pada seseorang bukan berarti termasuk gangguan mental. Tetapi mungkin ada masalah mental mendasar yang menyebabkan seseorang bertindak dengan cara yang toxic, termasuk gangguan kepribadian.
Jenis-jenis toxic person pun beragam mulai dari mereka yang gemar manipulatif, tukang gosip, suka menghakimi, temperamental, the dementor, dan the positivity.
“Lantas mengapa orang dengan tipe the positivity ini masuk ke dalam jenis toxic person? Karena bagi saya kepositifan yang terus-menerus diucapkan bahkan dilakukan akan membuat ilusi seolah-olah orang lain atau diri sendiri sudah mencapai titik ‘sempurna’ sehingga tidak perlu usaha untuk meningkatkan kapasitas dirinya sendiri,” tutur Lilian, dilansir dari laman resmi Pemerintah Provinsi Bantul.
“Toxic relationship di sedikit dan banyak kasus biasanya diisi oleh salah satu atau bahkan lebih dari jenis orang-orang toxic yang telah saya paparkan di atas,” ujar dia lagi.
(tdy)