Metode Wolbachia Disebut Berisiko, Nyamuk Wolbachia Batal Dilepas
loading...
A
A
A
Berkaca dari keberhasilan tersebut, Pemerintah baru-baru ini lantas sempat berencana kembali melakukan pilot project penanggulangan kasus demam berdarah dengan metode wolbachia.
Pilot project tersebut sebelumnya direncanakan di kota-kota yang memiliki angka insiden atau kesakitan Dengue tinggi, seperti Bandung, Bali, Kota Administrasi Jakarta barat, Kota Bontang, Kota Kupang dan Kota Semarang.
Pasalnya, metode wolbachia ini dinilai masih memiliki pro dan kontra. Hal ini lah yang membuat berbagai pihak akhirnya mengecam rencana Pemerintah yang akan melakukan penyebaran telur nyamuk Aedes Aegypti yang terpapar bakteri Wolbachia tersebut.
Salah satunya melalui Gerakan Sehat Untuk Rakyat Indonesia yang diinisiasi oleh SFS Foundation, ASPEK Indonesia, dan Gladiator Bangsa.
Saat itu, Pemerintah didesak untuk segera menghentikan rencana pelepasan 200 juta nyamuk Wolbachia yang akan berlansung di Pulau Bali dan juga di 5 kota lainnya yaitu di Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Kupang dan Bontang.
“Gerakan Sehat Untuk Rakyat Indonesia mengingatkan Pemerintah untuk segera menghentikan rencana pelepasan 200 juta nyamuk Wolbachia di Pulau Bali pada 13 November 2023, dan juga di 5 kota lainnya yaitu di Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Kupang dan Bontang,” tulis kecaman tersebut, dilansir dari rilis yang diterima MNC Portal, beberapa waktu lalu.
Program penyebaran nyamuk yang bekerja sama dengan World Mosquito Program (WMP) ini mengklaim akan menurunkan penyakit Demam Berdarah. Padahal, Pemerintah telah berhasil melakukan pengendalian Demam Berdarah dalam 10 tahun terakhir.
Bukan tanpa alasan, program pelepasan ratusan juta nyamuk Wolbachia di Indonesia ini dinilai membawa risiko parah. Salah satunya risiko terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan.
Pasalnya, sejauh ini belum ada studi menyeluruh di Bali, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Kupang dan Bontang secara jangka panjang terkait efektivitas program penyebaran nyamuk ini, sehingga berpotensi risiko terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan, termasuk Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Pilot project tersebut sebelumnya direncanakan di kota-kota yang memiliki angka insiden atau kesakitan Dengue tinggi, seperti Bandung, Bali, Kota Administrasi Jakarta barat, Kota Bontang, Kota Kupang dan Kota Semarang.
Metode wolbachia disebut berisiko
Namun, rencana penyebaran jutaan telur nyamuk Aedes Aegypti yang terpapar bakteri wolbachia di Bali pada Senin (13/11/2023), justru dibatalkan Pemerintah. Pembatalan itu juga terjadi di sejumlah kota lainnya.Pasalnya, metode wolbachia ini dinilai masih memiliki pro dan kontra. Hal ini lah yang membuat berbagai pihak akhirnya mengecam rencana Pemerintah yang akan melakukan penyebaran telur nyamuk Aedes Aegypti yang terpapar bakteri Wolbachia tersebut.
Salah satunya melalui Gerakan Sehat Untuk Rakyat Indonesia yang diinisiasi oleh SFS Foundation, ASPEK Indonesia, dan Gladiator Bangsa.
Saat itu, Pemerintah didesak untuk segera menghentikan rencana pelepasan 200 juta nyamuk Wolbachia yang akan berlansung di Pulau Bali dan juga di 5 kota lainnya yaitu di Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Kupang dan Bontang.
“Gerakan Sehat Untuk Rakyat Indonesia mengingatkan Pemerintah untuk segera menghentikan rencana pelepasan 200 juta nyamuk Wolbachia di Pulau Bali pada 13 November 2023, dan juga di 5 kota lainnya yaitu di Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Kupang dan Bontang,” tulis kecaman tersebut, dilansir dari rilis yang diterima MNC Portal, beberapa waktu lalu.
Program penyebaran nyamuk yang bekerja sama dengan World Mosquito Program (WMP) ini mengklaim akan menurunkan penyakit Demam Berdarah. Padahal, Pemerintah telah berhasil melakukan pengendalian Demam Berdarah dalam 10 tahun terakhir.
Bukan tanpa alasan, program pelepasan ratusan juta nyamuk Wolbachia di Indonesia ini dinilai membawa risiko parah. Salah satunya risiko terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan.
Pasalnya, sejauh ini belum ada studi menyeluruh di Bali, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Kupang dan Bontang secara jangka panjang terkait efektivitas program penyebaran nyamuk ini, sehingga berpotensi risiko terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan, termasuk Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).