Pendiri Dongeng Kopi, Renggo Darsono: Lebih dari Sekadar Ngopi

Minggu, 11 Maret 2018 - 13:00 WIB
Pendiri Dongeng Kopi, Renggo Darsono: Lebih dari Sekadar Ngopi
Pendiri Dongeng Kopi, Renggo Darsono: Lebih dari Sekadar Ngopi
A A A
MENGONSUMSI kopi bukan sekadar hobi ataupun pemenuhan gaya hidup, melainkan juga untuk mendapatkan beragam cerita. Adalah Renggo Darsono yang membuat kegiatan ngopi menjadi lebih bermakna.

Bagi para pencinta kopi, minuman kegemaran mereka itu bisa menghantarkan banyak cerita. Tak ayal, beragam komunitas ataupun wadah pencinta kopi bermunculan, salah satunya Dongeng Kopi. Ya, Dongeng Kopi hadir di antara para pencinta kopi untuk berkumpul, saling bertukar info mengenai kopi, membuat kopi bersama, dan menilai racikan masing-masing.

Bukan cuma bagi pencinta kopi, Dongeng Kopi juga ada bersama petani, membantu mereka memberikan harga biji kopi terbaik. Apa dan bagai mana perjalanan eksistensi Dongeng Kopi? Inilah kisah Renggo, pemuda asal Yogyakarta pendiri Dongeng Kopi yang kini menjadi tempat favorit anak muda, kepada KORAN SINDO.

Bagaimana awal Dongeng Kopi Anda dirikan?

Dongeng Kopi awalnya hanyalah ruang berbagi cerita mengenai kopi di dunia maya, hadir pada medio 2012. Saat itu saya tidak menyangka bila kejadian iseng di tengah melepas lelah empat tahun lalu di kontrakan Manggarai bersama Sigit Karyadi Budiono, Patar Nainggolan, dan Pangihutan B Haloho selepas aktivitas bekerja, berbuntut panjang. Bersama segelas kopi saset dan sebungkus rokok, saya iseng bikin akun Twitter bertajuk Cerita Kopi.

Pada 7 Oktober 2012 adalah kali pertama Dongeng Kopi berbagi cerita soal kopi melalui lini masa di akun media sosial yang sempat menjadi ruang paling efektif membangun isu, kala itu. Rupanya respons di media sosial sangat bagus. Follower kami bertumbuh pesat. Saat itu sebagai moderator dan admin, saya memang menyembunyikan identitas dan menyaru sebagai seorang perempuan usia matang yang menggilai kopi, sedikit melek sastra, puitis, dan sedikit merayu dengan nama Praba Kejora.

Entah kenapa, kemudian follower kami lebih sering memanggil saya sebagai admin dan moderator dengan panggilan tante. Dari Twitter ini juga saya kemudian berkenalan dengan banyak kawan yang bergelut di bidang kopi, sampai kemudian membagikan kami kopi, yang muaranya saya bagikan kepada follower. Sekitar Januari 2013, saya balik ke Yogyakarta dan bereksperimentasi bersama satu kawan SMA untuk mengelola sebuah kedai di bilangan Seturan. Perjalanan waktu kemudian mengajarkan kepada saya bahwa dalam bisnis segala sesuatu bisa terjadi. Kami pecah kongsi dan saya undur diri.

Dalam perjalanan waktu, warung kopi Seturan mempertemukan saya dengan beberapa orang, terutama temanteman komunitas, seperti komunitas akademi berbagi, komunitas literasi, kelas inspirasi, dan memungkinkan harapan beberapa follower Twitter menjadikan ruang kopi darat menjelma nyata adanya. Dengan sekian gagasan kami yang membuncah, bersama Irwan Bajang, founder Indie Book Corner, kami mengawinkan kopi, buku, dan komuni tas. Kami realisasikan di pengujung 2013.

Jadi memang berawal dari komunitas, ya?

Iya, saya dan Bajang punya satu kesamaan bahwa kopi harus hidup dalam habitat yang tepat agar kemudian menjadi produktif. Bajang adalah karib saya di kampus. Kami satu kontrakan, sama-sama aktif di satu organisasi, bahkan saat kami dicalonkan kawan-kawan menjadi ketua dan sekjen BEM, kami satu paket dan menang mutlak. Jadi, bercerita mengenai Dongeng Kopi, sesungguhnya bertumbuh dan besar karena dukungan kawan, teman, serta pelanggan.

Kolaborasi kami juga tidak hanya diproses menempati ruang, tetapi juga termasuk membangun atmosfer, entitas seperti kelompok street art, radio buku, puisi indo Jogja, fandom ID, toko budi, kawan-kawan blogger, aktivis Persma, penggiat LSM, kawan-kawan wartawan adalah pihak yang tak pernah lelah memberikan kami masukan dan membuat kami terus berbenah saban hari membangun ruang yang menyenangkan.

Anda juga aktif memberdayakan atau membantu petani kopi. Dengan cara apa?

Kebetulan koleksi kopi yang kami miliki saat ini cukup variatif dari Aceh sampai Papua, dari Gayo sampai Wamena. Kopi yang kami sajikan sebagian besar terintegrasi dengan kebun yang kami jalin kontak langsung dengan kelompok tani di berbagai wilayah. Mengapa demikian? Hal ini dimulai dengan proses menjaga konsistensi produk baik secara kualitas maupun kuantitas.

Awal mula kami buka, kami sempat mendapati beberapa komplain dari pelanggan yang mengatakan bahwa kopi A misalnya, kok rasanya beda dengan bulan kemarin. Kopi B hari ini sangat pas, tetapi kenapa di bulan berikutnya kok beda. Nah, dari situ kemudian kami langsung memutus suplai dari pihak ketiga, dan mengambil konsep direct trade.

Seiring perjalanan waktu, jejaring kami tumbuh dengan beberapa kali petani singgah di kedai kami menawarkan green bean dan meminta beberapa masukan. Nah, Dongeng Kopi kemudian menjadi ruang dialektika antara pelaku di bagian hulu dan penikmat di bagian hilir. Kami sangat senang dengan hal tersebut, karena beberapa hal terkadang datang tanpa diduga.

Yogya, sebagai ruang pertautan banyak etnis, suku, dan ras yang begitu beragam, membuat segala sesuatu yang kadang kami pikirkan tidak mungkin menjadi mungkin. Beberapa kali pelanggan datang dan bercerita bahwa ia berasal dari keluarga petani kopi. Tetapi sayang, kopi yang dijual selama ini harganya masih di bawah rata-rata. Kemudian, kami sambungkan dengan satu pelanggan yang sempat menawarkan kopi dari daerahnya, tetapi hasilnya sangat bagus. Kami pernah diajak ke daerahnya dan sampai saat ini kami dipasok dari daerahnya. Lalu, kami sambungkan dan mereka berbagi cerita. Nah, beberapa hal dialektika kami justru hadir dari perbincangan dengan pelanggan. Termasuk saat kami kemudian bisa "ngangsu kawruh" di Puslitkoka (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao) di Jember. Itu juga berkat pelanggan yang kebetulan omnya adalah direktur di sana.

Bagaimana perkembangan Dongeng Kopi kini?

Dongeng Kopi tahun ini masuk di tahun keenam, dan secara operasional masuk di tahun kelima. Satu pencapaian yang sangat tidak kami duga, karena dulu kami awal buka di Yogya masih belum seramai sekarang, di mana kedai-kedai kopi begitu mudah ditemui di saban gang dan tiap jalan. Saya masih ingat sekali dulu kami jualan kopi arabica speciality dibilang sama orang sebagai kopi basi dan mahal, rasanya mirip teh, lantaran acidity-nya tinggi. Dulu kami memulai dari lima meja dan kini sudah agak lumayanlah.

Apa perbedaan kedai Dongeng Kopi dengan kedai kopi lain?
Di kedai kami, tidak ada menu kopi. Bila konsumen hendak memesan kopi, ia harus beranjak menuju meja bar untuk berbincang kepada barista. Kami sadar, kopi itu soal selera. Bukan enak tak enak. Selera saya dengan selera Dian Sastro tentu beda, pun demikian dengan selera Rangga. Nah, bagaimana merealisasikan keinginan pelanggan, biasanya ada proses "ngobrol" selain juga barista bisa merekomendasikan kopi mana yang seru untuk dicoba. Makanya di tempat kami, seorang barista harus bisa menjadi juru cerita. Bercerita tentang apa saja, termasuk kopi dari hulu sampai hilir. Itu yang pertama. Berikutnya kami biasa bikin beberapa program yang sifatnya edukatif dan melibatkan banyak pihak.

Misalkan program "Make Your Own Coffee", satu program yang kami hadirkan tiap pagi saat jam buka pukul 08.00-12.00 WIB. Program ini adalah bagian dari realisasi atas kampanye kami dengan jargon #StopKopiSobek, satu kampanye frontal untuk mencuri perhatian bahwa berhentilah minum kopi saset, nikmati kopi terbaik Nusantara!

Jadi, ada banyak program yang ingin disampaikan Dongeng Kopi melalui media sosial atau komunitas, juga disampaikan di kedai kopi secara langsung kepada konsumen?
Ya, memang inilah kegiatan yang kami lakukan. "Make Your Own Coffee" adalah satu program di mana pelanggan bila datang di pagi hingga menjelang matahari meninggi, bisa bikin kopi sendiri dengan didampingi barista. Diajari dengan sekian alat seduh manual yang ada, kemudian bisa memilih kopi sendiri, diberikan satu cerita tentang kopi tersebut, tentang alat yang digunakan, bagaimana agar bisa merealisasikan kopi yang diinginkan, dan bayarannya suka-suka alias ditentukan oleh pelanggan sendiri.

Nah, di program ini kami ingin mengajak para pelanggan yang sensitif terhadap harga yang kami buat untuk dapat ngopi speciality, kopi berkualitas terbaik dengan membayar berdasarkan ketentuan yang dinilai sendiri oleh pelanggan. Kami ingin jargon kami tentang kampanye stop kopi sobek tidak menjadi gaung kosong dengan program ini. Dan, ini rupanya menjadi alat buzz yang efektif. Kemudian tiap Jumat kliwon, kami adakan program ngaji kopi. Satu program yang membicarakan soal kopi dari hulu sampai hilir. Dari proses budi daya maupun hal-hal yang berhubungan dengan kopi yang menjadi cerita seru.

Selain itu, kami juga punya mobile cafe melalui KOMBIKONGO (Kombi Konco Ngopi) yang rutin berkeliling menyajikan kopi di berbagai penjuru mata angin di Yogya, selain juga berbagi kopi kepada khalayak banyak. Beberapa program yang kami lakukan secara sederhana tersebut kemudian menjadi alat yang cukup efektif dalam menguatkan WOM Dongeng Kopi. Kini kami sudah semakin mantap sebagai kedai yang terintegrasi dengan kopi, buku, dan komunitas. Termasuk juga kelas seduh manual yang kami gelar rutin tiap bulan secara gratis. Syaratnya hanya membeli kopi dari stok yang overproduksi dari kopi jaringan kelompok tani kami.

Makanya tiap angkatan, kopinya selalu tidak sama. Menyesuaikan kopi yang overproduksi saat tahun panen. Niat awalnya selain mendorong wirausahawan baru, tenaga terampil barista, juga untuk membantu serapan petani. Sekitar 60% dari kelas seduh kini sudah membuka kedai, dan sisanya masuk di berbagai kedai.

Bagaimana tren minum kopi saat ini menurut Anda ?
Ini menjadi peluang besar bagi pencinta kopi yang ingin punya bisnis. Saat ini pasar kopi, terutama speciality, sudah sampai pada taraf menggembirakan. Bila kita sebut, sudah sampai pada taraf dewasa. Tidak seperti saat Dongeng Kopi baru buka, kami masih harus getol edukasi. Saya ingat banget dulu saya sampai bikin jargon untuk mencuri perhatian publik Yogya dengan slogan #StopKopiSobek. Sekarang pasar sudah sampai ke hiperkompetitif, terutama di Yogya ya. Modal-modal besar sudah masuk dan sampai pada taraf perang harga.

Jika hendak masuk bisnis ini, bila positioning-nya tidak tepat, tidak punya diferensiasi, sama dengan menggali kubur sendiri. Setiap hari selalu ada yang buka, ada juga yang tutup. Maka itu, kami sering sekali diminta untuk bantu jualkan lelang barang kedai-kedai yang tutup tersebut.

Apa kiat sukses Anda?
Setia pada apa yang sudah dipilih. Tekun, teliti, dan tahan uji.

Menurut Anda bagaimana kualitas kopi di Indonesia dan kesejahteraan petani kopi?
Saat ini kualitas kopi di Indonesia sudah menggembirakan, karena banyak sekali yang peduli. Barista, roaster, bahkan konsumen sekarang sering banget datang ke kebun untuk ngobrol dengan petani. Tidak jarang mereka memberikan masukan secara mandiri. Bahkan, pihak swasta banyak yang memberikan bantuan, pemerintah daerah juga. Di beberapa wilayah bahkan ada alokasi dana CSR untuk memberikan mesin pengupas buah kopi huller maupun pulper kepada kelompok tani. Ada juga dana desa yang dialokasikan untuk membeli mesin sangrai sehingga kelompok tani memiliki produk jadi, tidak hanya produk mentah. Dan kini, seiring permintaan yang meningkat akan stok kopi, praktis juga berimbas pada nilai tukar yang meningkat.
(amm)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7293 seconds (0.1#10.140)