Kolaborasi Berbagai Pihak Dibutuhkan untuk Tangani Hemofilia di Indonesia

Jum'at, 05 Maret 2021 - 00:42 WIB
loading...
Kolaborasi Berbagai...
Pada 2020, sebanyak 2.706 orang di Indonesia menderita hemofilia. Foto Ilustrasi/Hemophilia News Today
A A A
JAKARTA - Pada 2020, sebanyak 2.706 orang di Indonesia menderita hemofilia. Hemofilia merupakan penyakit kelainan darah langka yang dapat menyebabkan efek serius hingga membahayakan jiwa penderitanya.

Sebanyak 82% atau 2.214 penyandang hemofilia di Indonesia memiliki jenis hemofilia A dan sisanya hemofilia B. Dari jumlah penyandang hemofilia A, 58% di antaranya adalah anak-anak berusia 0-18 tahun.

Penyandang hemofilia A kekurangan faktor pembekuan darah VIII (faktor VIII), di mana darah tidak dapat membeku secara normal sehingga pasien akan mengalami episode perdarahan yang lama dan bahkan tak terkendali akibat sebuah benturan ringan ataupun karena pendarahan yang terjadi secara spontan (tanpa adanya benturan).



Penyandang hemofilia juga memiliki risiko kesehatan yang serius berupa pembengkakan sendi, kecacatan hingga membahayakan jiwa. Terutama bagi anak-anak, kondisi ini sering kali membatasi mereka untuk dapat beraktivitas normal.

Fasilitas kesehatan yang masih terpusat di kota-kota besar dan sumber daya yang terbatas ditambah dengan penyebaran penduduk di berbagai pulau di Indonesia menjadi beberapa tantangan bagi masyarakat untuk mendapatkan akses ke pelayanan penanganan hemofilia.

Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia Prof. dr. Djajadiman Gatot, Sp.A(K) mengatakan, masih banyak ketidaktahuan masyarakat mengenai gejala maupun penanganan hemofilia. Padahal, kejadian hemofilia membutuhkan penanganan khusus dan segera agar tidak menimbulkan risiko serius dalam jangka panjang.

Pengobatan hemofilia saat ini telah didukung oleh pemerintah melalui Jaminan Kesehatan Nasional atau BPJS, sehingga penyandang hemofilia di Indonesia dapat memperoleh pengobatan faktor pembekuan yang dibutuhkan. “Namun, masih terdapat beberapa kendala terkait jumlah obat dan dosis yang belum memadai sehingga banyak ditemui pasien yang mengalami kerusakan sendi, perdarahan berat seperti perdarahan otak dan organ dalam yang berisiko kematian,” jelas Prof. Djajadiman dalam Media Briefing Virtual, beberapa waktu lalu.

Selain itu, beberapa pasien mengalami penolakan terhadap obat faktor pembekuan darah yang diberikan. “Untuk itu, pengobatan antiinhibitor dan terapi pencegahan atau profilaksis yang dilakukan secara rutin seperti yang telah dilakukan di berbagai negara dapat menjadi salah satu solusi untuk menjawab tantangan yang dihadapi pasien,” terang Prof. Djajadiman.



President of World Federation of Hemophilia Cesar Alejandro Garrido mengatakan, hampir 75% orang dengan gangguan perdarahan tidak terdata. Sementara itu, hanya sekitar 20% dari pasien yang telah didiagnosis mendapatkan perawatan yang adekuat.

Di Indonesia, menurut Survei Global Tahunan World Federation of Hemophilia, hanya 8,3% pasien hemofilia yang telah terdata. “Panduan pengobatan edisi ke-3 kami menetapkan bahwa profilaksis merupakan pengobatan standar di berbagai negara dan pasien hemofilia perlu mendapatkan pengobatan yang lebih efektif agar mengurangi pendarahan atau bahkan tidak mengalami pendarahan. Dengan demikian mengurangi konsekuensi akibat tata laksana yang buruk,” pungkas Cesar.
(tsa)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1598 seconds (0.1#10.140)