Penyakit Ginjal, Ancaman The Silent Killer

Kamis, 25 Maret 2021 - 05:53 WIB
loading...
Penyakit Ginjal, Ancaman...
Penyakit ginjal menjadi salah satu penyakit yang pada masa stadiun awal banyak tidak disadari masyarakat. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Silent killer, demikianlah penyakit gagal ginjal atau ginjal kronik disebut. Julukan ini diberikan karena sering kali penderita tidak merasakan gejala tertentu hingga penyakit sudah memasuki stadium lanjut dan fungsi ginjal telah menurun dan risiko yang dihadapi sudah fatal.

Di Tanah Air, penyakit ginjal kronik menjadi perhatian serius karena prevelensi terus meningkat. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan prevalensi penduduk Indonesia yang menderita gagal ginjal sebesar 0,2% atau 0,2 per 1.000 penduduk. Secara global, menurut hasil Global Burden of Disease tahun 2010, ginjal kronis merupakan penyebab kematian peringkat ke-27 di dunia tahun 1990 dan meningkat menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010.



Di sisi lain, data Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2018 menyebut, terdapat 65.947 pasien baru yang membutuhkan cuci darah, 92% di antaranya termasuk dalam kategori penyakit ginjal tahap akhir. Selain menmbulkan risiko fatal karena keterlambatan, penanganan ginjal kronis membutuhkan dana yang tidak murah. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut, perawatan penyakit ginjal merupakan ranking kedua pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah penyakit jantung .

Melihat fakta tersebut, Hari Ginjal Sedunia yang diperingati setiap 12 Maret bukan sekadar menjadi penanda bahwa penyakit ginjal merupakan salah satu penyakit dengan tingkat kematian tinggi, tapi juga mengingatkan pentingnya untuk mencegah penyakit tersebut.

Bahkan, saat Budi Gunadi ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Kesehatan menggantikan Terawan Agus Putranto, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) mengingatkan bahwa Kemenkes bukan hanya menghadapi pandemi Covid-19, tapi juga ancaman penyakit tidak menular seperti stroke, diabetes, jantung, dan gagal ginjal yang menjadi pembunuh nomor satu di Indonesia. Apalagi dalam kondisi pandemi, penderita penyakit tersebut paling berisiko.



Melihat tingginya prevelansi angka penderita ginjal, anggota DPR komisi IX Kurniasih Mufidayati meminta pemerintah tak henti mengkampanyekan kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan ginjal. Harapannyan penyakit gagal ginjal bisa dicegah dan progresivitas menuju gagal ginjal dapat diperlambat.

"Dalam tataran yang lebih mikro, pemerintah membuat kebijakan untuk mendorong dan mendukung pola hidup sehat masyarakat yang sadar kesehatan ginjal. Misalnya, mewajibkan instansi pemerintah dan swasta untuk menyediakan air minum gratis dan memasang indikator dehidrasi di setiap toilet, yang beberapa telah diterapkan oleh sebagian instansi,"ujar anggota dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

Dia pun menandaskan Kemenkes terus meningkatkan kinerjanya dalam menjalankan pelayanan kesehatan dengan mengutamakan preventif dan promotif. "Ini sesuai dengan Undang-Undang kesehatan yang harus mengutamakan pendekatan kuratif dan rehabilitatif sehingga para pasien bisa dengan mudah mengakses layanan kesehatan," tuturnya.

Sementara itu, Ketua Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia Tony Samosir mengungkapkan banyaknya persoalan yang dihadapi penderita gagal ginjal. Persoalan dimaksud mulai dari pelayanan untuk pasien cuci darah saat ini belum optimal, akses pasien untuk mendapat obat juga masih susah, dan tidak semua rumah sakit memiliki unit layanan cuci darah.

Secara khusus dia meminta pemerintah meningkatkan kualitas pelayanan cuci darah. Menurut dia, pelayanan untuk pasien cuci darah di Tanah Air saat ini masih dalam kategori sub standar. Disebutkan, intensitas pasien yang menjalani cuci darah baru dua kali sepekan, sedangkan di luar negeri sudah tiga kali sepekan. Pun waktu untuk sekali tindakan cuci darah pun masih waktu terminim yang diterapkan.

“Kita ini sub standar karena kalau di luar negeri cuci darah sudah 3 kali seminggu, bukan 2 kali seminggu. Pelayanan kita masih sub standar karena waktu yang diberikan untuk cuci darah masih yang paling minim, minimal sekali,” katanya.

Menurut dia, kondisi tersebut terjadi karena faktor pembiayaan yang sangat mahal. Secara tidak langsung kondisi yang terjadi berdampak pada kualitas pasien cuci darah. “Faktornya pembiayaan. Dibanding di luar kualitas pasien cuci darah masih jauh. Di luar negeri sudah 12 jam sepekan. Di Indonesia masih 8 jam seminggu. Di beberapa RS masih ada 3-4 jam padahal rekomendasinya 5 jam per datang. Di indonesia masih 10 jam per minggu. Ini masih kurang dirasa,” ungkapnya.

Kendala lain yang diihadapi penderita terkait masih kurangnya unit cuci darah di Indonesia. Dari data yang di Indonesia Renal Register, jumlah unit cuci darah hanya 960 saja. Itu pun dirasa kurang untuk memenuhi standar ideal pelayanan populasi pasien cuci darah. “Unit cuci darah di daerah masih sedikit, misal di Maluku dan Papua yang teregister di Indonesia Rena Register sekitar lima unit cuci darah dari total 960 unit cuci darah yang teregister,” paparnya.

Karena itulah, Tony melihat perlunya aturan yang memudahkan pendirian unit cuci darah. Saat ini pendirian itu kewenangan bukan hanya satu pihak saja, tapi ada beberapa pihak misal dari Dinas Kesehatan dan perhimpunan Nefrologi yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 812 tentang Penyelenggaran Hemadialosa.

“Kemudian ada juga rekomendasi dari perhimpunan. Lalu BPJS Kesehatan juga boleh mengatur titiknya di mana. Kita berharap hemadialosa itu bisa lebih merata karena bertambah jumlah populasi cuci darah,” tegasnya.

Apa itu Gagal Ginjal?
Fungsi ginjal seseorang bisa saja mengalami penurunan atau bahkan tidak berfungsi dengan baik karena berbagai faktor risiko. Kondisi ini bisa dikatakan sebagai penyakit ginjal kronik atau lebih dikenal dengan gagal ginjal. Ginjal menjadi salah satu organ tubuh yang berperan penting dalam membuang senyawa racun yang membahayakan tubuh. Selain itu, Ginjal juga bekerja membuang kadar garam berlebihan dan urea atau limbah yang mengandung nitrogen hasil metabolisme protein yang tidak dibutuhkan tubuh.

Sehingga, jika organ ginjal terganggu atau tidak dapat berfungsi dengan baik, maka tubuh akan menyimpan banyak racun dan menjadi tidak sehat. pada tahap lanjut, pasien gagal ginjal kronik harus menjalani hemodialisis atau cuci darah. Sebab, ginjal tidak lagi bisa menjalankan fungsi utamanya, yaitu menyaring limbah hingga cairan dalam tubuh.



Spesialis penyakit dalam Prof Dr dr Suhardjono menjelaskan, penyakit ginjal kronik adalah penurunan fungsi atau struktur ginjal yang lebih dari tiga bulan. Ada dua jenis gagal ginjal, yakni gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik (GGK).

"Pasien sering tidak sadar jika tubuhnya menyesuaikan dengan penurunan fungsi ginjalnya. Gagal ginjal akut sering terjadi mendadak, hanya dalam hitungan jam sampai minggu, faktor penyebabnya seperti pendarahan berat, dehidrasi, syok, infeksi berat (sepsis), reaksi alergi, obat-obatan, keracunan, dan sumbatan di saluran kemih," kata Suhardjono.

Sedangkan untuk gagal ginjal kronik, ia pun menegaskan umumnya berlangsung lama, tapi progresif. Penyakit ini muncul karena masalah ginjal atau dipicu oleh penyakit lain dari luar. Seperti diabetes, hipertensi, infeksi, dan penyakit autoimun‎.

"Alkohol bisa menjadi penyebab dan memperberat, tetapi tidak menjadi penyebab utamanya. Harus ada penyakit lain seperti diabetes, hipertensi, infeksi ginjal, batu ginjal, dan gangguan lainnya,"tambahnya.

Pada 2016, penyakit ginjal kronik merupakan penyakit katastropik kedua terbesar setelah penyakit jantung yang menghabiskan biaya kesehatan sebesar Rp2,6 triliun rupiah.

"Penyakit ginjal kronik tidak dapat sembuh dan pengobatannya relatif panjang. Tapi bisa dicegah dan dikendalikan untuk memperlambat kerusakan, salah satunya dengan dialisis,"tutur Suhardjono.

Sayangnya, tingkat kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan ginjal masih cukup rendah. Sehingga, pada stadium awal penyakit ini sering tidak disadari, sampai akhirnya pasien diharuskan menjalani cuci darah. Dokter konsultan ginjal dan hipertensi Aida Lydia mengatakan, pada stadium awal pasien mungkin masih bisa jalan-jalan meski ginjal bermasalah, walau hampir cuci darah.

"Pada awalnya, penyakit ini sering tidak memunculkan gejala. Sembilan dari sepuluh orang tidak menyadari memiliki penyakit ginjal kronik. Gejala yang khas yaitu nyeri pinggang. Itu pun, masih banyak pasien yang tidak menyadarinya jika hal tersebut sebagai suatu masalah yang ditimbulkan oleh ginjal," kata Aida saat dihubungi Koran SINDO.

Ia pun menegaskan bahwa penyakit ginjal ini sering kali tidak menimbulkan gejala pasti. Jika ada yang bertanya apa rasanya, ditahap awal tidak ada rasanya. Itulah yang menyebabkan sulitnya mencegah pasien jangan sampai harus cuci darah. Tetapi, terdapat penanda untuk mengetahui kerusakan ginjal yakni adanya protein di urine, peningkatan kreatinin darah, kelainan pemeriksaan histopatologi, riwayat transplan ginjal, serta penurunan laju filtrasi ginjal.

"Jika bertemu pasien stadium satu sampai dua, peluang pengobatan semakin besar. Semakin dini diobati, semakin jauh kemungkinan dialisis-nya," lanjut Aida.

Terdapat lima stadium penurunan fungsi ginjal yaitu, pada stadium pertama laju filtrasi ginjal lebih dari 90ml dikatakan normal dengan bukti kerusakan pada ginjal. Stadium dua, laju filtrasi ginjal 60ml sampai 89ml, sedikit menurun dengan bukti kerusakan pada ginjal.

Stadium tiga, laju filtrasi ginjal 30ml sampai 59ml dikategorikan menurun sedang dengan atau tanpa bukti kerusakan ginjal. Stadium empat, laju filtrasi ginjal 15ml sampai 29ml, dikatagorikan menurun parah, dengan atau tanpa bukti kerusakan ginjal. Stadium lima, laju filtrasi ginjal kurang dari 15ml, dikatagorikan gagal ginjal. "Pasien dikatakan gagal ginjal jika sudah memasuki stadium lima," ucap Aida.

Data global menunjukkan, 13% orang di dunia berada pada stadium 3 dan lebih dari 1 juta orang di dunia mengalami gagal ginjal. Di Indonesia sendiri menurut Aida, prevelensi penyakit ginjal kronik mencapai 3,8%. Berdasarkan data Indonesia Renal Registry (IRR) 499 orang per 1 juta penduduk mengalami gagal ginjal dan memerlukan dialisis.

Ia pun menambahkan, penyebab utama terjadinya penyakit ginjal kronik dan gagal ginjal di Indonesia adalah hipertensi 36%, diabetes 28% dan lainnya seperti nefropati obstruksi, asam urat, lupus, ginjal polikistik, dan glomerulopati primer 10%. "Tanda dan gejala yang timbul karena penyakit ginjal sering kali tidak spesifik dan muncul saat penurunan fungsi ginjal sudah berat. Hipertensi dan diabetes merupakan penyebab terbesar penyakit ginjal kronik. Oleh karena itu, rutin untuk mengecek tekanan darah dan kadar gula darah," tutur Aida.

Cara paling baik untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi ginjal menurut Aida adalah dengan rutin melakukan pemeriksaan urine lengkap. Apalagi mereka yang memiliki faktor resiko, seperti obesitas, sakit hipertensi, diabetes, hingga berusia di atas 60 tahun.

Penyakit ginjal kronik dapat dicegah dengan menerapkan gaya hidup sehat seperti menjaga berat badan, konsumsi air putih yang cukup, makan makanan bergizi, olahraga teratur, serta hindari roko, alkohol dan makanan instan.

"Jadi gagal ginjal itu bisa dicegah, tapi begitu terkena gagal ginjal tidak berarti langsung kiamat. Bisa ditangani dengan cuci darah, peritoneal dialysis, transplantasi ginjal, dan hemodialisis," ucap Aida.
(ynt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1655 seconds (0.1#10.140)