Saipul Jamil Muncul di TV Berdampak Buruk ke Korban, KPAI: KPI Harus Bertindak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penyambutan secara luar biasa, kemudian menampilkan sosok Saipul Jamil di televisi secara terang-terangan dinilai Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI ) mencoreng Undang-Undang, dalam hal ini Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Secara detail, undang-undang itu berbunyi; penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol, dan perekat sosial.
Selain itu, menurut ketentuan Pasal 72 (5) Undang-undang No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak , peran media massa dilakukan melalui penyebarluasan informasi dan materi edukasi yang bermanfaat dari aspek sosial, budaya, pendidikan, agama, dan kesehatan Anak dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak.
"Jika melihat ketentuan dimaksud, maka isi siaran harus terpilih, sehat untuk perkembangan anak, serta berorientasi kepentingan terbaik bagi anak. Maraknya tayangan yang menampilkan figur pelaku kejahatan seksual terhadap anak bukan informasi yang tepat dan berkesesuaian dengan stimulasi perkembangan anak. Pemberitaan yang berlebihan justru rentan menimbulkan beragam dampak," terang Ketua KPAI Susanto, dalam keterangan resminya, Selasa (7/9/2021).
Ya, apa yang dilakukan televisi dapat menimbulkan dampak tidak baik kepada korban kekerasan seksual pada anak lainnya. KPAI sendiri mencatat ada 3 dampak yang bisa timbul ketika pelaku kekerasan seksual pada anak diglorifikasi di media massa.
Pertama, kata Susanto, rentan berdampak imitatif bagi anak, karena meski ia menjadi pelaku kejahatan seksual, tetap terkesan terhormat.
Kedua, rentan menimbulkan kesan bahwa pelaku kejahatan seksual terhadap anak merupakan hal biasa. Padahal kejahatan seksual terhadap merupakan kejahatan yang menjadi konsen serius negara.
Ketiga, pemberitaan yang berlebihan dapat mengganggu suasana batin masyarakat dan korban.
"Terkait hal ini, KPAI telah menyampaikan surat kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), agar melakukan beberapa tindakan," terangnya.
Adapun poin-poin yang disampaikan KPAI ke KPI antara lain, pertama memberikan imbauan dan edukasi secara berkelanjutan kepada lembaga penyiaran untuk menjaga marwah lembaga penyiaran dalam menjalankan fungsi edukasi dan hiburan yang sehat.
Lalu, kedua ialah melakukan penyesuaian Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dengan prinsip-prinsip perlindungan anak termasuk berorientasi perlindungan terhadap korban, saksi dan pelaku anak.
"Karena pemberitaan pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang berlebihan rentan mengganggu psikologis korban dan ini tidak sesuai dengan etika dan kepatutan penyiaran di ruang publik, serta dampak lainnya," tambah Susanto.
Perlindungan anak sendiri sejatinya telah menjadi komitmen besar negara. Apalagi Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak secara tegas menjelaskan bahwa perlindungan anak merupakan kewajiban semua pihak, baik negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat termasuk media, orangtua dan keluarga.
Secara detail, undang-undang itu berbunyi; penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol, dan perekat sosial.
Selain itu, menurut ketentuan Pasal 72 (5) Undang-undang No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak , peran media massa dilakukan melalui penyebarluasan informasi dan materi edukasi yang bermanfaat dari aspek sosial, budaya, pendidikan, agama, dan kesehatan Anak dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak.
"Jika melihat ketentuan dimaksud, maka isi siaran harus terpilih, sehat untuk perkembangan anak, serta berorientasi kepentingan terbaik bagi anak. Maraknya tayangan yang menampilkan figur pelaku kejahatan seksual terhadap anak bukan informasi yang tepat dan berkesesuaian dengan stimulasi perkembangan anak. Pemberitaan yang berlebihan justru rentan menimbulkan beragam dampak," terang Ketua KPAI Susanto, dalam keterangan resminya, Selasa (7/9/2021).
Ya, apa yang dilakukan televisi dapat menimbulkan dampak tidak baik kepada korban kekerasan seksual pada anak lainnya. KPAI sendiri mencatat ada 3 dampak yang bisa timbul ketika pelaku kekerasan seksual pada anak diglorifikasi di media massa.
Pertama, kata Susanto, rentan berdampak imitatif bagi anak, karena meski ia menjadi pelaku kejahatan seksual, tetap terkesan terhormat.
Kedua, rentan menimbulkan kesan bahwa pelaku kejahatan seksual terhadap anak merupakan hal biasa. Padahal kejahatan seksual terhadap merupakan kejahatan yang menjadi konsen serius negara.
Ketiga, pemberitaan yang berlebihan dapat mengganggu suasana batin masyarakat dan korban.
"Terkait hal ini, KPAI telah menyampaikan surat kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), agar melakukan beberapa tindakan," terangnya.
Adapun poin-poin yang disampaikan KPAI ke KPI antara lain, pertama memberikan imbauan dan edukasi secara berkelanjutan kepada lembaga penyiaran untuk menjaga marwah lembaga penyiaran dalam menjalankan fungsi edukasi dan hiburan yang sehat.
Lalu, kedua ialah melakukan penyesuaian Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) dengan prinsip-prinsip perlindungan anak termasuk berorientasi perlindungan terhadap korban, saksi dan pelaku anak.
"Karena pemberitaan pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang berlebihan rentan mengganggu psikologis korban dan ini tidak sesuai dengan etika dan kepatutan penyiaran di ruang publik, serta dampak lainnya," tambah Susanto.
Perlindungan anak sendiri sejatinya telah menjadi komitmen besar negara. Apalagi Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak secara tegas menjelaskan bahwa perlindungan anak merupakan kewajiban semua pihak, baik negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat termasuk media, orangtua dan keluarga.
(hri)