WHO Sebut AMR Berpotensi Jadi Silent Pandemic di Masa Depan, Ini Penjelasannya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kecepatan kasus Antimicrobial Resistance (AMR) atau biasa dikenal dengan resistensi antimikroba masih sangat memprihatinkan. Bahkan AMR kerap disebut sebagai silent pandemic karena jumlah kasus kematiannya yang sangat banyak mencapai 700 ribu orang per tahun.
AMR atau resistensi antimikroba didefinisikan sebagai kebalnya mikroorganisme seperti bakteri, virus, parasit dan jamur terhadap obat antimikroba yang sebelumnya efektif untuk pengobatan infeksi.
Selain itu kasus AMR juga cenderung terus mengalami kenaikan, dan dikhawatirkan kondisi ini dapat menyebabkan pandemi yang sebenarnya di masa mendatang. Pada 2050 diprediksi jumlah kematian akibat AMR mencapai 10 juta per tahun.
Sementara distribusi kematian akibat AMR di masa depan ini diperkirakan paling banyak terdapat di Asia dengan 4,730 kematian dan Afrika dengan 4,150 juta kematian.
Perwakilan World Health Organization (WHO) di Indonesia, dr. Benyamin Sihombing, mengatakan situasi AMR saat ini benar-benar sangat memprihatinkan. Sebab dalam laporan 2020, WHO telah mengidentifikasi ada 26 kandidat atibiotik yang sedang dalam pengembangan klinis untuk menghadapi 8 patogen prioritas dunia untuk saat ini.
”Dari 26 antibiotik yang ada, yang ampuh untuk Multi Drug Resistance gram negative hanya 2. Ini mengartikan bahwa kecepatan munculnya resistan antimikroba, jauh lebih cepat melebihi antibiotik baru yang ampuh,” kata dr. Benyamin, dalam media briefing Antimicrobials Awareness Week (WAAW) 2021, yang disiarkan di channel YouTube Kemenkes, Kamis (18/11/2021).
Dokter Benyamin menegaskan situasi ini menjadikan AMR sebagai ancaman serius global pada waktu di masa mendatang. Adapun langkah yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia ke depannya untuk mengatasi masalah AMR ini diantaranya:
1. Melaksanakan Rencana Aksi Nasional AMR yang baru-baru ini disahkan oleh Kementerian coordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (Menko PMK).
2. Menargetkan perubahan perilaku menuju penggunaan antimikroba dengan bijak di semua sektor.
3. Memperkuat kolaborasi lintas sektor dengan pendekatan One Health antara pemangku kepengtingan, pembuat kebijakan, penyedia layanan kesehatan dan sektor swasta.
AMR atau resistensi antimikroba didefinisikan sebagai kebalnya mikroorganisme seperti bakteri, virus, parasit dan jamur terhadap obat antimikroba yang sebelumnya efektif untuk pengobatan infeksi.
Selain itu kasus AMR juga cenderung terus mengalami kenaikan, dan dikhawatirkan kondisi ini dapat menyebabkan pandemi yang sebenarnya di masa mendatang. Pada 2050 diprediksi jumlah kematian akibat AMR mencapai 10 juta per tahun.
Sementara distribusi kematian akibat AMR di masa depan ini diperkirakan paling banyak terdapat di Asia dengan 4,730 kematian dan Afrika dengan 4,150 juta kematian.
Baca Juga
Perwakilan World Health Organization (WHO) di Indonesia, dr. Benyamin Sihombing, mengatakan situasi AMR saat ini benar-benar sangat memprihatinkan. Sebab dalam laporan 2020, WHO telah mengidentifikasi ada 26 kandidat atibiotik yang sedang dalam pengembangan klinis untuk menghadapi 8 patogen prioritas dunia untuk saat ini.
”Dari 26 antibiotik yang ada, yang ampuh untuk Multi Drug Resistance gram negative hanya 2. Ini mengartikan bahwa kecepatan munculnya resistan antimikroba, jauh lebih cepat melebihi antibiotik baru yang ampuh,” kata dr. Benyamin, dalam media briefing Antimicrobials Awareness Week (WAAW) 2021, yang disiarkan di channel YouTube Kemenkes, Kamis (18/11/2021).
Dokter Benyamin menegaskan situasi ini menjadikan AMR sebagai ancaman serius global pada waktu di masa mendatang. Adapun langkah yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia ke depannya untuk mengatasi masalah AMR ini diantaranya:
1. Melaksanakan Rencana Aksi Nasional AMR yang baru-baru ini disahkan oleh Kementerian coordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (Menko PMK).
2. Menargetkan perubahan perilaku menuju penggunaan antimikroba dengan bijak di semua sektor.
3. Memperkuat kolaborasi lintas sektor dengan pendekatan One Health antara pemangku kepengtingan, pembuat kebijakan, penyedia layanan kesehatan dan sektor swasta.
(hri)