Merawat Tradisi Kupatan di Tengah Pandemi Covid-19
loading...
A
A
A
Di Desa Wadak Kidul, Duduksampeyan, Gresik tradisi kupatan dilaksanakan hari kedelapan Syawal. Lokasinya di halaman masjid dan mushola-mushola. “Hanya tidak semeriah ambengan saat Hari Raya Idul Fitri,” ungkap Mudzakir yang juga ketua PAC IPPNU Duduksampeyan.
Warga Mengare lebih variatif menyambut tradisi kupatan. Selain filosofi ketupat yaitu ngaku lepat (mnegakui kesalahan) juga sebagai bentuk rasa syukur karena sudah melakukan puasa syawal 7 hari.
“Masyarakat disini biasanya membuat kupat, lepet, dan dengkulan dan membawanya ke musholla atau masjid untuk dibacakan tahlil dan istighosah pagi hari sekitar pukul 05.30 WIB,” ujar Marzuqi selaku tokoh masyarakat Desa Watuagung Mengare.
Setelah itu, lanjutnya, ambengam kupat dituang dijadikan satu dan dibagikan ulang ke masyarakat.
Biasanya ada tradisi unik yang dilakukan masyarakat Mengare di Hari Raya Ketupat. Ada yang sebagian berwisata ke Pantai Benteng (Exotic Mengare) dan sebagian ke Lampu (mercusuar) di Madura.
Jarak Madura dan Mengare memang terlihat begitu dekat jika dilihat dari pesisir pantai Mengare. Cukup dengan 20 menit untuk bisa sampai ke Madura. Biasanya Masyarakat Mengare menggunakan perahu sebagai sarana transportasi penyebrangan.
Namun, pandemi Covid-19 membuat semuanya berubah. Tradisi turun-temurun Kupatan di Pekauman ditiadakan. Alasan mencegah penyebaran virus mematikan itu. “Kalau di Wadak Kidul bhkan ditiadakan tapi dilaksanakan dengan protokol Covid-19. Biasanya digelar di masjid, bergeser ke kampung-kampung,” ungkap Mudzakir.
Ketupat sendiri emang tidak setiap hari ada. Makanan yang terbuat dari beras dibuat dengan daun kelapa atau daun kelapa mudah. Dianyam seperti kantong dan diisi dengan beras setelah itu di kukus hingga matang.
Dalam penyajiannya, ketupat biasanya disajikan dengan lepet dan lontong. Ketupat dan lontong itu disajikan dengan kuah opor ayam, lodeh serta lainnya.
Tergantung selera masing-masing. “Enak dimakan bareng-bareng,” kata Kasan (45) warga Tanjung Wedoro, Mengare.
Warga Mengare lebih variatif menyambut tradisi kupatan. Selain filosofi ketupat yaitu ngaku lepat (mnegakui kesalahan) juga sebagai bentuk rasa syukur karena sudah melakukan puasa syawal 7 hari.
“Masyarakat disini biasanya membuat kupat, lepet, dan dengkulan dan membawanya ke musholla atau masjid untuk dibacakan tahlil dan istighosah pagi hari sekitar pukul 05.30 WIB,” ujar Marzuqi selaku tokoh masyarakat Desa Watuagung Mengare.
Setelah itu, lanjutnya, ambengam kupat dituang dijadikan satu dan dibagikan ulang ke masyarakat.
Biasanya ada tradisi unik yang dilakukan masyarakat Mengare di Hari Raya Ketupat. Ada yang sebagian berwisata ke Pantai Benteng (Exotic Mengare) dan sebagian ke Lampu (mercusuar) di Madura.
Jarak Madura dan Mengare memang terlihat begitu dekat jika dilihat dari pesisir pantai Mengare. Cukup dengan 20 menit untuk bisa sampai ke Madura. Biasanya Masyarakat Mengare menggunakan perahu sebagai sarana transportasi penyebrangan.
Namun, pandemi Covid-19 membuat semuanya berubah. Tradisi turun-temurun Kupatan di Pekauman ditiadakan. Alasan mencegah penyebaran virus mematikan itu. “Kalau di Wadak Kidul bhkan ditiadakan tapi dilaksanakan dengan protokol Covid-19. Biasanya digelar di masjid, bergeser ke kampung-kampung,” ungkap Mudzakir.
Ketupat sendiri emang tidak setiap hari ada. Makanan yang terbuat dari beras dibuat dengan daun kelapa atau daun kelapa mudah. Dianyam seperti kantong dan diisi dengan beras setelah itu di kukus hingga matang.
Dalam penyajiannya, ketupat biasanya disajikan dengan lepet dan lontong. Ketupat dan lontong itu disajikan dengan kuah opor ayam, lodeh serta lainnya.
Tergantung selera masing-masing. “Enak dimakan bareng-bareng,” kata Kasan (45) warga Tanjung Wedoro, Mengare.