Masyarakat Mulai Berdamai dengan Pandemi, Saling Bantu untuk Survive
loading...
A
A
A
JAKARTA - Masyarakat perlahan sudah menunjukkan sikap berdamai dengan kondisi pandemi ini. Pandemi sekaligus mengajarkan kita untuk menyediakan dana darurat.
Psikolog keluarga Anna Surti Ariani menilai, perlahan masyarakat menjadi terbiasa dengan kondisi sulit akibat pandemi, dan mulai menunjukkan tanda-tanda survive. (Baca: Hikmah Menatap Langit, Ibadah Sunnah yang Terlupakan)
“Kita bisa melihat komunitas-komunitas yang saling membeli dari usaha temannya. Model kehidupan seperti ini membantu menyelamatkan mereka dari krisis dan ini harus dipertahankan,” kata psikolog yang akrab disapa Nina ini dari keterangan pers Teman Bumil.
Secara psikologis, menurut Nina, adaptasi terhadap kebiasaan baru ini adalah tanda menuju ke tahapan rekonstruksi emosi. Ia menjelaskan, ada fase-fase emosional dalam kebencanaan. Di awal pandemi, emosi akan mudah terstimulasi sehingga muncul rasa cemas dan panik. Bersamaan dengan emosi yang tersulut, muncul rasa heroik, di mana banyak relawan yang saling memberikan bantuan.
Ketika semua sudah dilakukan dan pandemi tak juga berakhir, emosi kembali jatuh ke titik terdalam. Sebagian orang mengalaminya ketika korban Covid-19 semakin banyak. Namun, seiring waktu, masyarakat mulai bisa menerima. “Saat ini masyarakat tengah menuju emosi rekonstruksi. Artinya masyarakat sudah terbiasa dengan kebiasaan barunya. Kita menyebutnya masa densitisasi emosi yakni tidak lagi mudah merasa cemas,” jelas Nina.
Meski begitu, rasa cemas tetap diperlukan. Tidak merasa cemas justru berbahaya karena menjadi abai. Sebaliknya cemas terlalu tinggi juga tidak baik karena beranggapan bahwa apapun yang dilakukan akan sia-sia. Dengan menggunakan masker setiap ke luar rumah sebenarnya menunjukkan bahwa kita memiliki kecemasan (akan tertular) namun bisa beradaptasi dengan baik. “Bagi yang tidak menggunakannya, artinya belum beradaptasi,” ujar Nina. (Baca juga: Ini Manfaat Mengonsumsi Dua Pisang Dalam Sehari)
Ia juga mengingatkan bahwa nanti di bulan Januari-Maret, akan ada potensi terjadi lagi penurunan emosi terkait anniversary reaction. Banyak orang yang berharap setahun setelah pandemi, kondisi akan membaik. Jika kondisi tidak seperti yang diharapkan atau pandemi masih terus berlangsung, sangat mungkin emosi masyarakat kembali jatuh.
Yang harus dipertahankan adalah menghindari stres berkepanjangan. Ketika stres biasanya komunikasi dengan suami dan anak menjadi masalah, dan pada akhirnya saling menyakiti. Di sisi lain, Perencana Keuangan Keluarga Rista Zwestika menjelaskan, pandemi Covid-19 ini membuktikan bahwa sebagian masyarakat kita belum melek finansial.
“Sebagian besar tidak pernah menganggarkan dana darurat. Padahal saat terjadi kehilangan pekerjaan, dana darurat bisa menjadi penolong,” jelasnya. Idealnya, dana darurat yang harus dipersiapkan adalah minimal 6 kali pengeluaran bulanan bagi yang lajang, 9 kali penghasilan jika menikah tanpa anak, 12 kali jika memiliki anak 1, dan seterusnya.
Psikolog keluarga Anna Surti Ariani menilai, perlahan masyarakat menjadi terbiasa dengan kondisi sulit akibat pandemi, dan mulai menunjukkan tanda-tanda survive. (Baca: Hikmah Menatap Langit, Ibadah Sunnah yang Terlupakan)
“Kita bisa melihat komunitas-komunitas yang saling membeli dari usaha temannya. Model kehidupan seperti ini membantu menyelamatkan mereka dari krisis dan ini harus dipertahankan,” kata psikolog yang akrab disapa Nina ini dari keterangan pers Teman Bumil.
Secara psikologis, menurut Nina, adaptasi terhadap kebiasaan baru ini adalah tanda menuju ke tahapan rekonstruksi emosi. Ia menjelaskan, ada fase-fase emosional dalam kebencanaan. Di awal pandemi, emosi akan mudah terstimulasi sehingga muncul rasa cemas dan panik. Bersamaan dengan emosi yang tersulut, muncul rasa heroik, di mana banyak relawan yang saling memberikan bantuan.
Ketika semua sudah dilakukan dan pandemi tak juga berakhir, emosi kembali jatuh ke titik terdalam. Sebagian orang mengalaminya ketika korban Covid-19 semakin banyak. Namun, seiring waktu, masyarakat mulai bisa menerima. “Saat ini masyarakat tengah menuju emosi rekonstruksi. Artinya masyarakat sudah terbiasa dengan kebiasaan barunya. Kita menyebutnya masa densitisasi emosi yakni tidak lagi mudah merasa cemas,” jelas Nina.
Meski begitu, rasa cemas tetap diperlukan. Tidak merasa cemas justru berbahaya karena menjadi abai. Sebaliknya cemas terlalu tinggi juga tidak baik karena beranggapan bahwa apapun yang dilakukan akan sia-sia. Dengan menggunakan masker setiap ke luar rumah sebenarnya menunjukkan bahwa kita memiliki kecemasan (akan tertular) namun bisa beradaptasi dengan baik. “Bagi yang tidak menggunakannya, artinya belum beradaptasi,” ujar Nina. (Baca juga: Ini Manfaat Mengonsumsi Dua Pisang Dalam Sehari)
Ia juga mengingatkan bahwa nanti di bulan Januari-Maret, akan ada potensi terjadi lagi penurunan emosi terkait anniversary reaction. Banyak orang yang berharap setahun setelah pandemi, kondisi akan membaik. Jika kondisi tidak seperti yang diharapkan atau pandemi masih terus berlangsung, sangat mungkin emosi masyarakat kembali jatuh.
Yang harus dipertahankan adalah menghindari stres berkepanjangan. Ketika stres biasanya komunikasi dengan suami dan anak menjadi masalah, dan pada akhirnya saling menyakiti. Di sisi lain, Perencana Keuangan Keluarga Rista Zwestika menjelaskan, pandemi Covid-19 ini membuktikan bahwa sebagian masyarakat kita belum melek finansial.
“Sebagian besar tidak pernah menganggarkan dana darurat. Padahal saat terjadi kehilangan pekerjaan, dana darurat bisa menjadi penolong,” jelasnya. Idealnya, dana darurat yang harus dipersiapkan adalah minimal 6 kali pengeluaran bulanan bagi yang lajang, 9 kali penghasilan jika menikah tanpa anak, 12 kali jika memiliki anak 1, dan seterusnya.