Ahli Sebut Dexamethasone Obat Dewa yang Berefek Jangka Panjang Fatal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Informasi soal obat dexamethasone yang terbukti mampu menyembuhkan pasien COVID-19 dengan kategori berat membawa angin segar di tengah pandemi saat ini. Namun, di balik itu, ahli kesehatan mengingatkan agar masyarakat bijaksana dalam mengonsumsi obat ini lantaran efek yang ditimbulkan untuk pemakaian jangka panjang bukan perkara kesehatan yang sepele.
Hal itu disampaikan Akademisi dan Praktisi Klinis Ari Fahrial Syam. Ari mengingatkan, sebelum mengonsumsi, ada baiknya kita mencari tahu dulu informasi seputar obat dexamethasone.
"Masyarakat harus bijak dalam mendengar dan membaca informasi seputar hasil penelitian obat dexamethasone. Obat ini terbukti efektif mengurangi risiko kematian pada pasien COVID-19, tapi juga mempunyai catatan efek samping yang panjang sehingga harus digunakan sesuai petunjuk dokter," kata Ari melalui keterangan tertulis yang diterima SINDOnews. ( )
Obat dexamethasone saat ini memang sedang menjadi buah bibir setelah media Inggris BBC memberitakan bahwa dexamethasone disetujui sebagai obat penyelamat untuk pasien infeksi COVID-19 yang berat. Informasi seputar riset dexamethasone sendiri berasal dari laporan ketua tim peneliti Universitas Oxford. Riset tersebut belum dipublikasi di jurnal kedokteran, tapi informasi awal soal efektivitas dexamethasone sudah disiarkan pada publik.
Ari memaparkan, dexamethasone menjadi obat pertama yang dapat memperbaiki survival pasien COVID-19. Penelitiannya dilakukan terhadap 2.104 pasien yang mendapat dexamethasone 6 mg per hari, baik secara oral ataupun intra vena selama 10 hari dan dibandingkan dengan 4.321 pasien yang tidak mendapat tambahan obat dexamethasone. Pada pasien yang tidak mendapat dexamethasone, angka kematian tertinggi terjadi pada mereka yang membutuhkan ventilator sebanyak 41%. Sementara pasien yang hanya menggunakan oksigen angka kematiannya 25%, dan pasien yang tidak membutuhkan intervensi respirasi terjadi angka kematian 13%.
"Pada kelompok pasien yang mendapatkan dexamethasone ternyata terjadi penurunan kematian 1/3 kasus dari yang membutuhkan ventilator, dan hanya 1/5 pada kelompok pasien yang mendapatkan oksigen. Sedangkan pada kelompok pasien yang tidak membutuhkan bantuan respirasi, pemberian dexamethasone tidak memengaruhi angka kematian," beber Ari.
"Jadi jelas, dari hasil penelitian ini dexamethasone mempunyai efek terapi pada pasien COVID-19 dengan infeksi yang berat dan sedang, serta tidak mempunyai efek pada pasien COVID-19 yang ringan. Informasi ini penting diketahui oleh masyarakat kedokteran dan masyarakat umum. Pada kasus yang ringan saja tidak efektif, apalagi jika obat ini digunakan untuk pencegahan infeksi COVID-19," tambah Dekan FKUI itu.
Dexamethasone termasuk obat murah golongan steroid. Obat ini sering dijuluki "obat dewa" karena efek terapinya yang cepat. Bahkan obat tersebut juga bisa digunakan untuk pasien kanker, kelainan darah, asma, alergi pada mata dan THT, serta penyakit autoimun.
"Sepertinya khasiat antiinflamasi itu yang dimanfaatkan dari obat dexamethasone untuk pasien dengan infeksi COVID-19 yang berat," ujar Ari. ( )
Selain khasiatnya, kita perlu tahu pula efek samping yang ditimbulkan dexamethasone, terutama jika digunakan jangka panjang.
Pada penggunaan jangka pendek, kata Ari, pasien bisa merasakan sakit di lambung sampai mual dan muntah, sakit kepala, nafsu makan meningkat, sulit tidur dan gelisah, serta timbul jerawat pada kulit. Sementara penggunaan dexamethasone jangka panjang bakal menyebabkan terjadi moon face (wajah bengkak seperti bulan), peningkatan kadar gula darah, tekanan darah meningkat, tulang keropos (osteoporosis), dan daya tahan tubuh turun sehingga rentan terhadap infeksi.
"Interaksi obat juga bisa terjadi, yang dapat meningkatkan efek samping pada pasien-pasien yang sudah mempunyai riwayat sakit maag sebelumnya. Kombinasi steroid dengan obat antiradang non-steroid misalnya fenilbutazone, asam mefenamat, natrium diklofenak termasuk dengan golongan coxib yang biasa digunakan untuk radang sendi, dapat menyebabkan komplikasi lambung serius seperti pendarahan lambung sampai menyebabkan kebocoran lambung dan usus dua belas jari. Ini bisa fatal buat pasien," pungkas Ari.
Hal itu disampaikan Akademisi dan Praktisi Klinis Ari Fahrial Syam. Ari mengingatkan, sebelum mengonsumsi, ada baiknya kita mencari tahu dulu informasi seputar obat dexamethasone.
"Masyarakat harus bijak dalam mendengar dan membaca informasi seputar hasil penelitian obat dexamethasone. Obat ini terbukti efektif mengurangi risiko kematian pada pasien COVID-19, tapi juga mempunyai catatan efek samping yang panjang sehingga harus digunakan sesuai petunjuk dokter," kata Ari melalui keterangan tertulis yang diterima SINDOnews. ( )
Obat dexamethasone saat ini memang sedang menjadi buah bibir setelah media Inggris BBC memberitakan bahwa dexamethasone disetujui sebagai obat penyelamat untuk pasien infeksi COVID-19 yang berat. Informasi seputar riset dexamethasone sendiri berasal dari laporan ketua tim peneliti Universitas Oxford. Riset tersebut belum dipublikasi di jurnal kedokteran, tapi informasi awal soal efektivitas dexamethasone sudah disiarkan pada publik.
Ari memaparkan, dexamethasone menjadi obat pertama yang dapat memperbaiki survival pasien COVID-19. Penelitiannya dilakukan terhadap 2.104 pasien yang mendapat dexamethasone 6 mg per hari, baik secara oral ataupun intra vena selama 10 hari dan dibandingkan dengan 4.321 pasien yang tidak mendapat tambahan obat dexamethasone. Pada pasien yang tidak mendapat dexamethasone, angka kematian tertinggi terjadi pada mereka yang membutuhkan ventilator sebanyak 41%. Sementara pasien yang hanya menggunakan oksigen angka kematiannya 25%, dan pasien yang tidak membutuhkan intervensi respirasi terjadi angka kematian 13%.
"Pada kelompok pasien yang mendapatkan dexamethasone ternyata terjadi penurunan kematian 1/3 kasus dari yang membutuhkan ventilator, dan hanya 1/5 pada kelompok pasien yang mendapatkan oksigen. Sedangkan pada kelompok pasien yang tidak membutuhkan bantuan respirasi, pemberian dexamethasone tidak memengaruhi angka kematian," beber Ari.
"Jadi jelas, dari hasil penelitian ini dexamethasone mempunyai efek terapi pada pasien COVID-19 dengan infeksi yang berat dan sedang, serta tidak mempunyai efek pada pasien COVID-19 yang ringan. Informasi ini penting diketahui oleh masyarakat kedokteran dan masyarakat umum. Pada kasus yang ringan saja tidak efektif, apalagi jika obat ini digunakan untuk pencegahan infeksi COVID-19," tambah Dekan FKUI itu.
Dexamethasone termasuk obat murah golongan steroid. Obat ini sering dijuluki "obat dewa" karena efek terapinya yang cepat. Bahkan obat tersebut juga bisa digunakan untuk pasien kanker, kelainan darah, asma, alergi pada mata dan THT, serta penyakit autoimun.
"Sepertinya khasiat antiinflamasi itu yang dimanfaatkan dari obat dexamethasone untuk pasien dengan infeksi COVID-19 yang berat," ujar Ari. ( )
Selain khasiatnya, kita perlu tahu pula efek samping yang ditimbulkan dexamethasone, terutama jika digunakan jangka panjang.
Pada penggunaan jangka pendek, kata Ari, pasien bisa merasakan sakit di lambung sampai mual dan muntah, sakit kepala, nafsu makan meningkat, sulit tidur dan gelisah, serta timbul jerawat pada kulit. Sementara penggunaan dexamethasone jangka panjang bakal menyebabkan terjadi moon face (wajah bengkak seperti bulan), peningkatan kadar gula darah, tekanan darah meningkat, tulang keropos (osteoporosis), dan daya tahan tubuh turun sehingga rentan terhadap infeksi.
"Interaksi obat juga bisa terjadi, yang dapat meningkatkan efek samping pada pasien-pasien yang sudah mempunyai riwayat sakit maag sebelumnya. Kombinasi steroid dengan obat antiradang non-steroid misalnya fenilbutazone, asam mefenamat, natrium diklofenak termasuk dengan golongan coxib yang biasa digunakan untuk radang sendi, dapat menyebabkan komplikasi lambung serius seperti pendarahan lambung sampai menyebabkan kebocoran lambung dan usus dua belas jari. Ini bisa fatal buat pasien," pungkas Ari.
(tsa)