Ahli Sebut Ganja Medis Berisiko Sebabkan Ketergantungan, Penggunaan Harus Diawasi Ketat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Banyak pertanyaan bermunculan setelah isu ganja medis merebak luas di masyarakat. Salah satunya adalah, apakah pengobatan dengan ganja medis bisa membuat penggunanya mengalami ketergantungan?
Pertanyaan semacam ini muncul tentu dengan anggapan, seseorang memasukkan ganja ke tubuhnya dan pada umumnya ganja menyebabkan adiktif atau ketergantungan. Nah, pada kasus medis, apakah hal itu terjadi juga?
Prof. Zubairi Djoerban, Ahli Kesehatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), menjelaskan bahwa efek ketergantungan dan halusinasi yang mungkin dialami pasien dengan pengobatan ganja medis itu berkaitan dengan dosis yang dipakai.
"Penggunaan ganja medis bisa memberi efek ketergantungan dan halusinasi? Ini bicara soal pengawasan dan dosis berlebihan," kata Prof. Beri, sapaan akrabnya, di cuitan Twitternya yang diunggah Rabu (29/6/2022).
Prof. Beri melanjutkan, karena ada risiko tersebut, itulah sebabnya penggunaan ganja medis ini harus sangat ketat pengawasannya oleh dokter yang meresepkan.
Kemudian, apakah penggunaan ganja medis sebagai obat juga bisa membuat pasien mengalami 'high'?
Menurut Prof. Beri, hal itu pun berkaitan dengan dosis penggunaannya. Pada kebanyakan kasus ganja medis sebagai obat, dosis yang dibutuhkan untuk tujuan medis biasanya lebih rendah daripada untuk rekreasi.
"Yang jelas, saat pengobatan, pasien tidak boleh mengemudi. Kemudian, tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabidiol murni (CBD) yang merupakan obat mengandung ganja yang sudah diizinkan Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) itu tidak boleh dipakai sama sekali oleh perempuan hamil dan menyusui," ungkapnya.
Lihat Juga: Wisata Medis Jepang Dilirik Masyarakat Indonesia, JCB Gandeng One Medica dan Kyoai Kenalkan Layanan Mutakhir
Pertanyaan semacam ini muncul tentu dengan anggapan, seseorang memasukkan ganja ke tubuhnya dan pada umumnya ganja menyebabkan adiktif atau ketergantungan. Nah, pada kasus medis, apakah hal itu terjadi juga?
Prof. Zubairi Djoerban, Ahli Kesehatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), menjelaskan bahwa efek ketergantungan dan halusinasi yang mungkin dialami pasien dengan pengobatan ganja medis itu berkaitan dengan dosis yang dipakai.
"Penggunaan ganja medis bisa memberi efek ketergantungan dan halusinasi? Ini bicara soal pengawasan dan dosis berlebihan," kata Prof. Beri, sapaan akrabnya, di cuitan Twitternya yang diunggah Rabu (29/6/2022).
Prof. Beri melanjutkan, karena ada risiko tersebut, itulah sebabnya penggunaan ganja medis ini harus sangat ketat pengawasannya oleh dokter yang meresepkan.
Kemudian, apakah penggunaan ganja medis sebagai obat juga bisa membuat pasien mengalami 'high'?
Menurut Prof. Beri, hal itu pun berkaitan dengan dosis penggunaannya. Pada kebanyakan kasus ganja medis sebagai obat, dosis yang dibutuhkan untuk tujuan medis biasanya lebih rendah daripada untuk rekreasi.
"Yang jelas, saat pengobatan, pasien tidak boleh mengemudi. Kemudian, tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabidiol murni (CBD) yang merupakan obat mengandung ganja yang sudah diizinkan Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) itu tidak boleh dipakai sama sekali oleh perempuan hamil dan menyusui," ungkapnya.
Lihat Juga: Wisata Medis Jepang Dilirik Masyarakat Indonesia, JCB Gandeng One Medica dan Kyoai Kenalkan Layanan Mutakhir
(tsa)