Mengenang Johan Tjasmadi Tokoh Film Indonesia yang Telah Tiada
loading...
A
A
A
Kelak, kisah itu hanya bikin saya malu. Sosok Pak John ternyata berbanding terbalik dari sangkaan semula. Setelah peristiwa itu, kami bersahabat erat hingga puluhan tahun. Pada FFI 1983, dia mengajak saya menjadi kepala humas Panitia Tetap FFI yang diketuainya sampai tahun 1992.
Kemudian kami mendirikan perusahaan film memproduksi beberapa judul film, antaranya "Bibir Mer" yang disutradarai Arifin C Noer. Terakhir film kolosal " Fatahillah" yang berlatar sejarah.
Saya belajar banyak dari beliau dalam jalinan kerjasama dan eratnya persahabatan. Keluarga kami juga dekat dengan keluarganya. Saya sudah menganggap Pak John sebagai guru, kakak, dan orang tua. Ketika saya memulai membangun kelompok media Cek&Ricek, ia sempat bersama mengawal di awal. Setelah itu ia pamit istirahat.
"Kewajiban saya mengawal selesai," ujarnya masa itu, 25 tahun lalu.
Di dunia film, Pak John memang dikenal pelobi ulung. Kemampuannya sudah teruji mengatasi konflik masyarakat perfilman. Terutama antara produser dan pemilik bioskop yang sama-sama egois. Legacy dari kemahiran lobinya, para produser film Indonesia hingga sekarang menikmati keringanan pajak tontonan (PTO) dari Pemprov DKI Jakarta.
Gagasan itu ia dicetuskan bersama beberapa tokoh perfilman masih di zaman Gubernur DKI Ali Sadikin. Satu lagi gagasannya yang cukup fenomenal di tahun 90-an adalah memproduksi film berdurasi pendek berisi informasi pembangunan. Film itu dipertunjukan mengawali film utama di bioskop. Program itu kelak menginspirasi pengelola bioskop 21 di Indonesia menyediakan slot iklan di seluruh jaringannya.
Misteri Kamera
Masih menjadi "misteri" buat saya ketika akhir Februari lalu Pak John mengirimi satu set kamera koleksinya, "Olympus". Dia menyuruh perawatnya, Kusnadi (bukan Mulyadi seperti ditulis sebelumnya), memberi tahu saya lewat WhatsApp dan mengirimnya ke rumah.
"Saya cuma disuruh begitu Pak. Tapi, bapak memang paling sering menceritakan soal persahabatannya dengan Pak Ilham," kata Mulyadi.
Kemudian kami mendirikan perusahaan film memproduksi beberapa judul film, antaranya "Bibir Mer" yang disutradarai Arifin C Noer. Terakhir film kolosal " Fatahillah" yang berlatar sejarah.
Saya belajar banyak dari beliau dalam jalinan kerjasama dan eratnya persahabatan. Keluarga kami juga dekat dengan keluarganya. Saya sudah menganggap Pak John sebagai guru, kakak, dan orang tua. Ketika saya memulai membangun kelompok media Cek&Ricek, ia sempat bersama mengawal di awal. Setelah itu ia pamit istirahat.
"Kewajiban saya mengawal selesai," ujarnya masa itu, 25 tahun lalu.
Di dunia film, Pak John memang dikenal pelobi ulung. Kemampuannya sudah teruji mengatasi konflik masyarakat perfilman. Terutama antara produser dan pemilik bioskop yang sama-sama egois. Legacy dari kemahiran lobinya, para produser film Indonesia hingga sekarang menikmati keringanan pajak tontonan (PTO) dari Pemprov DKI Jakarta.
Gagasan itu ia dicetuskan bersama beberapa tokoh perfilman masih di zaman Gubernur DKI Ali Sadikin. Satu lagi gagasannya yang cukup fenomenal di tahun 90-an adalah memproduksi film berdurasi pendek berisi informasi pembangunan. Film itu dipertunjukan mengawali film utama di bioskop. Program itu kelak menginspirasi pengelola bioskop 21 di Indonesia menyediakan slot iklan di seluruh jaringannya.
Misteri Kamera
Masih menjadi "misteri" buat saya ketika akhir Februari lalu Pak John mengirimi satu set kamera koleksinya, "Olympus". Dia menyuruh perawatnya, Kusnadi (bukan Mulyadi seperti ditulis sebelumnya), memberi tahu saya lewat WhatsApp dan mengirimnya ke rumah.
"Saya cuma disuruh begitu Pak. Tapi, bapak memang paling sering menceritakan soal persahabatannya dengan Pak Ilham," kata Mulyadi.