IDAI Lalui Proses Panjang untuk Cari Sumber Masalah GGA, Sempat Diduga karena Covid-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr. Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K) membeberkan secara runut proses pencarian penyebab masalah gagal ginjal akut (GGA) yang kasusnya memuncak pada Agustus lalu.
IDAI melakukan berbagai upaya untuk mengetahui apa penyebab GGA yang meningkat dengan melakukan pencarian penyebab seperti syok hipovolemik atau dehidrasi berat, sindrom hemolitik uremik pascadiare, glomerulonefritis akut, namun hasilnya tidak ditemukan. Bahkan menduga sebagai MISC pasca-Covid, dan dilakukan terapi sebagai MISC namun kondisi pasien tidak membaik. Kemudian dilakukan diskusi dengan Kemenkes yang saat itu sudah ada rekomendasi pada 28 September, namun belum mengarah ke intoksikasi.
IDAI menyatakan cukup frustasi karena kondisi pasien GGA tak kunjung membaik, dengan angka kematian yang cukup tinggi. "Aduh ini kita stres sendiri ya, anak-anak itu masuk rumah sakit, meninggal dan meninggal," Keluh dr. Piprim.
Lalu proses panjang dilakukan dengan diskusi bersama dokter di Gambia, di mana profil pasien di sana serupa dengan yang ada di Indonesia. Pada kasus di Gambia setelah penarikan obat, angka kejadian menurun drastis yang kemudian dilakukan pemeriksaan ke arah intoksikasi. Hal inilah yang kemudian dilakukan secara tanggap oleh Kemenkes pada 18 Oktober 2022, yang meminta seluruh obat sirup untuk dihentikan edarannya di pasaran.
Pada evaluasi IDAI, tanggal 18-20 Oktober 2022 ditemukan banyak kadar Etilen Glikol (EG) di dalam darah para pasien dengan GGA. Meskipun telah dilakukan pencucian darah terhadap pasien-pasien tersebut, kadar dari EG ini masih cukup tinggi.
“Ini rupanya memang banyak kadar Etilen Glikol (EG) yang melebihi batas di dalam darah pasien-pasien kami. Walaupun sudah dilakukan cuci darah. Kita bisa bayangkan itu pasien sudah dicuci darah hasil EG-nya masih tinggi. Ya artinya tinggi sekali sebelumnya,” papar Ketua IDAI dalam Live Streaming Komisi IX DPR RI Rapat Kerja dengan Menteri Kesehatan RI dan RDP dengan BPOM, IDAI, Selasa (2/11/2022).
Setelah mengumpulkan data dan informasi dari seluruh anggota IDAI di Indonesia, sebagai data awal yang dapat ditarik sebagai benang merah, di mana kejadian GGA terjadi di beberapa provinsi di Indonesia.
Seperti diketahui sebelumnya, BPOM telah menarik obat sirup yang diduga terdapat cemaran cairan EG dan DEG yang digunakan lebih dari ambang batas dan ketentuan serta memiliki hubungan dengan melonjaknya kasus GGA di Indonesia.
Dalam penelusuran BPOM bersama Bareskrim Polri, telah didapatkan dua industri farmasi yaitu PT Yarindo Farmatama serta PT Universal Pharmaceutical Industries yang melakukan perubahan bahan baku obat yang tidak sesuai standar ketentuan BPOM, dan itu termasuk tindak pidana. Didapati juga produk obat dari PT Yarindo Farmatama, yaitu Flurin DMP sirup yang menggunakan zat EG sebanyak 48 mg per ml, yang artinya jauh melebihi ambang batas di mana seharusnya kurang dari 0,1 mg per ml.
IDAI melakukan berbagai upaya untuk mengetahui apa penyebab GGA yang meningkat dengan melakukan pencarian penyebab seperti syok hipovolemik atau dehidrasi berat, sindrom hemolitik uremik pascadiare, glomerulonefritis akut, namun hasilnya tidak ditemukan. Bahkan menduga sebagai MISC pasca-Covid, dan dilakukan terapi sebagai MISC namun kondisi pasien tidak membaik. Kemudian dilakukan diskusi dengan Kemenkes yang saat itu sudah ada rekomendasi pada 28 September, namun belum mengarah ke intoksikasi.
IDAI menyatakan cukup frustasi karena kondisi pasien GGA tak kunjung membaik, dengan angka kematian yang cukup tinggi. "Aduh ini kita stres sendiri ya, anak-anak itu masuk rumah sakit, meninggal dan meninggal," Keluh dr. Piprim.
Lalu proses panjang dilakukan dengan diskusi bersama dokter di Gambia, di mana profil pasien di sana serupa dengan yang ada di Indonesia. Pada kasus di Gambia setelah penarikan obat, angka kejadian menurun drastis yang kemudian dilakukan pemeriksaan ke arah intoksikasi. Hal inilah yang kemudian dilakukan secara tanggap oleh Kemenkes pada 18 Oktober 2022, yang meminta seluruh obat sirup untuk dihentikan edarannya di pasaran.
Pada evaluasi IDAI, tanggal 18-20 Oktober 2022 ditemukan banyak kadar Etilen Glikol (EG) di dalam darah para pasien dengan GGA. Meskipun telah dilakukan pencucian darah terhadap pasien-pasien tersebut, kadar dari EG ini masih cukup tinggi.
“Ini rupanya memang banyak kadar Etilen Glikol (EG) yang melebihi batas di dalam darah pasien-pasien kami. Walaupun sudah dilakukan cuci darah. Kita bisa bayangkan itu pasien sudah dicuci darah hasil EG-nya masih tinggi. Ya artinya tinggi sekali sebelumnya,” papar Ketua IDAI dalam Live Streaming Komisi IX DPR RI Rapat Kerja dengan Menteri Kesehatan RI dan RDP dengan BPOM, IDAI, Selasa (2/11/2022).
Setelah mengumpulkan data dan informasi dari seluruh anggota IDAI di Indonesia, sebagai data awal yang dapat ditarik sebagai benang merah, di mana kejadian GGA terjadi di beberapa provinsi di Indonesia.
Seperti diketahui sebelumnya, BPOM telah menarik obat sirup yang diduga terdapat cemaran cairan EG dan DEG yang digunakan lebih dari ambang batas dan ketentuan serta memiliki hubungan dengan melonjaknya kasus GGA di Indonesia.
Dalam penelusuran BPOM bersama Bareskrim Polri, telah didapatkan dua industri farmasi yaitu PT Yarindo Farmatama serta PT Universal Pharmaceutical Industries yang melakukan perubahan bahan baku obat yang tidak sesuai standar ketentuan BPOM, dan itu termasuk tindak pidana. Didapati juga produk obat dari PT Yarindo Farmatama, yaitu Flurin DMP sirup yang menggunakan zat EG sebanyak 48 mg per ml, yang artinya jauh melebihi ambang batas di mana seharusnya kurang dari 0,1 mg per ml.
(tsa)