Resesi Seks, Ribuan Pria Paruh Baya Korea Selatan Meninggal Kesepian
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ribuan pria paruh baya Korea Selatan meninggal dunia kesepian di tengah kasus resesi seks . Mereka berjuang bertahan hidup sendiri, meninggal sendirian setiap tahun dan seringkali baru ditemukan selama berhari-hari atau berminggu-minggu.
Dilansir dari CNN, Senin (26/12/2022) fenomena ini disebut godoksa atau kematian kesepaian. Di mana hal ini sedang dicoba dilawan oleh pemerintah Korea Selatan selama bertahun-tahun karena populasi menua terus bertambah.
Menurut hukum Korea Selatan, kematian kesepaian adalah ketika seseorang yang hidup sendiri, terputus dari keluarga atau kerabat, meninggal karena bunuh diri atau sakit. Sementara jenazah mereka ditemukan setelah jangka waktu tertentu telah berlalu.
Masalah ini mendapat perhatian selama dekade terakhir karena jumlah kematian akibat kesepian meningkat. Faktor-faktor di balik fenomena tersebut termasuk krisis demografi negara, kesenjangan kesejahteraan sosial, kemiskinan dan isolasi sosial yang semuanya menjadi lebih jelas sejak pandemi Covid-19.
Tahun lalu, Korea Selatan mencatat 3.378 kematian kesepian, naik dari 2.412 pada 2017 berdasarkan laporan yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan. Laporan kementerian tersebut yang pertama sejak pemerintah memberlakukan Undang- Undang Pencegahan dan Penanganan Kematian Kesepian pada 2021,
Meskipun kematian akibat kesepian memengaruhi orang-orang di berbagai demografi, laporan tersebut menunjukkan pria paruh baya dan lanjut usia sangat berisiko. Jumlah pria yang menderita kematian kesepian 5,3 kali lipat dari wanita pada 2021, naik dari empat kali lipat sebelumnya.
Orang-orang berusia 50-an dan 60-an sebanyak 60 persen mengalami kematian kesepian tahun lalu, dengan jumlah besar di usia 40-an dan 70-an. Sedangkan orang berusia 20-an dan 30-an menyumbang 6 persen hingga 8 persen.
Laporan itu tidak membahas kemungkinan penyebabnya. Tetapi fenomena tersebut telah dipelajari selama bertahun-tahun ketika pihak berwenang mencoba memahami apa yang mendorong kematian kesepian, dan bagaimana cara yang lebih baik untuk mendukung orang-orang yang rentan.
“Dalam mempersiapkan masyarakat lanjut usia, penting untuk secara aktif menanggapi kematian yang kesepian,” kata badan penelitian legislatif Korea Selatan dalam keterangan resminya.
Korea Selatan adalah salah satu dari beberapa negara Asia, termasuk Jepang dan China menghadapi penurunan demografis, dengan jumlah penduduk yang memiliki bayi lebih sedikit dan melahirkan di kemudian hari.
Tingkat kelahiran negara itu terus menurun sejak 2015 yang disebabkan berbagai faktor seperti tuntutan budaya kerja, kenaikan biaya hidup, dan upah yang stagnan sehingga membuat mereka menunda untuk menikah.
Pada saat yang sama, usia produktif menyusut. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tidak akan ada cukup usia produktif untuk mendukung populasi lansia yang terus bertambah di bidang seperti perawatan kesehatan dan bantuan rumah. Beberapa konsekuensi dari distribusi usia yang tidak rata ini adalah jutaan penduduk lanjut usia berjuang untuk bertahan hidup sendiri.
Dilansir dari CNN, Senin (26/12/2022) fenomena ini disebut godoksa atau kematian kesepaian. Di mana hal ini sedang dicoba dilawan oleh pemerintah Korea Selatan selama bertahun-tahun karena populasi menua terus bertambah.
Menurut hukum Korea Selatan, kematian kesepaian adalah ketika seseorang yang hidup sendiri, terputus dari keluarga atau kerabat, meninggal karena bunuh diri atau sakit. Sementara jenazah mereka ditemukan setelah jangka waktu tertentu telah berlalu.
Masalah ini mendapat perhatian selama dekade terakhir karena jumlah kematian akibat kesepian meningkat. Faktor-faktor di balik fenomena tersebut termasuk krisis demografi negara, kesenjangan kesejahteraan sosial, kemiskinan dan isolasi sosial yang semuanya menjadi lebih jelas sejak pandemi Covid-19.
Tahun lalu, Korea Selatan mencatat 3.378 kematian kesepian, naik dari 2.412 pada 2017 berdasarkan laporan yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan. Laporan kementerian tersebut yang pertama sejak pemerintah memberlakukan Undang- Undang Pencegahan dan Penanganan Kematian Kesepian pada 2021,
Meskipun kematian akibat kesepian memengaruhi orang-orang di berbagai demografi, laporan tersebut menunjukkan pria paruh baya dan lanjut usia sangat berisiko. Jumlah pria yang menderita kematian kesepian 5,3 kali lipat dari wanita pada 2021, naik dari empat kali lipat sebelumnya.
Orang-orang berusia 50-an dan 60-an sebanyak 60 persen mengalami kematian kesepian tahun lalu, dengan jumlah besar di usia 40-an dan 70-an. Sedangkan orang berusia 20-an dan 30-an menyumbang 6 persen hingga 8 persen.
Laporan itu tidak membahas kemungkinan penyebabnya. Tetapi fenomena tersebut telah dipelajari selama bertahun-tahun ketika pihak berwenang mencoba memahami apa yang mendorong kematian kesepian, dan bagaimana cara yang lebih baik untuk mendukung orang-orang yang rentan.
“Dalam mempersiapkan masyarakat lanjut usia, penting untuk secara aktif menanggapi kematian yang kesepian,” kata badan penelitian legislatif Korea Selatan dalam keterangan resminya.
Korea Selatan adalah salah satu dari beberapa negara Asia, termasuk Jepang dan China menghadapi penurunan demografis, dengan jumlah penduduk yang memiliki bayi lebih sedikit dan melahirkan di kemudian hari.
Tingkat kelahiran negara itu terus menurun sejak 2015 yang disebabkan berbagai faktor seperti tuntutan budaya kerja, kenaikan biaya hidup, dan upah yang stagnan sehingga membuat mereka menunda untuk menikah.
Pada saat yang sama, usia produktif menyusut. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tidak akan ada cukup usia produktif untuk mendukung populasi lansia yang terus bertambah di bidang seperti perawatan kesehatan dan bantuan rumah. Beberapa konsekuensi dari distribusi usia yang tidak rata ini adalah jutaan penduduk lanjut usia berjuang untuk bertahan hidup sendiri.
(dra)