Dua Pasang Hati
A
A
A
Ia bertekad bulat akan berterima kasih pada cowok itu karena telah menemaninya semalam suntuk. Tapi... tampaknya dia begitu sibuk, karena ada dua perawat juga yang ikut bersamanya, seolah mereka sedang berbincang serius mengenai satu hal.
Ketika keduanya semakin dekat, mata Lara belum lepas dari cowok itu, seolah matanya memaksa untuk terus memerhatikan Keenan. Ia tahu jika Keenan sadar bahwa Lara memerhatikannya, namun entah bagaimana arah mata cowok itu sama sekali tak tertuju padanya. Dingin bagaikan tembok yang kokoh, seolah tidak terjadi apa-apa semalam tadi.
Sepertinya Keenan sengaja memalingkan mukanya pada Lara, dia begitu acuh, bahkan tak menatap wajah Lara sedikitpun. Lara menghela nafas, Keenan belum berubah ternyata... masih sama kayak dulu. Baik, terus gitu lagi. Nyebelin banget, dengus Lara dalam hati. Kali ini, bukanlah sebuah perasaan marah dan kecewa yang menyergap kalbunya, melainkan perasaan sedih yang bertubi-tubi menohok relung hatinya.
Padahal, ia sangat berharap Keenan menoleh ke arahnya, lalu sekadar mengucapkan selamat ya lo udah sembuh. Dan Lara akan menjawab dengan senang hati, iya, makasih ya udah nemenin gue tadi malem. Lho.. kok jadi ngarep yang nggak-nggak sih, Ra? Lara membuang jauh-jauh pikirannya yang semakin meracau tentang Keenan. Akan tetapi, matanya tak bisa lepas dari kedua tangan Keenan yang dikaitkan ke belakang oleh cowok itu.
Jemari besar nan kokoh milik pria itu, terus membayang di pikiran Lara. Malam hari pun tiba, Lara belum diizinkan keluar rumah sakit, karena masih harus dijaga kondisi tekanan darah dan denyut jantung, serta kondisi psikisnya. Kini setelah Echa pulang, tinggallah Lara sendirian. Belum ada yang datang lagi menjenguknya, setelah ia makan malam. Lagi pula sekarang sudah jam delapan malam, tentu saja waktu berkunjung sudah habis.
Ya beginilah, Lara. Ia memang hidup dan tinggal sendirian, setelah orang tuanya bercerai, dan sang kakak laki-lakinya menikah dengan Rara yang bekerja di Finlandia dan memilih menetap di sana. Mengusir kebosanan, Lara menyalakan televisinya, lalu menontonnya sampai ia tertidur karena pengaruh obat yang baru saja ditelannya beberapa menit yang lalu.
Setengah jam ia tertidur, terdengarlah suara rintik hujan yang membasahi jendela ruang kamar Lara. Sesungguhnya, Lara sangat membenci hujan, walaupun bagi sebagian orang, hujan adalah momen paling pas buat nge-galau, namun buat Lara itu adalah hal yang sangat menakutkan. Ia selalu ketakutan jika harus mendengar petir menggelegar di malam hari, membuatnya sulit untuk menutup mata dan membayangkan hal-hal yang menyeramkan.
Namun nggak sampe beberapa menit, Lara sudah kembali terlelap dengan nyenyaknya. Lagi-lagi, seorang wanita muncul dalam mimpinya. Wanita berambut panjang itu, kali ini tak lagi menyiratkan kesedihan, melainkan kebahagiaan dan ketenangan, karena tangannya digenggam oleh pemuda yang sama. Pemuda yang selalu ditunggunya dan dinantinya.
Pemuda itu kini duduk bersamanya, lalu memeluknya dengan penuh kehangatan. Seperti malam itu, pemuda itu membelai kepalanya penuh kasih sayang. Pemuda itu tersenyum, ketika ia bermain dengan riak rambut halus milik wanita itu, seolah sutra lembut yang dihadiahkan untuknya.
Sejurus kemudian, pemuda itu mendekatkan wajahnya pada wanita itu, kedua mata mereka bertatapan penuh kasih sayang. Perlahan namun pasti bibir tipis pria itu menyambut bibir merah wanitanya dengan penuh kelembutan. Pemuda itu seolah menikmati bibir merah merona milik wanita itu, ia mengulumnya dengan lembut, melumatnya dan merasakan hingga titik kejantanannya seolah terpacu untuk terus melakukannya lebih dalam lagi.
Ciuman mesra pemuda itu tibatiba harus berakhir, tubuhnya memancarkan seberkas cahaya yang sangat berkilau layaknya berlian, membuat peraduan bibir mereka harus berakhir, benar-benar berakhir. Pria itu kini lenyap dari dekapan hangat wanita yang amat dicintainya. Kembali, wanita itu menangis sejadi-jadinya, hatinya luluh lantah meratapi kepergian pemuda itu.
Mimpi itu kembali menyadarkan Lara. Matanya langsung terbelalak lebar, ia seolah terbawa oleh mimpi yang sudah dua kali datang dalam tidurnya. Lara menyipitkan matanya, dan sedikit menolehkan wajahnya ke samping kiri. (bersambung)
OLEH: VANIA M. BERNADETTE
Ketika keduanya semakin dekat, mata Lara belum lepas dari cowok itu, seolah matanya memaksa untuk terus memerhatikan Keenan. Ia tahu jika Keenan sadar bahwa Lara memerhatikannya, namun entah bagaimana arah mata cowok itu sama sekali tak tertuju padanya. Dingin bagaikan tembok yang kokoh, seolah tidak terjadi apa-apa semalam tadi.
Sepertinya Keenan sengaja memalingkan mukanya pada Lara, dia begitu acuh, bahkan tak menatap wajah Lara sedikitpun. Lara menghela nafas, Keenan belum berubah ternyata... masih sama kayak dulu. Baik, terus gitu lagi. Nyebelin banget, dengus Lara dalam hati. Kali ini, bukanlah sebuah perasaan marah dan kecewa yang menyergap kalbunya, melainkan perasaan sedih yang bertubi-tubi menohok relung hatinya.
Padahal, ia sangat berharap Keenan menoleh ke arahnya, lalu sekadar mengucapkan selamat ya lo udah sembuh. Dan Lara akan menjawab dengan senang hati, iya, makasih ya udah nemenin gue tadi malem. Lho.. kok jadi ngarep yang nggak-nggak sih, Ra? Lara membuang jauh-jauh pikirannya yang semakin meracau tentang Keenan. Akan tetapi, matanya tak bisa lepas dari kedua tangan Keenan yang dikaitkan ke belakang oleh cowok itu.
Jemari besar nan kokoh milik pria itu, terus membayang di pikiran Lara. Malam hari pun tiba, Lara belum diizinkan keluar rumah sakit, karena masih harus dijaga kondisi tekanan darah dan denyut jantung, serta kondisi psikisnya. Kini setelah Echa pulang, tinggallah Lara sendirian. Belum ada yang datang lagi menjenguknya, setelah ia makan malam. Lagi pula sekarang sudah jam delapan malam, tentu saja waktu berkunjung sudah habis.
Ya beginilah, Lara. Ia memang hidup dan tinggal sendirian, setelah orang tuanya bercerai, dan sang kakak laki-lakinya menikah dengan Rara yang bekerja di Finlandia dan memilih menetap di sana. Mengusir kebosanan, Lara menyalakan televisinya, lalu menontonnya sampai ia tertidur karena pengaruh obat yang baru saja ditelannya beberapa menit yang lalu.
Setengah jam ia tertidur, terdengarlah suara rintik hujan yang membasahi jendela ruang kamar Lara. Sesungguhnya, Lara sangat membenci hujan, walaupun bagi sebagian orang, hujan adalah momen paling pas buat nge-galau, namun buat Lara itu adalah hal yang sangat menakutkan. Ia selalu ketakutan jika harus mendengar petir menggelegar di malam hari, membuatnya sulit untuk menutup mata dan membayangkan hal-hal yang menyeramkan.
Namun nggak sampe beberapa menit, Lara sudah kembali terlelap dengan nyenyaknya. Lagi-lagi, seorang wanita muncul dalam mimpinya. Wanita berambut panjang itu, kali ini tak lagi menyiratkan kesedihan, melainkan kebahagiaan dan ketenangan, karena tangannya digenggam oleh pemuda yang sama. Pemuda yang selalu ditunggunya dan dinantinya.
Pemuda itu kini duduk bersamanya, lalu memeluknya dengan penuh kehangatan. Seperti malam itu, pemuda itu membelai kepalanya penuh kasih sayang. Pemuda itu tersenyum, ketika ia bermain dengan riak rambut halus milik wanita itu, seolah sutra lembut yang dihadiahkan untuknya.
Sejurus kemudian, pemuda itu mendekatkan wajahnya pada wanita itu, kedua mata mereka bertatapan penuh kasih sayang. Perlahan namun pasti bibir tipis pria itu menyambut bibir merah wanitanya dengan penuh kelembutan. Pemuda itu seolah menikmati bibir merah merona milik wanita itu, ia mengulumnya dengan lembut, melumatnya dan merasakan hingga titik kejantanannya seolah terpacu untuk terus melakukannya lebih dalam lagi.
Ciuman mesra pemuda itu tibatiba harus berakhir, tubuhnya memancarkan seberkas cahaya yang sangat berkilau layaknya berlian, membuat peraduan bibir mereka harus berakhir, benar-benar berakhir. Pria itu kini lenyap dari dekapan hangat wanita yang amat dicintainya. Kembali, wanita itu menangis sejadi-jadinya, hatinya luluh lantah meratapi kepergian pemuda itu.
Mimpi itu kembali menyadarkan Lara. Matanya langsung terbelalak lebar, ia seolah terbawa oleh mimpi yang sudah dua kali datang dalam tidurnya. Lara menyipitkan matanya, dan sedikit menolehkan wajahnya ke samping kiri. (bersambung)
OLEH: VANIA M. BERNADETTE
(bbg)