Dua Pasang Hati
A
A
A
Samar-samar, ia melihat bayangan seorang pria bertubuh tinggi besar menggunakan jas dokter, berjalan menjauh dari daun pintu kamarnya.
Perasaan tidak enak menyerang kalbunya, janganjangan... ada orang jahat yang dengan sengaja ingin mengganggunya dan baca-bacain mantra supaya dia dimimpiin tentang wanita itu. Lara menyadari posisi selimutnya sedikit lebih naik, dibanding tadi ketika ia sedang tertidur pulas. Gadis itu menaikkan kasurnya dengan tombol pengatur, menegak air putihnya dengan cepat. Jantung Lara mulai berdegup kencang, namun untungnya tidak sampai desakkan nafasnya yang mencekat.
Gimana nih... gue jadi takut tidur sendirian, pikir Lara kemudian. Echa udah pulang, Ardio juga... masa gue minta mereka nemenin gue di rumah sakit sih? Gumamnya dalam hati. Tiba-tiba benak Lara seolah menyuruhnya meminta bantuan pada satu sosok yang sangat ia kenal. Haruskah? Lara memejamkan matanya, meraih handphone -nya dan... ”Kenapa?” Suara sosok itu begitu dingin dan tanpa basa-basi.
”Lo... di-dimana?” ”Lagi siap-siap, mau pulang. Kenapa sih?” balas sosok itu dengan ketus. ”Gue... gue dirawat di kamar 408, ruang Goretti.” ”Terus?” Lara menghela nafas panjang, menyingkirkan egonya yang sebenarnya sangat enggan meminta bantuannya. ”Ke sini, temenin gue. Please ?” Cowok itu mematikan teleponnya, tanpa menjawab permohonan Lara. Beberapa menit kemudian, tibalah sosok yang dinanti Lara.
Masih lengkap dengan jas kebesarannya, tubuhnya tinggi tegap, serta wajahnya dipasang dingin nan arogan. ”Kenapa lo nyuruh gue kesini? Udah gede aja, tidur sendiri nggak berani.” Dokter itu menyindirnya tajam. Lara nggak punya tenaga untuk menyanggah argumen dingin cowok itu. Ia menghela nafasnya, ”Gue takut... Nan. Tadi, itu... ada orang yang masuk ke sini.” Cowok yang disapa Keenan menautkan alisnya lalu berdeham ringan, ”siapa?”
Lara mengangkat bahunya, tidak tahu. Cowok itu menyunggingkan senyum sinisnya, ”Lo terlalu banyak nonton horor, kali. Rumah sakit ini aman, dipasang CCTV. Kalo ada orang luar masuk, pasti ketauan satpam,” terang Keenan sambil duduk di sampingnya. ”Dih, udah tau gue benci banget nonton horor. Sumpah, Nan. Gue tadi liat kayak ada dokter yang masuk,” ucap Lara berusaha meyakinkan penglihatannya.
”Dokter jaga palingan. Lagian semua dokter spesialis tinggal gue doang yang belum pulang. Masih ada pasien tadi,” ucap cowok itu menyandarkan dirinya ke kursi. Mata telanjang Lara menatap jakun cowok itu yang naik turun tak sengaja, mengakibatkan pikirannya refleks mengingat pada kejadian beberapa waktu lalu. ”Udah sana tidur, masih aja melek. Udah ada gue, juga.” Keenan memerintahkan Lara yang masih membuka matanya lebar-lebar. Cowok itu menegakkan posisi duduknya, tangannya menyentuh dahi Lara.
”Udah normal,” ucap Keenan kemudian. Entah mengapa hari ini Lara sama sekali tidak membantahnya, meronta, atau bahkan membentak Keenan, ketika cowok itu menyentuh tubuhnya. Malah... ada desir aneh yang menyentuh pelupuk hati Lara. ”Iya, emang. Tapi masih aja gue nggak diijinin pulang. Nggak liat nih, tangan gue udah mulai bengkak garagara diinfus berapa hari,” ujar Lara sambil menunjukkan jemari kanannya di depan mata Keenan.
Tapi cowok itu tak merespon dan hanya menatap matanya. ”Ntar juga normal balik. Namanya juga diinfus. Ya, mungkin mereka masih mau meriksa kondisi psikis dan nyari tau kenapa lo bisa kayak waktu itu,” gumam Keenan. Lara mencerna baik-baik ucapan Keenan, kayak waktu itu? ”Kayak waktu itu gimana maksud lo? Emangnya lo tau, gue kenapa?” balas Lara penasaran. ”Kayak waktu lo kecil, maksud gue. Mana gue tau, kalo lo dirawat,” sahut Keenan datar.
”Oh, hahaha. Masih inget aja lo dulu gue pernah kayak gini.” Cewek itu tersenyum pada Keenan, sementara yang disenyumin hanya diam dan nggak membalas senyumannya. ”Ya iyalah, lo sibuk gitu. Mana mungkin lo tau,” gumam Lara lagi, mengalihkan pandangannya ke arah lain. (bersambung)
Vania M. Bernadette
Perasaan tidak enak menyerang kalbunya, janganjangan... ada orang jahat yang dengan sengaja ingin mengganggunya dan baca-bacain mantra supaya dia dimimpiin tentang wanita itu. Lara menyadari posisi selimutnya sedikit lebih naik, dibanding tadi ketika ia sedang tertidur pulas. Gadis itu menaikkan kasurnya dengan tombol pengatur, menegak air putihnya dengan cepat. Jantung Lara mulai berdegup kencang, namun untungnya tidak sampai desakkan nafasnya yang mencekat.
Gimana nih... gue jadi takut tidur sendirian, pikir Lara kemudian. Echa udah pulang, Ardio juga... masa gue minta mereka nemenin gue di rumah sakit sih? Gumamnya dalam hati. Tiba-tiba benak Lara seolah menyuruhnya meminta bantuan pada satu sosok yang sangat ia kenal. Haruskah? Lara memejamkan matanya, meraih handphone -nya dan... ”Kenapa?” Suara sosok itu begitu dingin dan tanpa basa-basi.
”Lo... di-dimana?” ”Lagi siap-siap, mau pulang. Kenapa sih?” balas sosok itu dengan ketus. ”Gue... gue dirawat di kamar 408, ruang Goretti.” ”Terus?” Lara menghela nafas panjang, menyingkirkan egonya yang sebenarnya sangat enggan meminta bantuannya. ”Ke sini, temenin gue. Please ?” Cowok itu mematikan teleponnya, tanpa menjawab permohonan Lara. Beberapa menit kemudian, tibalah sosok yang dinanti Lara.
Masih lengkap dengan jas kebesarannya, tubuhnya tinggi tegap, serta wajahnya dipasang dingin nan arogan. ”Kenapa lo nyuruh gue kesini? Udah gede aja, tidur sendiri nggak berani.” Dokter itu menyindirnya tajam. Lara nggak punya tenaga untuk menyanggah argumen dingin cowok itu. Ia menghela nafasnya, ”Gue takut... Nan. Tadi, itu... ada orang yang masuk ke sini.” Cowok yang disapa Keenan menautkan alisnya lalu berdeham ringan, ”siapa?”
Lara mengangkat bahunya, tidak tahu. Cowok itu menyunggingkan senyum sinisnya, ”Lo terlalu banyak nonton horor, kali. Rumah sakit ini aman, dipasang CCTV. Kalo ada orang luar masuk, pasti ketauan satpam,” terang Keenan sambil duduk di sampingnya. ”Dih, udah tau gue benci banget nonton horor. Sumpah, Nan. Gue tadi liat kayak ada dokter yang masuk,” ucap Lara berusaha meyakinkan penglihatannya.
”Dokter jaga palingan. Lagian semua dokter spesialis tinggal gue doang yang belum pulang. Masih ada pasien tadi,” ucap cowok itu menyandarkan dirinya ke kursi. Mata telanjang Lara menatap jakun cowok itu yang naik turun tak sengaja, mengakibatkan pikirannya refleks mengingat pada kejadian beberapa waktu lalu. ”Udah sana tidur, masih aja melek. Udah ada gue, juga.” Keenan memerintahkan Lara yang masih membuka matanya lebar-lebar. Cowok itu menegakkan posisi duduknya, tangannya menyentuh dahi Lara.
”Udah normal,” ucap Keenan kemudian. Entah mengapa hari ini Lara sama sekali tidak membantahnya, meronta, atau bahkan membentak Keenan, ketika cowok itu menyentuh tubuhnya. Malah... ada desir aneh yang menyentuh pelupuk hati Lara. ”Iya, emang. Tapi masih aja gue nggak diijinin pulang. Nggak liat nih, tangan gue udah mulai bengkak garagara diinfus berapa hari,” ujar Lara sambil menunjukkan jemari kanannya di depan mata Keenan.
Tapi cowok itu tak merespon dan hanya menatap matanya. ”Ntar juga normal balik. Namanya juga diinfus. Ya, mungkin mereka masih mau meriksa kondisi psikis dan nyari tau kenapa lo bisa kayak waktu itu,” gumam Keenan. Lara mencerna baik-baik ucapan Keenan, kayak waktu itu? ”Kayak waktu itu gimana maksud lo? Emangnya lo tau, gue kenapa?” balas Lara penasaran. ”Kayak waktu lo kecil, maksud gue. Mana gue tau, kalo lo dirawat,” sahut Keenan datar.
”Oh, hahaha. Masih inget aja lo dulu gue pernah kayak gini.” Cewek itu tersenyum pada Keenan, sementara yang disenyumin hanya diam dan nggak membalas senyumannya. ”Ya iyalah, lo sibuk gitu. Mana mungkin lo tau,” gumam Lara lagi, mengalihkan pandangannya ke arah lain. (bersambung)
Vania M. Bernadette
(ftr)